STIG SOLLUND:

'Tantangan Pajak Digital Perlu Solusi Jangka Panjang'

Denny Vissaro | Selasa, 27 Maret 2018 | 11:40 WIB
'Tantangan Pajak Digital Perlu Solusi Jangka Panjang'

Fiscal Economist DDTC Denny Vissaro berfoto bersama Stig Sollund, Anggota United Nations Committee of Experts on International Cooperation in Tax Matters. (Foto: DDTCNews)

MAASTRICHT, DDTCNews – Sejak pertengahan Januari 2018 lalu, dua profesional DDTC tengah mengikuti short course mengenai International Tax Law and Policy di Maastricht, Belanda selama 2,5 bulan. Kursus yang dikuti oleh dua profesional DDTC tersebut sebagai bagian dari Human Resource Development Program yang diadakan oleh DDTC. Kursus tersebut diselenggarakan oleh Faculty of Law University of Maastricht dengan mengundang berbagai ahli perpajakan internasional di Eropa sebagai pengajar.

Dalam salah satu kesempatan, salah satu profesional DDTC berdiskusi lebih jauh mengenai tantangan pemajakan digital dengan Stig Sollund, pembuat kebijakan yang sudah berkiprah di dunia perpajakan selama lebih dari 40 tahun. Saat ini, dia menduduki jabatan sebagai General Director, Tax Law Department, Ministry of Finance of Norway. Sebelumnya, dia menduduki berbagai posisi penting lainnya dalam pemerintahan dan juga praktisi hukum dalam dunia perpajakan.

Dalam kesempatan diskusi ini, sosok yang juga merupakan Anggota United Nations Committee of Experts on International Cooperation in Tax Matters sejak 2005 ini menyampaikan pandangannya mengenai perkembangan tantangan pemajakan dari ekonomi digital. Apa saja yang diutarakan? Berikut petikannya.

Tantangan perpajakan yang diberikan ekonomi digital sepertinya akan terus menjadi topik penting selama beberapa waktu ke depan. Bagaimana Anda memandang urgensi tersebut sebagai pembuat kebijakan?

Digitalisasi merupakan proses yang terus menerus berlangsung dan mempengaruhi bagaimana bisnis secara efisien dapat dijalankan. Perubahan terhadap aturan perpajakan penting untuk segera dilakukan tidak hanya untuk menjamin penerimaan, namun juga untuk secepatnya memberi kepastian terhadap pelaku bisnis mengenai kewajiban perpajakan mereka. Selanjutnya, penting bagi pemerintah agar perubahan aturan yang dibuat tidak menghalangi upaya pelaku bisnis untuk menciptakan efisiensi dengan model bisnis mereka. Singkatnya, jangan sampai solusi yang diambil justru membunuh pelaku bisnis digital.

OECD/G20 Inclusive Network on BEPS belum lama ini menerbitkan laporan Tax Challenges Arising from Digitalisation – Interim Report 2018. Bagaimana pandangan Anda tehadap isi laporan tersebut secara umum?

Dari laporan tersebut jelas bahwa belum terdapat adanya kesepakatan mengenai bagaimana negara seharusnya memajaki bisnis digital, baik untuk solusi jangka pendek maupun jangka panjang. Solusi secara jangka pendek memang bukan menjadi opsi karena bisnis digital merupakan bisnis yang berkembang secara cepat. Oleh karena yang ingin dicapai adalah solusi jangka panjang, maka sebenarnya dapat dimengerti kesulitan untuk mencapai konsensus bersama. Saya rasa ini satu catatan positif bahwa setiap negara yang terlibat setuju untuk menjalani proses dalam mencapai solusi jangka panjang.

Bagaimana prospek untuk mencapai konsensus bersama pada 2020? Apakah Anda optimis?

Saya rasa kita harus tetap optimis. Memang dalam mencapai konsensus terdapat kesulitan, namun kita perlu memandangnya bahwa sekarang setiap negara sudah membuka ‘kartu’-nya masing-masing secara lebih jelas. Ini penting untuk kita ketahui bersama-sama sekarang ketimbang nanti saat sudah mendekati tahun 2020. Jadi saya memandang bahwa penting untuk tahu lebih mendalam mengenai preferensi negara masing-masing.

Kemudian, kita juga melihat bahwa digitalisasi jelas mempengaruhi bagaimana bisnis dijalankan, namun dapat memiliki dampak terhadap aturan perpajakan secara berbeda untuk setiap negara. Oleh karena itu, kita memang perlu terlebih dahulu menetapkan masalah apa yang ingin diatasi bersama-sama. Secara umum, diskusi ke depan akan sangat menarik dan menentukan.

Apa hal menarik yang Anda lihat tersebut?

Karena setiap negara memiliki preferensi yang berbeda, tentu diskusi akan menarik untuk disimak. Misalnya, apakah suatu negara lebih memilih adanya perubahan umum terhadap ketentuan pajak internasional dengan berkembangnya digital ekonomi atau membuat ring-fence (ketentuan khusus) terhadap ekonomi digital. Saya lihat Amerika Serikat sangat mendesak untuk opsi solusi yang pertama. ­Menarik untuk selanjutnya kita lihat perkembangan respons negara lain.

Bagaimana keterlibatan negara berkembang yang Anda lihat?

Menurut saya belum cukup banyak isu spesifik yang dihadapi negara berkembang dalam isu tantangan pajak dari bisnis digital. Namun, sangat penting untuk negara berkembang untuk semakin terlibat dalam diskusi ini. Saya lihat Indonesia salah satu contoh negara yang cukup aktif dalam diskusi ini, dan saya melihat Indonesia menyuarakan kepentingan negara berkembang bersama-sama dengan beberapa negara berkembang lainnya. Ini sangat bagus karena posisi Indonesia juga sebagai anggota G20.

Namun, penting untuk kita catat bahwa setiap negara berkembang juga belum tentu memiliki preferensi yang sama. Negara berkembang yang satu belum tentu memiliki karakteristik ekonomi dan sistem pajak yang sama dengan negara berkembang lainnya. Oleh karena itu, perlu kita harapkan banyak negara berkembang lainnya turut berperan aktif, terutama dari negara berkembang yang masih tertinggal. Akan sangat menarik kita lihat bagaimana berbagai negara selanjutnya merespons perkembangan diskusi yang sudah dicapai saat ini.  (Amu)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Jumat, 18 Oktober 2024 | 15:30 WIB SERBA-SERBI PAJAK

Langganan Platform Streaming Musik, Kena PPN atau Pajak Hiburan?

Rabu, 16 Oktober 2024 | 13:20 WIB BUKU PAJAK

Meninjau Aspek Keadilan dari Konsensus Pajak Minimum Global

Rabu, 09 Oktober 2024 | 16:17 WIB KONSENSUS PAJAK GLOBAL

Penerapan Pilar 1 Amount A Butuh Aturan yang Berkepastian Hukum Tinggi

Rabu, 09 Oktober 2024 | 13:45 WIB LITERATUR PAJAK

Menginterpretasikan Laba Usaha dalam P3B (Tax Treaty), Baca Buku Ini

BERITA PILIHAN
Selasa, 22 Oktober 2024 | 21:45 WIB LEMBAGA LEGISLATIF

Sah! Misbakhun Terpilih Jadi Ketua Komisi XI DPR 2024-2029

Selasa, 22 Oktober 2024 | 21:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

PPN Mestinya Naik Tahun Depan, Gerindra akan Bahas Bareng Kemenkeu

Selasa, 22 Oktober 2024 | 17:30 WIB KPP PRATAMA JAMBI TELANAIPURA

WP Gagal Daftar LPSE karena KSWP Tidak Valid, Gara-Gara Tak Lapor SPT

Selasa, 22 Oktober 2024 | 17:06 WIB LEMBAGA LEGISLATIF

DPR Tetapkan Daftar Mitra Kerja untuk Komisi XII dan Komisi XIII

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:41 WIB IHPS I/2024

BPK Selamatkan Keuangan Negara Rp13,66 Triliun pada Semester I/2024

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:30 WIB KANWIL DJP JAWA TIMUR II

Pakai Faktur Pajak Fiktif, Dirut Perusahaan Akhirnya Ditahan Kejari

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:00 WIB TIPS PAJAK DAERAH

Cara Daftarkan Objek Pajak Alat Berat di DKI Jakarta secara Online

Selasa, 22 Oktober 2024 | 15:30 WIB AUSTRALIA

Bikin Orang Enggan Beli Rumah, Australia Bakal Hapus BPHTB

Selasa, 22 Oktober 2024 | 14:00 WIB KP2KP SIDRAP

Ubah Kata Sandi Akun Coretax, Fiskus: Tak Perlu Cantumkan EFIN