MELALUI perdebatan panjang di badan legislatif, akhirnya pada 22 Desember 2017 Pemerintah Amerika Serikat (AS) mengeluarkan kebijakan reformasi perpajakan Tax Cuts and Jobs Act (TCJA). Tujuannya untuk meningkatkan perekonomian AS dengan cara menyediakan insentif perpajakan.
Dengan insentif itu, perusahaan AS memiliki keunggulan serta tidak kalah bersaing dengan perusahaan di luar AS dan mau melakukan repatriasi penghasilan usahanya di luar AS untuk masuk kembali ke dalam AS. Selain itu, TCJA juga memiliki ketentuan antipenghindaran pajak untuk melindungi basis pemajakannya.
TCJA memiliki konten antara lain (i) perubahan tarif pajak penghasilan (PPh) badan, (ii) perubahan basis world wide income menjadi territorial, (iii) Base Erosion & Anti-Abuse Tax (BEAT), (iv) Global Intangible Low-Taxed Income (GILTI), dan (v) Foreign-Derived Intangible Income (FDII).
Pengenaan tarif pajak perusahaan di AS telah lama dikenal sebagai salah satu yang paling tinggi di dunia. Namun, dengan adanya TCJA, tarif penghasilan perusahaan turun menjadi 21% dan hampir setara dengan banyak negara di dunia.
Adapun sebelumnya tarif pajak perusahaan yang berlaku di AS adalah mencapai 35% dan dianggap sebagai salah satu negara dengan tarif paling tinggi di dunia. Lebih lanjut, penurunan tarif juga diberlakukan kepada orang pribadi.
Dengan demikian, walaupun masih memiliki 7 lapisan tarif (bracket rate), besaran lapisan dan tarif untuk orang pribadi mengalami perubahan yang signifikan. Salah satunya adalah lapisan paling atas dengan tarif sebelumnya sebesar 39,6% menjadi 37%.
Selain itu, pada aturan sebelumnya, terhadap perusahaan yang memperoleh penghasilan usaha dari luar negeri, khususnya dividen, penghasilan tersebut akan dikenai pajak dengan tarif normal serta diberikan kredit pajak luar negeri untuk mencegah adanya pajak berganda.
Namun, melalui TCJA dividen yang berasal dari AS akan tetap dikenakan di AS dan yang berasal dari luar AS akan dikecualikan untuk dikenakan di AS (exemption). Kebijakan ini menjadi penanda adanya perubahan basis worldwide income menjadi territorial (Dhora, 2018).
Perubahan kebijakan ini dilakukan agar terdapat insentif bagi perusahaan global yang berbasis di AS untuk melakukan repatriasi penghasilannya kembali ke AS. Sebelumnya, banyak perusahaan global di AS tidak melakukan repatriasi mengingat negara luar tempatnya beroperasi menyediakan insentif pajak untuk menunda pembayaran kembali ke AS.
Melawan Penghindaran Pajak
TCJA juga mengadopsi ketentuan antipenghindaran pajak dengan memberlakukan BEAT atau Base Erosion Anti-Abuse Act. Ketentuan ini ditujukan untuk memproteksi basis pengenaan pajak di AS sendiri.
Namun, penggunaannya hanya ditujukan kepada perusahaan AS yang memiliki penghasilan kotor konsolidasi yang berkaitan dengan kegiatannya di AS (US connected) tidak kurang dari US$500 juta pada 3 tahun sebelumnya dan melakukan ‘penggerusan’atau base erosion berupa kewajiban melakukan pembayaran bunga, royalti, dan biaya jasa kepada afiliasi luar negerinya lebih dari 3% dari biaya yang dapat dikurangkan di tahun berjalan.
Selanjutnya, di dalam TCJA terdapat pengaturan anti-abuse atas penghasilan global terkait dengan barang tidak berwujud (global intangible) yang disebut Global Intangible Low Taxed Income (GILTI).
Namun, pengaturan ini hanya ditujukan kepada perusahaan global AS yang memanfaatkan skema Control Foreign Company (CFC) atas kepemilikan Intellectual Property (IP) yang berharga atau mengoperasikan penjualan dan jasa layanan yang tidak menggunakan banyak aset berwujud secara signifikan. Hal ini juga menjadi pembeda dengan BEAT.
Berbeda dengan GILTI dan BEAT, TCJA mengatur adanya insentif atas penghasilan yang berasal dari penggunaan barang tidak berwujud atau intangible, yaitu Foreign-Derived Intangible Income (FDII). Pemberian insentif yang dilakukan berupa penurunan tarif pajak atas penggunaan IP terhadap barang atau jasa yang ditujukan untuk diekspor ke luar negeri.
Ketentuan ini memberikan tarif efektif berkisar 13,125% yang kemudian akan dinaikan menjadi sekitar 16,41% pada tahun 2024 dan seterusnya. Hal ini diharapkan mendorong kepemilikan IP oleh perusahaan global AS agar tetap berada di AS.
TCJA versus BEPS
PENGATURAN di dalam TCJA tidak hanya mengandung insentif bagi pelaku usaha, khususnya perusahaan global yang berbasis di AS. Namun, TJCA juga mengandung ketentuan terkait dengan antipenghindaran pajak.
Lalu, bagaimanakah kaitan antara TCJA dan BEPS (Base Erosion and Profit Shifting/ BEPS)? Mindy Herzfeld dalam pemaparannya di International Tax Conference pada 6 Desember 2018 di Mumbay, India, memberikan penjelasan berupa persamaan, perbedaan antara BEPS dan TCJA serta pengaturan perpajakan di AS pada umumnya.
Persamaan antara BEPS dan TCJA adalah pembatasan biaya bunga sebagaimana diatur di dalam Perubahan Seksi 163 (j) yang juga diatur dalam Action 4 BEPS dengan tarif 30% dari laba sebelum beban bunga, pajak, depresiasi dan amortisasi (earnings before interest, taxes, depreciation and amortization/ EBITDA).
Selain itu, BEPS dan TCJA juga memuat pengaturan anti-hybrid yang terdapat dalam Seksi 267A dan 245A (e) yang dipadankan dengan Action 2 dalam BEPS. Terakhir, pengaturan mengenai laporan negara per negara (CbC) yang ada di aturan TCJA yang sama dengan pengaturan BEPS Action 13.
Di sisi lain, terdapat perbedaan antara pengaturan di dalam BEPS dan TCJA. Hal ini dapat ditemukan pada, pertama, perluasan pengaturan terkait dengan CFC dengan adanya GILTI.
Kedua, TCJA pun mengandung pemberian insentif atas ekspor dengan pemberlakuan FDII, padahal Aksi 5 BEPS menggarisbawahi bahwa rezim IP dianggap tidak membahayakan (harmful) selama memenuhi persyaratan substansi ekonomi.
Ketiga, walau TCJA telah melakukan revisi pengaturan terhadap Seksi 482 terkait dengan transfer pricing, tetapi BEPS telah melakukan revisi yang jauh lebih luas terhadap OECD TP Guidelines. Keempat, BEPS belum memiliki pengaturan yang menyerupai BEAT. Kelima, TCJA juga belum memiliki pengaturan revisi atas bentuk usaha tetap (permanent establishment/ PE) yang selaras dengan BEPS.
Selain perbandingan dengan TCJA, terdapat ketentuan di dalam BEPS yang sudah lebih dulu ada dan dijalankan di dalam pengaturan perpajakan AS sebelum adanya TCJA, antara lain arbitrase wajib (mandatory arbitration) yang diadopsi di dalam BEPS Action 14 tentang penyelesaian sengketa (dispute resolution).
Kemudian ketentuan Limitation on Benefit (LoB) yang diadopsi Action 6 terkait dengan penyalahgunaan perjanjian penghindaran pajak berganda (treaty abuse rule), dan terakhir terkait dengan peraturan pengungkapan penampungan (shelter disclosure) yang juga diadopsi oleh Action 12 terkait dengan pengungkapan wajib (mandatory disclosure).
Lantas, manakah yang lebih baik? Satu hal yang pasti, secara historis langkah AS sangat signifikan dalam menentukan dan mewarnai tatanan pajak global.*
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.