PERAN PAJAK DALAM PEMBANGUNAN DARI MASA KE MASA (4)

Tinta Emas Reformasi Pajak (1984-1997)

Kamis, 20 Agustus 2020 | 16:30 WIB
Tinta Emas Reformasi Pajak (1984-1997)
,

“TUJUAN utama pembaharuan perpajakan nasional ini adalah untuk lebih menegakkan kemandirian kita dalam membiayai pembangunan nasional dengan jalan lebih mengerahkan lagi segenap kemampuan kita sendiri… Oleh karena itu, peningkatan penerimaan negara melalui perpajakan dari sumber-sumber di luar minyak bumi dan gas alam merupakan keharusan yang mutlak bagi berhasilnya pelaksanaan Repelita IV.”

Begitulah penggalan pidato kenegaraan Presiden Soeharto di depan sidang DPR pada 16 Agustus 1983, setahun sebelum dimulainya Era Pelita IV (1984-1989). Pesannya jelas. Reformasi pajak nasional dalam mengurangi ketergantungan penerimaan migas.

Sejak 1981, atau justru di tengah oil boom, pemerintah membentuk tim reformasi pajak dengan bantuan Harvard Institute for International Development (Gillis, 1985). Departemen Keuangan, di bawah komando Ali Wardhana, menyusun langkah antisipatif.

Terdapat empat tujuan dari reformasi pajak 1984. Pertama, meningkatkan tax ratio atas pajak nonmigas terhadap produk domestik bruto (PDB). Kedua, melakukan simplifikasi hukum pajak dan memperbaiki administrasi sistem pajak.

Ketiga, mengurangi distorsi ekonomi untuk memperbaiki proses akumulasi sumber daya. Keempat, memberikan rasa keadilan bagi wajib pajak terutama kelompok bawah (Usman, 2004). Prinsipnya broad-based tax dan kesederhanaan.

Sebelum adanya reformasi pajak komprehensif ini, perubahan ketentuan pajak di Indonesia hanya bersifat tambal sulam dan bersifat minor. Artinya, belum pernah ada suatu perubahan struktural sistem pajak sejak Indonesia merdeka.

Ada lima undang-undang (UU) yang disahkan pada akhir periode Pelita III tersebut. Kelimanya adalah UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) serta UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh).

Kemudian, ada UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (UU PPN), UU Nomor 12 Tahun 1983 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (UU PBB), serta UU Nomor 13 tentang Bea Materai (UU BM). Dengan kelima UU tersebut, rezim pajak warisan kolonial tinggal sejarah.

Reformasi ini telah mengubah postur fiskal Indonesia. Sebelum 1984, penerimaan pajak hanya mampu berkontribusi sebesar 24% terhadap total pendapatan dalam negeri. Pascareformasi pajak 1984, kontribusinya meningkat secara konsisten. Hal ini dikonfirmasi dengan kinerja tax ratio Indonesia sebelum dan sesudah reformasi pajak.


Reformasi pajak ini juga mengubah sistem official assessment – yang ditandai dengan penerbitan Surat Ketetapan Pajak (SKP) Sementara pada awal tahun dan SKP Rampung pada akhir tahun – menuju sistem self assessment. Selain karena alasan efisiensi, self assessment system juga diharapkan mengurangi kontak langsung antara wajib pajak dan otoritas sehingga menghindari suap.

Satu hal yang pasti, reformasi pajak telah menyelamatkan kondisi fiskal Indonesia, terutama pada saat sektor migas tidak lagi bisa diharapkan sebagai penopang pendapatan negara. Reformasi pajak 1984 juga mengakibatkan perubahan atas struktur penerimaan perpajakan di Indonesia.

Pertama, meningkatnya peran PPN sebagai money machine. Berbeda dengan sistem pajak penjualan, PPN yang tidak mengakibatkan cascading effect dianggap lebih netral dan less distortive. Dengan demikian, pihak yang sebelumnya ‘bersembunyi’ dan tidak patuh di bawah rezim PPn, memiliki kesukarelaan untuk berpartisipasi.

Kedua, meningkatnya penerimaan dari PPh. Sistem PPh didesain lebih modern, adil, dan berkepastian hukum. Sebagai ilustrasi, tarif PPh disederhanakan dengan hanya tiga lapisan penghasilan.

Dari sisi administrasi pemungutan dan menjamin kepatuhan, pemerintah juga memperkenalkan adanya sistem pajak final dan mekanisme potong/pungut (withholding tax) yang pada 1990-an kembali diperluas (Bawazier dan Kadir, 2004).

Singkatnya, kontribusi PPh dan PPN meningkat drastis selama pemerintahan Presiden Soeharto. Selain diakibatkan oleh faktor sistem perpajakan yang semakin modern, pengaruh pertumbuhan ekonomi yang tingi, kemiskinan yang menurun, dan pendapatan perkapita yang naik, transformasi struktur ekonomi dari sektor tradisional ke modern (manufaktur dan jasa-jasa) juga berperan penting.


Namun demikian, periode 1984-1997 ini juga tidak lepas dari sekelumit permasalahan. Pertama, partisipasi dan kepatuhan wajib pajak. Pada 1983 tercatat hanya ada 327,500 wajib pajak pribadi dan 83,600 wajib pajak badan yang terdaftar. Setelah reformasi pajak, pada 1986, angkanya meningkat hingga mencapai 643.000 dan 157.600 (Woo, Glassburner dan Nasution, 1994).

Sayangnya, jumlah ini masih sangat minim dan belum optimal hingga akhir kepemimpinan Presiden Soeharto. Terlebih, jika dibandingkan dengan jumlah angkatan kerja di Indonesia pada periode yang sama.

Dari jumlah tersebut, tidak seluruhnya juga menyampaikan SPT secara patuh. Contohnya saja, pada 1991, hanya sekitar 78% wajib pajak orang pribadi dan dan 84% wajib pajak badan yang melaporkan SPT-nya.

Kedua, persoalan administrasi pajak. Reformasi pajak 1984 dirasa masih menyisakan persoalan, terutama karena belum menyentuh aspek administrasi (World Bank, 1992). Korupsi masih merajalela dan keuangan negara belum dikelola secara transparan.

Upaya mengurangi korupsi melalui peningkatan kompensasi pegawai pemerintah juga tidak sepenuhnya berhasil. Sebagai informasi, pada 1993 terdapat kenaikan upah sebesar 11—18%.

Di sisi lain, ada persoalan kuantitas dan kualitas pegawai otoritas pajak. Keterbatasan jumlah pemeriksa pajak, kurangnya pengawasan, serta belum adanya program pelatihan yang sistematis dan berdurasi panjang berdampak serius (Mansury, 1992).

Penerapan hukum pajak yang multi-interpretasi telah menimbulkan ketidakpastian. Keterbatasan personel telah mendorong pelayanan bagi wajib pajak yang berskala besar dan ‘itu-itu saja’. Otoritas pajak juga lebih fokus pada upaya memeriksa klaim restitusi pajak dalam rangka mengamankan penerimaan. (Heij, 1993).

Ketiga, dukungan politik. Upaya meningkatkan peran pajak dalam pembangunan telah menjadi agenda nasional, tapi tidak mendapatkan dukungan penuh secara politik (Booth, 1992). Pegawai otoritas pajak tidak mendapatkan dukungan morel.

Situasi ekonomi politik kala itu juga sarat dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Jauh dari budaya integritas. Tidak adanya tekanan politik juga tidak mampu mendorong budaya sadar pajak di kalangan masyarakat.

Keempat, pengaruh situasi perekonomian dunia. Demam deregulasi dan liberalisasi adalah jurus kebijakan ekonomi di banyak negara pada periode 1980-an. Tujuannya untuk meningkatkan kesempatan dan insentif kerja, mendorong pertumbuhan, mobilisasi dana masyarakat melalui lembaga keuangan dan pasar modal, serta mengalokasikan sumber ekonomi yang lebih efisien.

Dalam konteks pajak, hal tersebut juga turut mendorong adanya penurunan tarif tertinggi pajak penghasilan (1995), peningkatan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) menjadi Rp4,32 juta per tahun (1990), perbedaan tarif bagi penghasilan yang berasal dari modal, dan sebagainya.

Tidak hanya itu, aspek pajak internasional juga telah mendorong berbagai penandatanganan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B). Indonesia juga salah satu negara pionir yang memiliki ketentuan transfer pricing.

Pada era Presiden Soeharto, sejatinya telah diletakkan prinsip-prinsip sistem pajak modern. Hal tersebut meningkatkan kinerja kontribusinya bagi pembangunan negara. Sayangnya, hal tersebut masih belum optimal. Salah satunya dikarenakan format APBN yang mengkategorikan pinjaman luar negeri sebagai pendapatan dan bukan sebagai alat pembiayaan defisit anggaran.

Komponen pinjaman tersebut agaknya ‘meninabobokkan’ pemerintah karena dapat menutupi rendahnya (urgensi) kinerja penerimaan pajak. Format APBN inilah yang nantinya dimodifikasi di masa reformasi. Kondisi pada masa reformasi akan dibahas dalam artikel analisis seri selanjutnya.

Sebagai informasi, artikel ini merupakan seri keempat dari analisis dengan topik “Peran Pajak dalam Pembangunan dari Masa ke Masa” yang dirilis DDTC Fiscal Research bersamaan dengan momentum HUT ke-75 Kemerdekaan Republik Indonesia.

Artikel ini merupakan kelanjutan dari seri sebelumnya yang mengulas kondisi pada era awal kepemimpinan Presiden Soeharto (1967—1983). Secara total, artikel analisis akan terdiri atas tujuh seri yang akan dipublikasikan setiap harinya mulai Senin (17/8/2020) hingga Minggu (23/8/2020). Jadi, jangan lewatkan analisis seri selanjutnya.

(Disclaimer)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Kamis, 26 Desember 2024 | 13:00 WIB PROVINSI JAWA TIMUR

Opsen Berlaku 2025, Pemprov Turunkan Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan

Kamis, 26 Desember 2024 | 12:30 WIB ADMINISTRASI PAJAK

PKP Risiko Rendah Diterbitkan SKPKB, Kena Sanksi Kenaikan atau Bunga?

Kamis, 26 Desember 2024 | 11:30 WIB KPP MADYA DUA BANDUNG

Ada Coretax, Pembayaran dan Pelaporan Pajak Bakal Jadi Satu Rangkaian

Kamis, 26 Desember 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK DAERAH

9 Jenis Pajak Daerah Terbaru yang Ditetapkan Pemkot Sibolga

BERITA PILIHAN