REVISI UU KUP

Soal Perubahan Kebijakan PPN dan PPh dalam Revisi UU KUP, Ini Kata DJP

Nora Galuh Candra Asmarani | Rabu, 07 Juli 2021 | 21:45 WIB
Soal Perubahan Kebijakan PPN dan PPh dalam Revisi UU KUP, Ini Kata DJP

Kasubdit Peraturan PPN Industri Ditjen Pajak (DJP) Wiwiek Widwijanti serta Kasubdit Peraturan Pemotongan dan Pemungutan PPh dan PPh Orang Pribadi DJP Heri Kuswanto. 

JAKARTA, DDTCNews – Reformasi perpajakan perlu dilakukan untuk membangun sistem perpajakan yang lebih adil, sehat, efektif dan akuntabel. Terlebih, pandemi covid-19 telah memberikan tekanan yang hebat pada kondisi ekonomi negara.

Kasubdit Peraturan PPN Industri Ditjen Pajak (DJP) Wiwiek Widwijanti mengatakan hal tersebut dalam webinar bertajuk Kontroversi Rancangan PPN dan PPh dalam Reformasi Pajak. Terkait dengan PPN, Wiwiek menyebut reformasi perlu dilakukan, salah satunya karena tingginya tax expenditure dari PPN.

Tax expenditure PPN paling tinggi dibandingkan jenis pajak lain karena banyaknya pengecualian dan pembebasan. Selain itu, pengecualian dan pembebasan juga menyebabkan distorsi pasar karena harga produk dalam negeri mahal akibat pajak masukan yang tidak bisa dikreditkan,” jelas Wiwiek, Rabu (7/7/2021).

Baca Juga:
Tak Setor PPN Rp679 Juta, Direktur Perusahaan Dijemput Paksa

Selain restrukturisasi pengecualian dan fasilitas PPN, lanjut Wiwiek, ada dua materi perubahan PPN lain yang dimuat dalam RUU KUP. Materi tersebut yaitu terkait dengan pengenaan PPN multitarif dan pemberian kemudahan dan kesederhanaan PPN (PPN final).

Dalam kesempatan itu, hadir pula Kasubdit Peraturan Pemotongan dan Pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) dan PPh Orang Pribadi DJP Heri Kuswanto. Dia menguraikan 5 perubahan materi UU PPh yang dimuat dalam draf RUU KUP.

Pertama, pengaturan kembali fringe benefit tax. Perubahan ini dilakukan untuk lebih menciptakan keadilan. Pasalnya, lebih dari 50% tax expenditure atas natura cenderung dinikmati wajib pajak orang pribadi berpenghasilan tertinggi.

Baca Juga:
Rata-Rata Waktu Penyelesaian Pengaduan Perpajakan di DJP Capai 9 Hari

Kedua, penambahan tarif 35% untuk penghasilan kena pajak (PKP) di atas 5 miliar. Ketiga, penerapan alternatif minumum tax (AMT). Adapun AMT diterapkan untuk menangkal penghindaran pajak karena makin banyak wajib pajak badan yang menyatakan rugi secara terus-menerus tetapi masih bisa beroperasi.

Heri menjelaskan AMT menyasar wajib pajak badan yang melaporkan rugi atau PPh badan terutangnya kurang dari 1% penghasilan bruto. Namun, akan ada pengecualian salah satunya untuk wajib pajak yang secara natural kegiatan usahanya merugi. Simak ‘WP Badan Lapor Rugi Bakal Kena PPh Minimum 1% dari Omzet’.

Keempat, penyesuaian insentif WP UMKM dengan omzet ≤ 50M. Pasal 31E UU PPh akan dihapus lantaran insentif PPh UMKM telah diatur dalam PPh final UMKM. Selain itu, tarif PPh badan akan turun menjadi 20% pada 2022 sehingga Pasal 31E tidak lagi relevan.

Baca Juga:
Coretax Diterapkan 1 Januari 2025, PKP Perlu Ajukan Sertel Baru

Kelima, penerapan instrumen pencegahan penghindaran pajak (general anti-avoidance rule/GAAR. Adapun GAAR diterapkan untuk mempersempit celah penghindaran pajak yang makin canggih. Terkait dengan isu tax amnesty jilid II, Heri menegaskan yang ada dalam draf RUU KUP adalah program peningkatan kepatuhan wajib pajak, bukan tax amnesty.

Webinar ini diselenggarakan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI). Dalam webinar ini, Managing Partner DDTC Darussalam juga hadir sebagai narasumber. Simak ‘Soal Pengurangan Pengecualian PPN, Ini Kata Pakar Pajak’. (kaw)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Jumat, 27 Desember 2024 | 17:30 WIB KANWIL DJP JAKARTA SELATAN I

Tak Setor PPN Rp679 Juta, Direktur Perusahaan Dijemput Paksa

Jumat, 27 Desember 2024 | 15:30 WIB LAPORAN TAHUNAN DJP 2023

Rata-Rata Waktu Penyelesaian Pengaduan Perpajakan di DJP Capai 9 Hari

Jumat, 27 Desember 2024 | 09:07 WIB BERITA PAJAK HARI INI

Coretax Diterapkan 1 Januari 2025, PKP Perlu Ajukan Sertel Baru

Kamis, 26 Desember 2024 | 13:30 WIB CORETAX SYSTEM

Jelang Coretax Diterapkan, PKP Bakal Perlu Bikin Sertel Baru

BERITA PILIHAN
Jumat, 27 Desember 2024 | 17:30 WIB KANWIL DJP JAKARTA SELATAN I

Tak Setor PPN Rp679 Juta, Direktur Perusahaan Dijemput Paksa

Jumat, 27 Desember 2024 | 17:00 WIB KILAS BALIK 2024

April 2024: WP Terpilih Ikut Uji Coba Coretax, Bonus Pegawai Kena TER

Jumat, 27 Desember 2024 | 16:45 WIB KEBIJAKAN MONETER

2025, BI Beli SBN di Pasar Sekunder dan Debt Switch dengan Pemerintah

Jumat, 27 Desember 2024 | 16:30 WIB KABUPATEN KUDUS

Ditopang Pajak Penerangan Jalan dan PBB-P2, Pajak Daerah Tembus Target

Jumat, 27 Desember 2024 | 16:00 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Harga Tiket Turun, Jumlah Penumpang Pesawat Naik 2,6 Persen

Jumat, 27 Desember 2024 | 15:30 WIB LAPORAN TAHUNAN DJP 2023

Rata-Rata Waktu Penyelesaian Pengaduan Perpajakan di DJP Capai 9 Hari

Jumat, 27 Desember 2024 | 15:15 WIB KONSULTASI PAJAK

Pedagang Gunakan QRIS untuk Pembayaran, Konsumen Bayar PPN 12 Persen?

Jumat, 27 Desember 2024 | 15:00 WIB KAMUS KEPABEANAN

Apa Itu Pembukuan dalam bidang Kepabeanan?

Jumat, 27 Desember 2024 | 14:30 WIB RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa Yuridis Pengenaan PPN atas Jasa Kecantikan

Jumat, 27 Desember 2024 | 14:00 WIB KELAS PPN

Konsep PPN, Deviasi, dan Isu Kenaikan PPN 12%