Dradjad Wibowo.
JAKARTA, DDTCNews – Besaran tarif pajak dinilai mempunyai korelasi terhadap praktik penghindaran pajak.
Hal ini diungkapkan pakar ekonomi sekaligus politisi Partai Amanat Nasional (PAN) Dradjad Wibowo. Dia menyebut tarif pajak yang terlampau tinggi membuka ruang adanya praktik base erosion and profit shifting (BEPS). Hal tersebut, menurutnya, juga berlaku untuk Indonesia.
“Tax rate yang terlalu tinggi membuat orang tergoda untuk melakukan BEPS,” katanya dalam Seminar 'Kebijakan Reformasi Perpajakan 2019-2024 Menuju Kemandirian dan Keberlanjutan APBN di Era Revolusi Industri 4.0', Selasa (26/3/2019).
Pria yang menjadi anggota Dewan Pakar BPN Prabowo-Sandiaga ini menjelaskan tarif pajak penghasilan untuk korporasi di Indonesia relatif tinggi dalam kawasan Asean. Komparasi utama terkait tarif PPh badan Indonesia adalah Singapura dan Malaysia.
Oleh karena itu, alih-alih menggenjot penerimaan dengan tarif pajak sebesar 25%, menurutnya, negara justu berisikorugi. Pasalnya, tarif pajak yang tidak kompetitif membuat perusahaan lebih suka memarkir dananya di yurisdiksi dengan rezim tarif pajak lebih rendah.
“Mereka [korporasi] lebih suka memindahkan status residen ke negara lain karena sistem pajak kita yang worldwide,” paparnya.
Argumentasinya ini berdasar kurva laffer yang digunakan sebagai panduan kebijakan fiskal Amerika Serikat dibawah Presiden Roland Reagan. Dalam teori ini, ketika tarif pajak tinggi, penerimaan cenderung lebih rendah. Pemikiran tersebut, menurut Dradjad masih relevan untuk kasus Indonesia pada saat ini.
“Orang tidak banyak tahu bahwa ide tersebut berasal dari Ibnu Khaldun yang mengatakan salah satu faktor kejatuhan kekhalifahan karena pajaknya terlalu tinggi sehingga membuat orang enggan membayar pajak,” imbuh Dradjad. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.