Ilustrasi. (taxfoundation.org)
WASHINGTON, DDTCNews – Lembaga think tank yang berbasis di Amerika Serikat (AS), Tax Foundation, menilai kebijakan pajak transaksi elektronik (PTE) yang dimuat dalam Undang-Undang (UU) No.2 Tahun 2020 bersifat diskriminatif.
Hal ini disampaikan oleh Tax Foundation atas permintaan komentar publik dari Kantor Perwakilan Dagang AS (United States Trade Representative/USTR) atas inisiasi investigasi terhadap pajak digital 10 negara, termasuk Indonesia.
“Karena ditargetkan pada penjual di luar negeri, kebijakan itu langsung membedakan antara bisnis domestik dan asing. Seperti DST [digital service tax] lainnya, kebijakan ini [PTE] mendiskriminasi ukuran dan sektor bisnis, dan disusun sebagai pajak omzet,” tulis Tax Foundation, dikutip pada Jumat (10/7/2020).
Tax Foundation menilai ada perbedaan secara substansi pengenaan PTE dengan pajak penghasilan (PPh) yang berlaku untuk entitas bisnis lain di Indonesia. Karena kurangnya perincian tentang kebijakan ini, Tax Foundation masih sulit memahami dampak penuh kebijakan tersebut.
Di sisi lain, Tax Foundation mengatakan bisnis e-commerce nonresiden yang tidak memenuhi ketentuan kehadiran ekonomi signifikan bakal mendapat pengenaan PTE. Padahal, sesuai dengan UU 2/2020, PTE tetap dikenakan bagi pedagang, penyedia jasa, atau penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik (PPMSE) luar negeri yang telah memenuhi ketentuan kehadiran ekonomi signifikan.
Namun, pengenaan PTE diberikan ketika pedagang, penyedia jasa, atau PPMSE luar negeri yang memenuhui kriteria kehadiran ekonomi signifikan tidak dapat ditetapkan sebagai bentuk usaha tetap (BUT) karena penerapan perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B). Simak artikel ‘Apa itu Pajak Transaksi Elektronik?’.
Pemerintah menetapkan tiga ketentuan kehadiran ekonomi signifikan yaitu pertama, peredaran bruto konsolidasi grup usaha sampai dengan jumlah tertentu. Kedua, penjualan di Indonesia sampai dengan jumlah tertentu. Ketiga, pengguna aktif media digital di Indonesia sampai jumlah tertentu.
Namun, Pemerintah Indonesia belum merilis ketentuan lebih lanjut terkait dengan besaran tarif, dasar pengenaan, dan tata cara penghitungan pajak transaksi elektronik sebagaimana telah diterapkan di beberapa negara lain.
Berbeda dengan pajak pertambahan nilai (PPN) yang sudah diperinci melalui PMK 48/2020 – dan sudah berlaku mulai 1 Juli 2020, ketentuan mengenai PPh dan PTE ini masih belum diperinci oleh pemerintah dalam ketentuan teknis.
Dalam UU 2/2020 ditegaskan tarif, dasar pengenaan, dan tata cara penghitungan PPh dan PTE bagi pedagang, penyedia jasa, dan PPMSE luar negeri akan diatur dengan atau berdasarkan pada peraturan pemerintah (PP).
Sebelumnya,DJP berkomitmen untuk tidak serta merta menerapkan PTE. Otoritas akan menunggu tercapainya konsensus global sebagai solusi jangka panjang. Simak artikel ‘DJP: Belum Ada Perumusan Teknis PPh dan PTE Perusahaan Digital’. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.