Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Dirjen Pajak kembali menunjuk 10 perusahaan yang menjadi pemungut pajak pertambahan nilai (PPN) produk digital.
Dalam Siaran Pers Nomor: SP-47/2020 yang dipublikasikan siang ini, Selasa (17/11/2020), DJP menyatakan 10 perusahaan tersebut telah memenuhi kriteria sebagai pemungut PPN atas barang dan jasa digital yang dijual kepada pelanggan di Indonesia.
“Dengan penunjukan ini maka sejak 1 Desember 2020 para pelaku usaha tersebut akan mulai memungut PPN atas produk dan layanan digital yang mereka jual kepada konsumen di Indonesia,” demikian pernyataan resmi DJP.
Kesepuluh perusahaan tersebut adalah Cleverbridge AG Corporation, Hewlett-Packard Enterprise USA, Softlayer Dutch Holdings B.V. (IBM), PT Bukalapak.com, PT Ecart Webportal Indonesia (Lazada), PT Fashion Eservices Indonesia (Zalora), PT Tokopedia, PT Global Digital Niaga (Blibli.com), Valve Corporation (Steam), serta beIN Sports Asia Pte Limited.
DJP mengatakan Jumlah PPN yang harus dibayar pelanggan adalah 10% dari harga sebelum pajak. Pembayaran PPN tersebut juga harus dicantumkan pada kuitansi atau invoice yang diterbitkan penjual sebagai bukti pungut PPN.
DJP terus mengidentifikasi dan aktif menjalin komunikasi dengan sejumlah perusahaan lain yang menjual produk digital luar negeri ke Indonesia untuk melakukan sosialisasi dan mengetahui kesiapan mereka.
“Sehingga diharapkan dalam waktu dekat jumlah pelaku usaha yang ditunjuk sebagai pemungut PPN produk digital akan terus bertambah,” imbuh DJP.
Jumlah total yang ditunjuk sebagai pemungut PPN hingga saat ini berjumlah 46 badan usaha. Khusus untuk marketplace yang merupakan wajib pajak dalam negeri yang ditunjuk sebagai pemungut maka pemungutan PPN hanya dilakukan atas penjualan barang dan jasa digital oleh penjual luar negeri yang menjual melalui marketplace tersebut.
Untuk informasi lebih lanjut terkait PPN produk digital luar negeri, termasuk daftar pemungut, masyarakat dapat melihatnya pada di https://www.pajak.go.id/id/pajakdigital atau https://pajak.go.id/en/digitaltax. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
Ada kendala yang rumit yakni membedakan subyek dan obyek pajak hingga codifikasi barang dan jasa, Manyangkut pemajakan (PPN PPn, BMasuk, bea meterai/PPh dll) Juga siapa vendornya/suppliernya? UMKM kah atau perush yang lain... (taxable) . Klo digenyak uyah akan menjadi kebijakan yang bias dan tntu ada kecendurangan ada tax avoiance/bhkn Tax Evasion.
Kenepa ajak perush yg berbasis penjualan OL. Tetap hrs ingat mrk adalah berperilaku bisnis dan sangat rasional buanget.. Kecuali programer (diKemenkeu) berinovasi bt system transaksi elektronik yang bisa ditempelkan (dicangkok) ke aplikasi mereka. dan berlaku untuk semua perush market place (OL) dan lainnya yg dipandang perlu (yg terdaftar). Ada pemikiran Knp gk disinergikan kerja sama dgn Kemko-info, lembaga keuangan lainnya (PPATK) atau perbankan sekalian yg keluarin CC, ATM dan instruman lainnya. Khan jelas sumber dana/pembayaran mll mereka. Ada contoh virtual transaksi yg teracak oleh system susah dilacak. Sebaiknya jgn sepotong2 dlm mlkk proses bisnis. Bt aturan yang Komprehensif. Harapannya adalah jgn sampai penentu kebijkan "masuk angin" dgn program2 mrk tawarkan..hrs mellui kajian ilmiah, bgmn implikasinya..dan dgn biaya yang efisien tentu (Tax Colection Rasionya bgmn?) . Masih ada lho BUMN/BUMD yang bisa ajak kerja sama. Maka menjadi penting ktt perpajakn yg efektif-adil.
Senang sekali, akhirnya produk digital dikenakan pajak dan mulai banyak PKP pemungut PPN produk digital. Bayangkan sudah banyak produk digital yang beredar namun belum dipajaki. Banyak sekali potensial penerimaan negara yang hilang apabila tidak diterapkan hal tersebut