JAKARTA, DDTCNews – Pembicaraan antara pelaku industri dan pemerintah terkait kebijakan cukai hasil tembakau (CHT) yang akan diterapkan tahun depan mulai membuahkan hasil. Kabar tersebut mewarnai media nasional pagi ini, Rabu (24/10).
Terdapat dua poin penting, yaitu kebijakan tarif CHT tahun depan cenderung konservatif, dengan kata lain kenaikannya tidak jauh dari kenaikan tahun ini di kisaran 10%. Selain itu, harga jual eceran (HJE) dikabarkan bakal lebih tinggi dibandingkan kenaikan tarif CHT.
Kabar lainnya datang dari Bank Indonesia yang memperkirakan kinerja ekonomi kuartal III/2018 akan tumbuh melambat seiring dengan rendahnya net ekspor Indonesia.
Dari sisi global, Presiden Amerika Serikat Donald Trump dikabarkan akan memangkas pajak penghasilan (PPh) untuk masyarakat kelas menengah sebesar 10%.
Berikut ulasan berita selengkapnya:
Plt. Direktur Teknis dan Fasilitas Ditjen Bea dan Cukai Nugroho Wahyu Widodo membenarkan dua poin kebijakan di atas. Namun demikian, hal itu belum mendapat persetujuan menteri keuangan. Sejauh ini, baik DJBC maupun Badan Kebijakan Fiskal telah menampung masukan yang pro maupun kontra. Umumnya, pihak yang kontra meminta harga rokok naik menjadi Rp70 ribu/bungkus, konsistensi terkait simplifikasi layer, merevisi UU Cukai, dan penetapan alokasi dana bagi hasil CHT untuk kesehatan.
Deputi Gubernur Senior Mirza Adityaswara mengungkapkan bank sentral memperkirakan ekonomi akan tumbuh sekitar 5,1% atau lebih rendah dari kuartal sebelumnya. Menurutnya, penurunan net ekspor terjadi di beberapa komoditas unggulan Indonesia, seperti pertanian dan pertambangan. Kondisi ini diikuti pertumbuhan impor yang relatif kuat seiring dengan kebutuhan pembangunan infrastruktur jangka panjang di dalam negeri.
Trump menyebutkan pemerintahannya tengah mempelajari rencana pemotongan pajak yang akan diterapkan mulai November mendatang. Desember tahun lalu, Trump memangkas pajak perusahaan menjadi 21% dari 35% dan mengurangi beban pajak untuk sebagian besar individu secara sementara.
Ambisi pemerintah untuk menekan defisit keseimbangan primer hingga Rp0 memiliki tantangan berat berupa kondisi perekonomian global dan domestik yang masih akan menekan APBN 2019. Sebagai langkah awal, pemerintah mematok target keseimbangan primer 2019 pada angka defisit Rp21 triliun. Defisit terjadi mulai sejak 2012 sebesar 0,16% dari PDB dan meningkat pada 2015 menjadi 1,23% dari PDB, tertinggi sejak 2012. Salah satu penyebabnya adalah shortfall penerimaan pajak yang cukup lebar yakni hanya 81,5% dari target APBNP 2015 senilai Rp1.294 triliun.
BI mengklaim Ibu Kota Jakarta berkontribusi besar atau 17% terhadap perekonomian nasional. Sementara itu, penanaman modal juga sudah mendekati rencana pembangunan jangka menengah daerah dengan realisasi sebesar Rp81,1 triliun sepanjang Januari-Oktober 2018. (Amu)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.