Direktur Teknologi Informasi dan Komunikasi DJP Iwan Djuniardi.
OECD dalam laporan ‘Tax Administration 2019’ memaparkan berbagai temuan dalam pengelolaan administrasi pajak. Salah satunya pengelolaan administrasi pajak semakin beralih ke administrasi elektronik (e-administration) dan menggunakan berbagai alat teknologi, sumber data, dan analitik untuk meningkatkan kepatuhan pajak.
Tahun ini, DJP juga membentuk dua direktorat baru terkait teknologi dan data, yaitu Direktorat Data dan Informasi Perpajakan (DIP) dan Direktorat Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Direktorat TIK ini merupakan peleburan dua direktorat sebelumnya, yaitu Direktorat Teknologi Informasi Perpajakan (TIP) dan Direktorat Transformasi Teknologi Komunikasi dan Informasi (TTKI).
InsideTax (majalah perpajakan bagian dari DDTCNews) mewawancarai Direktur Teknologi Informasi dan Komunikasi DJP Iwan Djuniardi belum lama ini untuk mencari tahu tren penggunaan teknologi dalam administrasi pajak guna memobilisasi penerimaan. Berikut petikannya:
Apa sebenarnya yang melatarbelakangi peleburan dua direktorat sehingga menjadi TIK?
Kalau kita bicara industri 4.0, kita bicara digital transformation. Ini bicara soal data. Sebelumnya, data itu tersebar di mana-mana, ada di CTA [Center for Tax Analysis/Tim Pusat Analisis Perpajakan], ada di TIP untuk operasional, ada di TTKI sebagian. Ini enggak cocok lagi karena tidak ada yang fokus mengurus data.
Kemudian, kalau dulu IT [information technology] itu ada development dan operational. Namun, yang terjadi malah bikin birokrasi. Di development, kita terus beli sesuatu, tapi di operasionalnya enggak jalan. Jadi, tidak satu manajemen sehingga prosesnya pasti lama. Mulai dari pengembangan sampai ke operasional pasti ada masalah karena mungkin berbeda sudut pandang.
Selain itu, sudah ada namanya konsep DevOps di IT. Development dan operational jadi satu. Artinya, sudah tidak perlu lagi satu unit operasional yang gede karena semua bisa di-handle sama IT. Ada penggunaan RPA [robotic process automation], ada IAC [infrastructure as code], ada SDN [software-defined networking], dan solusi DevOps. Jadi, semua sudah menggunakan teknologi akhirnya digabung. Satu lagi ada DIP khusus mengolah hingga memonitor penggunaan data oleh user.
Apakah sudah ada dampaknya?
Pasti ada karena sisi IT jadi satu komando, sehingga mulai dari development sampai operational bisa cepat. Itu saya rasakan sekarang. Contohnya, kalau dulu development kadang-kadang buka port-nya lama karena harus bolak-balik urusan birokrasi. Sekarang sudah lebih cepat karena di dalam satu komando saya.
Dulu, untuk bisa adopt teknologi baru itu butuh waktu. Sejak direktorat digabung, saya sudah bisa menyeimbangkan antara security dan development. Secara metodologi membuat siklus pengembangan bisa lebih cepat. Di sisi lain, data pun bisa terkontrol. Kualitas data bisa dijaga berikut penggunaannya di data analytics. Spesialisasi itu menaikkan kecepatan penggunaan data.
Apakah ini artinya Indonesia juga sudah mengikuti tren itu?
Sudah kita lakukan. Di depan, sudah ada e-filing, e-billing, e-faktur. Kita nanti bangun e-bupot dan e-keberatan. Arah kita 5 tahun ke depan itu 3C, yaitu Click, Call, dan Counter. Jadi, wajib pajak itu layanannya harus ke Click dulu secara elektronik. Jadi, self-services. Kalau dia mau keberatan atau lapor, semua diselesaikan online, baru diproses. Tidak ada lagi nanti kontak dengan KPP.
Baru, kalau ada kesulitan, minta bantuan lewat Call. Di situ ada contact center. Kalau Call masih bermasalah, misalnya ada data yang harus diperbaiki atau harus ada penambahan bukti segala macamnya, baru dia ke Counter. Counter di sini artinya ke KPP dengan membawa bukti sehingga berhadapan dengan petugas pajak. Ini program kita dalam 5 tahun ke depan. Di samping itu, kita juga lagi memperbaiki core tax. Ke depan akan lebih berat ke IT dan otomatisasi. Kita punya empat inisiatif di IT.
Apa saja empat inisiatif tersebut?
Pertama, bagaimana kita melakukan digitalisasi interaksi. Nantinya, di antara pegawai DJP berinteraksi tidak lagi menggunakan surat manual. Kita gunakan tanda tangan digital. Melayani bisa di mana saja. Untuk pemeriksaan, pembuatan KKP [kertas kerja pemeriksaan] dan LHP [laporan hasil pemeriksaan] itu sudah langsung ada karena datanya otomatis. Ini sudah berjalan.
Ini tujuannya untuk menaikkan SLI [services level indicator]. Yang dulu misalkan kecepatan services-nya 1 hari mungkin bisa menjadi 1 jam. Dulu pemeriksaan misalkan butuh 30 hari. Dengan adanya otomasi KKP, LHP, dan sebagian data lain, proses itu bisa menjadi 1 minggu. Selain services-nya naik, kualitas data akan naik.
Apa yang membuat kualitas data naik?
Kualitas data naik karena tidak ada lagi intervensi manusia. Kalau dulu, kadang-kadang kalau pemeriksa merekapitulasi lagi, bisa saja salah. Dengan adanya digitalisasi ini jadi single of truth karena sumbernya satu. Apa yang wajib pajak masukkan, itulah yang masuk ke dalam sistem dan itu juga yang akan di-download. Dari sini, kualitas pengawasan akan naik.
Kalau datanya bagus, kita juga bisa memprediksi perilaku lebih bagus lagi. Jadi kita akan bisa memberikan services, assurance, dan penegakan hukum yang personalized. Makanya kita bangun yang namanya CRM [compliance risk management]. Dengan CRM, kita bisa membedakan, level yang paling patuh dan level yang paling tidak patuh. Perlakuan kepada mereka berbeda, sehingga kita lebih personal pendekatannya.
Apa inisiatif IT selanjutnya?
Kedua, kita gunakan big data analytics untuk memprediksi perilaku, services, fraud, dan sebagainya. Makanya ada DIP karena nanti lebih berat ke situ. Bukan hanya untuk layanan, melainkan juga untuk aturan. Misalkan, kita sudah mulai memperkenalkan tax analytic. Bagaimana nanti hasil pengadilan pajak, kok kalah terus. Kan ada uraiannya. Nah, uraiannya kita analisis kira-kira penyebabnya apa, apakah di prosedur, aturan, atau kebijakan yang lain.
Ketiga, otomatisasi. Contohnya, kalau untuk layanan, orang yang suka lihat tentang PPN di situs kita, dia akan intens mendapat informasi tentang PPN. Kalau dia senang buka soal usaha batu bara, nanti dia akan dapat update soal aturan batu bara. Ini fungsinya otomasi berdasarkan analytics. CRM masuk juga. CRM kan juga mencakup perilaku dia selama 3 tahun atau 5 tahun terakhir. Dari sana akan terlihat dia patuh atau tidak. Nanti algoritmanya dibangun.
Keempat, kolaborasi. Jadi kita buat sistem kita ini secara terbuka. Adanya open API [application programming interface] membuat platform terbuka. Tujuannya untuk meningkatkan services level kita dan memastikan data yang masuk ke kita juga bisa lewat teknologi pihak ketiga. Yang menggunakan open API adalah application service provider (ASP). Kita mau perbanyak peran ASP dalam layanan DJP, mulai dari daftar, hitung, bayar, lapor itu bisa disediakan oleh ASP. Makanya, ASP ini akan jadi gede.
Apakah artinya jumlah ASP akan bertambah terus?
Kalau saya cenderung memilih daripada banyak, lebih baik 15 tapi berkembang besar. Saat ini baru 10 atau 12 tapi kita hentikan sementara. Jadi, yang sudah masuk saja yang kita assess. Nanti, kalau menurut kita butuh lagi, baru dibuka. Ada beberapa bank yang sudah jadi ASP. Dengan ASP, harapan kita, layanan dengan user experience wajib pajak makin naik.
Apakah 4 inisiatif itu perlu dukungan aspek lain?
Sebanyak 4 inisiatif itu kita perlu dukung dengan 3 supportive initiative. Pertama, bagaimana kita bisa memastikan data governance-nya baik. Ini mulai dari sisi integritas, kelengkapan, dan kualitas data tersebut. Kedua, memperkuat keamanan siber. Soal ini kita ada joint domain. Ketiga, talent management. Kita harus punya orang-orang yang memiliki keahlian yang bebeda dari sebelumnya.
Simak wawancara Direktur Teknologi Informasi dan Komunikasi DJP Iwan Djuniardi selengkapnya dalam majalah InsideTax edisi ke-41. Download majalah InsideTax di sini. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.