KAPITAN PATTIMURA:

'Setiap Beringin Besar akan Tumbang'

Redaksi DDTCNews | Jumat, 04 September 2020 | 13:31 WIB
'Setiap Beringin Besar akan Tumbang'

Patung Kapitan Pattimura di Taman Pattimura, Uritetu, Sirimau, Ambon, Maluku. (Foto: Pemprov Maluku)

AMBON, akhir abad ke-18. Beberapa kapal Inggris tiba-tiba merapat ke pelabuhan. Ratusan serdadu di dalamnya bergegas turun, masuk ke Benteng Victoria, yang hanya beberapa tindak dari bibir pantai. Penduduk Ambon hanya melihat, tak berani bertanya, apalagi mencegah.

Segera setelah itu, bendera Belanda yang terpasang di halaman depan benteng diturunkan. Sebagai gantinya, bendera Inggris Union Jack dinaikkan. Sebagian serdadu yang lain, dengan senjata lengkap, menyebar ke penjuru kota. Mereka bersiaga.

Tidak ada perlawanan. Beberapa hari sebelum Inggris tiba, serdadu Belanda sudah menyingkir, dan hanya menyisakan segelintir. Rupanya waktu itu terjadi pergantian kekuasaan yang damai antara Belanda dan Inggris di Ambon, Maluku.

Baca Juga:
'Belanda Tidak Punya Hak Lagi atas Indonesia'

Perang yang berkecamuk di Eropa telah memaksa Raja Belanda Willem V lari dan bersembunyi dari kejaran Prancis di Kew, Inggris. Raja Willem yang dilindungi Inggris lalu memerintahkan bawahannya menyerahkan koloninya di Afrika dan Asia ke tangan Inggris.

Inggris sendiri sudah lama memantau Ambon. Sejak abad ke 17, Inggris sudah masuk ke Pulau Banda untuk membeli cengkeh dan pala. Maklum, permintaan rempah-rempah di Eropa kelewat tinggi. Keduanya juga beberapa kali berperang, bahkan saling bertukar pulau untuk berdamai.

Seabad lebih Belanda dan Inggris berebut Ambon, menggantikan 2 negara Eropa sebelumnya, Kastilia Spanyol dan Portugis. Namun, Spanyol dan Portugis menyepakati Perjanjian Zaragosa, hingga Spanyol menyingkir ke Filipina, sebelum Belanda akhirnya mengusir Portugis di Ambon.

Baca Juga:
Apa yang Membuat Orang Jawa Begitu Miskin?

Pada mulanya, masyarakat Ambon menganggap kedatangan Inggris pada akhir abad ke 18 itu sama dengan Belanda. Mereka sama-sama kulit putih, penjajah, yang datang untuk menghisap bumi dan kekayaan alam Maluku. Namun kemudian, di bawah Inggris, perlahan keadaan menjadi lebih baik.

Tidak ada lagi Pelayaran Hongi yang membakar pohon pala dan cengkeh. Tidak ada lagi monopoli perdagangan rempah-rempah. Pemindahan paksa para pekerja ke Jawa, juga perbudakan, disudahi. Beberapa pajak seperti pajak pasar dihapuskan, dan orang bebas berdagang dengan siapa saja.

Saat situasi mulai membaik itulah, Pemerintah Inggris merekruit serdadu dari warga Ambon. Janjinya, para serdadu itu tidak dikirim ke Jawa, tetapi bertahan di Maluku untuk mengamankan Maluku dari serbuan warga asing. Karena itu, seorang pemuda Ambon pun tertarik mendaftar.

Baca Juga:
'Dana Pajak Ini untuk Meredam Dampak Ekonomi Pasar'

Namanya Thomas Matulesia (1783-1817). “Ia tinggi, kurus dan sangat gelap. Tampaknya tidak terlalu cerdas. Dia orang Saparua, anggota Gereja Reformasi,” catat Komodor Ver Huell, kapten kapal perang Belanda di Maluku, yang juga menggambar skesta Matulesia di kapalnya. (Noldus, 1984)

Matulesia lalu dilatih serdadu Inggris. Saat Pangeran Diponegoro dan pasukannya di Jawa belum memanggul tombak dan menggenggam keris, ia sudah mahir menggunakan senapan. Maklum, 6 tahun ia jadi tentara Inggris di Ambon, lalu memimpinnya. Pangkat terakhirnya sersan mayor.

Namun, itu tidak lama. Beberapa tahun berselang, di Eropa, Napoleon kalah perang. Belanda yang terbebas dari Prancis kemudian mengadakan perjanjian dengan Inggris. Mereka menyepakati Traktat London, yang mewajibkan Inggris mengembalikan semua koloni Belanda yang dikuasai.

Baca Juga:
'Saya Harus Memberi Contoh Demokrasi'

Setelah itu, Belanda datang lagi ke Ambon dan kembali menerapkan pola penjajahannya. Monopoli kembali diterapkan. Pajak tanah diperkenalkan, juga perbudakan dan pemindahan paksa penduduk. Traktat London yang membebaskan serdadu Inggris jadi serdadu Belanda atau keluar, diabaikan.

Di situlah ketidakpuasan Matulesia bermula. Ia melihat bagaimana Maluku kembali terperosok ke liang penderitaan. Tak tahan, ia mulai mengorganisir perlawanan. Pada 14 Mei 1817, ia merancang Proklamasi Haria bersama 21 raja, dan tetua adat. Mereka mengangkatnya sebagai panglima perang.

Keeseokan harinya, pemberontakan dimulai. Bermula dari Saparua, lalu ke Hanimoa, Haruku, Nusa Laut, Ambon, dan Seram. Empat hari kemudian, Matulesia juga menghabisi pasukan Belanda yang dikirim untuk merebut kembali Benteng Duurstede, di bibir pantai Pulau Saparua. (Nanulaita, 1985)

Baca Juga:
'Pajak dalam Bentuk Barang Hanyalah Transisi'

“Kami sudah sangat tertekan untuk merawat cengkeh dan kopi, tetapi kami juga diperintahkan menjaga perkebunan pala. Ini membuat kami, yang harus bekerja berat untuk Hindia Belanda, mengalami nasib yang semakin pahit,” katanya. (Noldus, 1984)

Namun, sejarah berkata lain. Kapitan Pattimura dikhianati. Dalam gelap malam 11 November 1817, ia ditangkap, lalu dihukum gantung di halaman Benteng Victoria. “Saya adalah beringin besar, dan setiap beringin besar akan tumbang. Tapi beringin lain akan menggantikan,” katanya. (Bsi)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

05 September 2020 | 20:19 WIB

Sejarah adalah bagian penting dari revolusi kehidupan. Dari setiap cerita mengenai penderitaan, selalu lahir manusia yang melegenda. Dari situ, keberanian akan hari esok muncul dan berakar. Satu tumbang, seribu berkembang. Satu tokoh di satu masa adalah sebuah bukti nyata bahwa setiap manusia bisa bebas dari belenggu massa. Setiap manusia bisa merdeka.

ARTIKEL TERKAIT
Kamis, 03 Juni 2021 | 16:07 WIB A.A. MARAMIS:

'Belanda Tidak Punya Hak Lagi atas Indonesia'

Kamis, 06 Mei 2021 | 16:29 WIB R.A. KARTINI:

Apa yang Membuat Orang Jawa Begitu Miskin?

Rabu, 14 April 2021 | 13:50 WIB MIKHAIL S. GORBACHEV:

'Dana Pajak Ini untuk Meredam Dampak Ekonomi Pasar'

Rabu, 17 Maret 2021 | 18:08 WIB BJ. HABIBIE:

'Saya Harus Memberi Contoh Demokrasi'

BERITA PILIHAN
Rabu, 25 Desember 2024 | 13:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%

Rabu, 25 Desember 2024 | 12:30 WIB KEBIJAKAN KEPABEANAN

Fitur MFA Sudah Diterapkan di Portal CEISA sejak 1 Desember 2024

Rabu, 25 Desember 2024 | 11:30 WIB PMK 94/2023

Pemerikaan Pajak oleh DJP terhadap Kontraktor Migas, Apa Saja?

Rabu, 25 Desember 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK

Dokumen yang Dilampirkan saat Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan

Rabu, 25 Desember 2024 | 09:37 WIB KURS PAJAK 25 DESEMBER 2024 - 31 DESEMBER 2024

Kurs Pajak Terbaru: Rupiah Melemah terhadap Mayoritas Mata Uang Mitra

Rabu, 25 Desember 2024 | 09:30 WIB THAILAND

Negara Tetangga Ini Bakal Bebaskan Hutan Mangrove dari Pajak

Rabu, 25 Desember 2024 | 09:00 WIB LAYANAN PAJAK

Kantor Pajak Telepon 141.370 WP Sepanjang 2023, Kamu Termasuk?

Rabu, 25 Desember 2024 | 08:30 WIB KPP PRATAMA BADUNG SELATAN

Kantor Pajak Minta WP Tenang Kalau Didatangi Petugas, Ini Alasannya