YOGYAKARTA, DDTCNews – Magister Akuntansi (Maksi) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM) bekerja sama dengan Kanwil Ditjen Pajak Yogyakarta menggelar kuliah umum dengan topik Taxation Aspect on Digital Economy pada Jumat, (17/11) lalu.
Acara yang dihadiri lebih dari seratus orang tersebut sebagian besar terdiri dari dosen dan mahasiswa. Direktur Perpajakan Internasional Ditjen Pajak John Hutagaol hadir mengisi kuliah umum ini.
Dalam paparannya, John mengatakan teknologi informasi dan komunikasi berkembang sangat pesat dan kemajuannya telah menyentuh hampir seluruh aspek kehidupan manusia.
“Sadar atau tidak, manusia sangat tergantung atau ekstrimnya sudah ‘tersandera dengan teknologi’,” ujarnya di kampus Maksi FEB UGM, Yogyakarta.
John menggambarkan hubungan teknologi dan ekonomi ibarat sebuah mata uang koin. Di satu sisi, perkembangan dan pertumbuhan ekonomi sangat dipengaruhi oleh teknologi.
“Sedangkan di sisi lainnya, perkembangan teknologi dipengaruhi oleh ekonomi. Karena eratnya hubungan keduanya, maka sering disebut dengan Digital Economy,” paparnya.
Menurutnya, dalam mendesain suatu kebijakan pajak harus memenuhi asas keadilan (equity), kesederhanaan (simplicity), netralitas (neutrality), non diskriminasi (non discrimination) dan kepastian (certainty). “Ketentuan pajak atas ekonomi digital atau e-commerce seyogyanya memenuhi prinsip dasar pemajakan tersebut,” tandas John.
Oleh karenanya, Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor 62 Tahun 2013 diterbitkan untuk memberikan penegasan bahwa tidak ada perbedaan perlakuan pajak baik PPh maupun PPN atas e-commerce.
“Perlakuan PPh maupun PPN atas transaksi online market place, classified ads, daily deals, dan online retail adalah sama perlakuannya seperti transaksi konvensional,” katanya.
John menambahkan komunitas internasional yaitu Inclusive Framework on BEPS sedang membahas dan mempersiapkan rekomendasinya terkait rencana aksi ke-1 tentang Digital Economy. Bahkan untuk menyusun rekomendasinya tersebut, telah dibentuk gugus tugas yaitu Task Force On Digital Economy (TFDE) pada pertemuan ke-2 di Paris awal 2017.
Belum adanya rekomendasi sebagai acuan, telah mendorong masing-masing yurisdiksi memajaki penghasilan yang timbul dari Digital Economy menurut caranya masing-masing. Misalnya, India menerapkan equalization levy, Inggris menerapkan Diverted Profit Tax, Australia menerapkan Multinational Anti Avoidance Law, dan Hungaria menerapkan Bit Tax.
"Kebanyakan negara-negara maju seperti Korea dan Jepang menerapkan PPN untuk pengenaan pajak ekonomi digital," imbuhnya.
Namun, belum adanya rekomendasi atas pemajakan atas ekonomi digital terutama transaksi lintas batas dapat menimbulkan ketidakpastian. Oleh karena itu, hasil dan output kerja TFDE sangat ditunggu oleh seluruh anggota yurisdiksi dari Inclusive Framework on BEPS, yang saat ini anggotanya lebih dari 100 yurisdiksi.
"Ekonomi digital adalah tren bisnis sekarang dan ke depan. Oleh karena itu, justru yang perlu diantisipasi oleh seluruh otoritas pajak adalah membangun administrasi perpajakan yang mampu mendorong perkembangan bisnis online dan sekaligus mampu mengawasi kepatuhan para pelaku usahanya," pungkas John.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.