Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia Henry Darmawan Hutagaol. (foto: hasil tangkapan layar dari medsos)
JAKARTA, DDTCNews—Perbaikan bentuk dan tata kelola organisasi pengadilan pajak di Indonesia dinilai perlu dilakukan secara bertahap agar tidak menimbulkan legal shock dalam menuju bentuk pengadilan pajak yang ideal.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia Henry Darmawan Hutagaol menilai perbaikan bentuk organisasi pengadilan pajak saat ini sudah menunjukan kemajuan meskipun belum memisahkan kewenangan eksekutif dan yudikatif.
"Argumen yang dibangun saat ini menyebutkan pengadilan pajak tidak independen karena ada pengaruh eksekutif dalam hal ini menteri. Tapi ada perkembangan bagus dari aturan sebelumnya," katanya, Rabu (16/9/2020).
Dalam webinar bertajuk 'Antisipasi dan Penyelesaian Sengketa Pajak di Masa Pandemi', Henry menilai UU No.14/2002 tentang pengadilan pajak merupakan kemajuan dari regulasi dalam UU No.17/1997 tentang badan penyelesaian sengketa pajak.
Pada aturan terdahulu anggota sidang atau hakim diangkat oleh presiden dari daftar nama calon yang diusulkan oleh menteri. Ketentuan tersebut kemudian berubah di UU No.14/2002 sehingga yudikatif mulai terlibat dalam menentukan hakim pengadilan pajak.
Dalam beleid tersebut, hakim diangkat presiden dari daftar nama yang diusulkan menteri setelah mendapat persetujuan Ketua Mahkamah Agung (MA). Dengan kata lain, MA dapat memberikan persetujuan atau menolak daftar nama calon yang disodorkan menteri.
Henry menambahkan proses perbaikan dan reformasi organisasi pengadilan pajak idealnya terus dilanjutkan secara bertahap. Pasalnya, pondasi perbaikan tata kelola pengadilan pajak sudah dilakukan dan menjadi penting untuk terus dilanjutkan.
"Saat ini bilang pengadilan pajak tidak independen itu ada benarnya, tapi ada kemajuan ke arah ideal dan ini dilakukan secara bertahap agar tidak ada legal shock," tuturnya.
Henry menilai tantangan yang dihadapi menuju bentuk ideal pengadilan pajak tidak mudah. Dengan sistem demokrasi yang ada saat ini, lanjutnya, diperlukan legislatif yang kuat dalam menyusun regulasi. Namun, hal tersebut belum terwujud hingga hari ini.
Statistik menunjukan produktivitas DPR dalam menghasilkan aturan hukum baru kerap tidak mencapai target setiap tahunnya. Tak hanya itu, kapabilitas anggota dewan dalam menyusun regulasi pajak khususnya pengadilan pajak juga belum mumpuni.
"Ada faktor legislatif yang lemah untuk membuat regulasi sekompleks itu dan ditambah faktor kemampuan MA untuk menjamin tidak ada penumpukan perkara di MA," ujar Henry. (rig)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.