ANALISIS PAJAK

Skema Hybrid Financial Instrument dalam Luxleaks

Kamis, 07 Februari 2019 | 10:05 WIB
Skema Hybrid Financial Instrument dalam Luxleaks

Yusuf W. Ngantung,
DDTC Consulting

SUDAH hampir 5 tahun berlalu sejak International Consortium of Investigative Journalist (ICIJ) memublikasikan dokumen-dokumen rahasia terkait dengan negosiasi aturan perpajakan (tax ruling) antara konsultan pajak dan otoritas pajak Luksemburg.

Dokumen-dokumen tersebut dibocorkan kepada media oleh dua mantan pegawai salah satu kantor konsultan pajak besar di Luksemburg. Sejak saat itu, dunia rahasia perencanaan pajak internasional yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan multinasional menjadi terbuka bagi publik dan tidak luput dari sorotan media.

New York Times dalam artikelnya yang berjudul ‘Hundreds of Companies Seen Cutting Tax Bills by Sending Money Through Luxembourg’ melaporkan bahwa dokumen Luxleaks menunjukkan secara detail bagaimana peran perusahaan, konsultan pajak dan otoritas pajak Luksemburg dalam melakukan pergeseran laba (profit shifting).

Artikel ini akan membahas salah satu struktur yang ditemukan di dalam sekitar 28.000 halaman dokumen Luxleaks tersebut, yaitu hybrid financial instrument.

Skema Hybrid
SALAH satu skema yang terungkap dalam Luxleaks dimaksudkan untuk menciptakan hybrid mismatch antara perlakuan suatu instrumen keuangan sebagai instrumen pinjaman di satu sisi dan sebagai instrumen modal di sisi lainnya.

Instrumen keuangan berupa pinjaman menghasilkan imbalan bunga. Bunga pada umumnya dapat dibebankan sebagai biaya (deduction) bagi pihak yang membayar bunga tersebut (Indonesia Co) dan merupakan penghasilan kena pajak (inclusion) bagi pihak yang menerima bunga tersebut (Holdco).

Sebaliknya, instrumen keuangan berupa modal menghasilkan penghasilan dividen. Dividen tidak dapat dibebankan sebagai biaya (non-deduction) bagi pihak yang membayar dividen dan pada umumnya bukan merupakan penghasilan kena pajak (non-inclusion) bagi pihak yang menerima dividen tersebut (pada umumnya hanya apabila investor mempunyai substantial ownership, misalnya kepemilikan saham di atas 25%).

Dengan demikian, sistem pemajakan ideal adalah sistem pajak yang menganut asas simetri, yaitu perlakuan pajak yang sama antara kedua pihak dalam suatu transaksi (Laukkanen, 2007) atau dalam hal ini perlakuan pajak yang simetris antara deduction/inclusion dan non-deduction/non-inclusion.

Gambar 1 Struktur Hybrid Financial Instrument

Sumber: Penulis, diolah, 2019

Dalam skema pada gambar di atas, hybrid mismatch yang dituju adalah deduction/non-inclusion atau kualifikasi sebagai bunga di sisi pembayar dan modal di sisi penerima. Hybrid mismatch pada umumnya terjadi karena celah (loophole) peraturan pajak, yaitu adanya perbedaan antara kualifikasi suatu instrumen keuangan menurut hukum pajak domestik Negara A dan Negara B. Dengan demikian, loophole tersebut terjadi murni karena perbedaan hukum domestik antarnegara (Barsch, 2012).

Dalam kasus Luxleaks, hybrid mismatch terjadi bukan karena celah antara peraturan pajak di lokasi Holdco yaitu negara Holdco dan negara IndonesiaCo, lokasi Indonesia Co. Namun, celah dengan sengaja diciptakan melalui perusahaan perantara di Luksemburg dan tax ruling yang dikeluarkan oleh otoritas pajak Luksemburg sebagai berikut (Omri Marian, 2016).

Pertama, Holdco mendirikan anak perusahaan baru, yaitu LuxCo, di Luksemburg. Holdco melakukan setoran modal sebesar 100 di LuxCo. Sebagai pengganti setoran modal tersebut, HoldCo mendapatkan saham preferensi (saham yang memberikan imbalan berupa dividen secara pasti dalam jangka waktu tertentu).

Kedua, LuxCo memberikan pinjaman kepada IndonesiaCo sebesar 100 dengan tingkat suku bunga yang sesuai dengan prinsip kelaziman dan kewajaran (arms’ length), misalnya dalam contoh ini bunga sebesar 10%.

Ketiga, LuxCo memiliki dua aliran dana, yaitu aliran dana bunga yang masuk dari IndonesiaCo dan aliran dana dividen keluar yang dibayarkan oleh LuxCo kepada HoldCo. Mempertimbangkan kedua aliran dana tersebut, LuxCo dapat memperoleh ruling dari otoritas pajak Luksemburg sebagai berikut.

  1. LuxCo merupakan subjek pajak dalam negeri di negara Luksemburg. Perlu diketahui bahwa status subjek pajak dalam negeri tersebut dapat diperoleh terlepas dari minimnya substansi ekonomi seperti jumlah pegawai, luas kantor dan sebagainya yang ada di Luksemburg;
  2. Saham preferensi diberlakukan sebagai instrumen pinjaman untuk tujuan perpajakan domestik Luksemburg. Hal ini berarti dividen atas saham preferensi yang dibayarkan oleh LuxCo kepada Holdco dapat dibebankan sebagai biaya (deductible);
  3. Peraturan rasio minimal antara pinjaman dan modal (thin capitalization) tidak diberlakukan bagi LuxCo; dan
  4. LuxCo dapat memperoleh kepastian mengenai margin yang diperoleh antara aliran dana masuk dan aliran dana keluar. Sebagai contoh, apabila LuxCo menerima imbalan bunga dari IndonesiaCo sebesar 10 maka LuxCo dapat memperoleh kepastian mengenai jumlah dividen yang perlu dibayarkan LuxCo kepada Holdco, misalnya sebesar 9,75.

Mempertimbangkan dividen dari saham preferensi dianggap sebagai biaya bunga (deductible), LuxCo mendapatkan margin dari selisih antara penghasilan dan biaya sebesar 0,25. Margin tersebut terkena pajak di Luksemburg dengan tarif pajak normal sebesar 29%. Dengan demikian, tarif pajak efektif di LuxCo adalah 0,0725 (0,25 x 29%).

Keempat, dividen yang dibayarkan LuxCo kepada HoldCo sebesar 9,75 tetap merupakan instrumen modal dari sudut pandang negara HoldCo sehingga penghasilan dividen tersebut memenuhi syarat pembebasan pajak (participation exemption: penghasilan dividen tidak dikenakan pajak dalam hal terdapat kepemilikan saham secara substansial, misalnya melebihi 25%).

Dampak Perpajakan
APABILA dilihat secara keseluruhan, dampak perpajakannya adalah terdapat pembebanan biaya sebesar 10 di tingkat IndonesiaCo (deduction). Namun, di sisi lainnya hanya 0,25 dikenakan pajak sedangkan 9,75 tidak terkena pajak (noninclusion).

Hal yang menarik untuk diperhatikan dalam kasus ini adalah fakta bahwa negara Indonesiaco hanya akan melihat terjadinya transaksi pinjam-meminjam normal antara IndonesiaCo dan LuxCo. Hal ini menyebabkan keberadaan hybrid mismatch akan sangat sulit untuk diketahui dari sudut pandang negara IndonesiaCo.

Terungkapnya skandal Luxleaks tersebut menunjukkan betapa pentingnya Action Plan 5 BEPS mengenai praktik perpajakan yang dianggap berbahaya (harmful tax practices). Sebagai salah satu standar minimum, negara-negara di luar G-20 dan OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) pun turut berkomitmen melalui kerangka kerja inklusif BEPS (inclusive framework on BEPS) dalam melakukan pertukaran informasi khusus terkait dengan tax ruling.

Adapun temuan-temuan terkait dengan pertukaran informasi tersebut dipublikasikan OECD setiap tahunnya melalui laporan peer review. Transparansi tersebut diharapkan dapat mencegah terjadinya kesepakatan yang saling menguntungkan (sweetheart deal) antara otoritas pajak dan perusahaan, yang pada akhirnya dapat menyebabkan kompetisi pajak yang tidak sehat. Tindak lanjut lainnya setelah terungkapnya skandal Luxleaks adalah investigasi pelanggaran peraturan antipakat (anti-trust) Uni Eropa terhadap Starbucks dan Fiat.*

(Disclaimer)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Jumat, 20 Desember 2024 | 11:30 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Insentif Cuma untuk Mobil Listrik dan Hybrid, Ternyata Ini Alasannya

Kamis, 19 Desember 2024 | 12:00 WIB PENGAWASAN PAJAK

Fokusnya ke Restitusi, Pemeriksaan Tak Optimal Lacak Pengelakan Pajak

Selasa, 17 Desember 2024 | 14:30 WIB INSENTIF PAJAK

Ada Insentif Pajak, Produsen Mobil Hybrid Diminta Daftarkan Mereknya

Selasa, 17 Desember 2024 | 14:00 WIB LAPORAN WORLD BANK

Survei World Bank Catat 1 dari 4 Perusahaan Indonesia Mengelak Pajak

BERITA PILIHAN