BERITA PAJAK HARI INI

Sidang Banding L'Oreal Soal Royalti Berjalan Alot

Redaksi DDTCNews | Jumat, 25 Mei 2018 | 09:51 WIB
Sidang Banding L'Oreal Soal Royalti Berjalan Alot

JAKARTA, DDTCNews – Pagi ini, Jumat (25/4), kabar datang dari Ditjen Pajak yang menilai pembayaran royalti Rp118 miliar dari PT L’oreal Indonesia ke L’oreal Paris yang memengaruhi penghasilan bersih, tidak seharusnya dilakukan.

Kabar selanjutnya datang dari Ditjen Bea dan Cukai yang dikabarkan belum bisa memberikan relaksasi terkait dengan implementasi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 229/2017 tentang Tata Cara Pengenaan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor Berdasarkan Perjanjian dan Kesepakatan Internasional.

Selain itu kabar mengenai volatilitas harga komoditas yang menjadi penyempurna atas revisi UU Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) kembali mewarnai media nasional pagi ini. Salah satu skema yang dibahas dalam UU ini adalah mengenai penetapan tarif.

Baca Juga:
Pemerintah Pusat Bakal Asistensi Pemda Terbitkan Obligasi Daerah

Berikut ringkasannya:

  • Sidang Banding L’Oreal Soal Royalti Berjalan Alot:

Dalam sidang lanjutan banding PPh Badan 2014 yang diajukan L’oreal Indonesia, Ditjen Pajak menyatakan tetap pada pendirian bahwa royalti tidak seharusnya dibayarkan ke L’oreal Paris, karena kedua perusahaan itu memiliki hubungan istimewa berupa penyertaan modal langsung 99%. Karenanya, Ditjen Pajak menyatakan pembayaran royalti itu tidak wajar lantaran dalam persetujuan lisensi, royalti harus dibayarkan jika terdapat penggunaan teknologi untuk memproduksi produk yang berlisensi L’oreal Paris. Maka pembayaran royalti tersebut tidak bisa dikurangkan dalam penghasilan bersih yang akhirnya mempengaruhi penghitungan PPh Badan.

  • Importir Semakin Patuh, DJBC Belum Beri Relaksasi Tarif Bea Masuk:

Dirjen Bea dan Cukai Heru Pambudi mengatakan prinsip dari otoritas kepabeanan adalah data. Data yang dimiliki otoritas pabeanan dan cukai menunjukkan mayoritas pengguna jasa kepabeanan dalam melaporkan surat keterangan asal (SKA) tertib secara administrasi. Dia menekankan inti dari polemik itu sebetulnya hanya masalah kepatuhan terhadap administrasi.

Baca Juga:
Wajah-Wajah Lama Masih Isi Tim Ekonomi Prabowo-Gibran
  • Volatilitas Komoditas akan Diatur dalam PMK:

Komoditas yang harganya mudah berubah, penentuan tarifnya tidak lagi menggunakan skema Peraturan Pemerintah, tetapi cukup dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Sekjen Kementerian Keuangan Hadiyanto mengatakan nantinya akan ada pengklasifikasian komoditas yang diatur dalam PP maupun yang akan diterapkan dalam PMK.

  • Meski Banyak Catatan, Kerangka Makro 2019 Disepakati DPR:

Sebagian besar fraksi DPR menyetujui Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) 2019, walaupun ada 2 fraksi yang belum sepakat, yakni Gerindra dan PAN. Asumsi dasar yang diajukan pemerintah meliputi pertumbuhan ekonomi 5,4-5,8%, inflasi 3,5%, nilai tukar rupiah Rp13.700-14.000 per dolar AS, suku bunga SPN 4,6-5,2%, harga ICP US$60-70 per barel, lifting minyak bumi 722 ribu hingga 805 ribu barel per hari dan lifting gas 1,21 juta -1,3 juta barel per hari. Beberapa hal yang menjadi catatan pemerintah dalam asumsi itu meliputi asumsi target pertumbuhan ekonomi, inflasi, nilai tukar rupiah, harga ICP dan lifting minyak.

  • Pemerintah Optimis Aliran Dana Desa Membaik:

Dirjen Perimbangan Keuangan Boediarso T. Widodo mengatakan sejumlah keringanan sudah diberikan untuk pencairan dana desa, sehingga pemerintah optimis realisasi penyaluran dana desa dari rekening kas umum daerah (RKUD) ke rekening kas desa (RKD) semakin membaik. Hingga Rabu (23/5), penyaluran transfer dana desa baru mencapai Rp18,3 triliun atau 30,5% dari pagu Rp60 triliun. Lalu realisasi penyaluran dari RKUD ke RKD sudah mencapai Rp7,2 triliun atau 39,4% dari Rp18,3 triliun.

  • Politik Pajak Bisa Dijual:

Kepala DDTC Fiscal Research B. Bawono Kristiaji mengatakan pemilu Malaysia bukanlah dimaknai sebagai pemicu debat terkait perlu atau tidaknya mempertahankan pajak pertambahan nilai (PPN). Isu pajak ternyata sesuatu yang bisa ‘dijual’ dalam Pemilu Perdana Menteri Malaysia. Dari kasus ini, ada pelajaran bahwa pemberlakuan goods and services tax (GST) yang sejatinya merupakan kebutuhan untuk mengurangi defisit telah ‘dinodai’ oleh dugaan skandal megakorupsi yang dilakukan Mantan PM Malaysia. (Amu)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Selasa, 22 Oktober 2024 | 09:00 WIB BERITA PAJAK HARI INI

Pemerintah Pusat Bakal Asistensi Pemda Terbitkan Obligasi Daerah

Senin, 21 Oktober 2024 | 09:15 WIB BERITA PAJAK HARI INI

Wajah-Wajah Lama Masih Isi Tim Ekonomi Prabowo-Gibran

Sabtu, 19 Oktober 2024 | 11:30 WIB BERITA PAJAK SEPEKAN

Kejar Kepatuhan Pajak Pelaku UMKM, DJP Perluas ‘Pendampingan’ BDS

Jumat, 18 Oktober 2024 | 09:14 WIB BERITA PAJAK HARI INI

Pencantuman NITKU Bakal Bersifat Mandatory saat Pembuatan Bukti Potong

BERITA PILIHAN
Selasa, 22 Oktober 2024 | 21:45 WIB LEMBAGA LEGISLATIF

Sah! Misbakhun Terpilih Jadi Ketua Komisi XI DPR 2024-2029

Selasa, 22 Oktober 2024 | 21:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

PPN Mestinya Naik Tahun Depan, Gerindra akan Bahas Bareng Kemenkeu

Selasa, 22 Oktober 2024 | 17:30 WIB KPP PRATAMA JAMBI TELANAIPURA

WP Gagal Daftar LPSE karena KSWP Tidak Valid, Gara-Gara Tak Lapor SPT

Selasa, 22 Oktober 2024 | 17:06 WIB LEMBAGA LEGISLATIF

DPR Tetapkan Daftar Mitra Kerja untuk Komisi XII dan Komisi XIII

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:41 WIB IHPS I/2024

BPK Selamatkan Keuangan Negara Rp13,66 Triliun pada Semester I/2024

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:30 WIB KANWIL DJP JAWA TIMUR II

Pakai Faktur Pajak Fiktif, Dirut Perusahaan Akhirnya Ditahan Kejari

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:00 WIB TIPS PAJAK DAERAH

Cara Daftarkan Objek Pajak Alat Berat di DKI Jakarta secara Online

Selasa, 22 Oktober 2024 | 15:30 WIB AUSTRALIA

Bikin Orang Enggan Beli Rumah, Australia Bakal Hapus BPHTB

Selasa, 22 Oktober 2024 | 14:00 WIB KP2KP SIDRAP

Ubah Kata Sandi Akun Coretax, Fiskus: Tak Perlu Cantumkan EFIN