LAPORAN DDTC DARI SEOUL

Setelah 26 Tahun, Konglomerat Keluhkan Lagi Tingginya Pajak Warisan

Yusuf Wangko Ngantung | Senin, 05 Agustus 2019 | 10:51 WIB
Setelah 26 Tahun, Konglomerat Keluhkan Lagi Tingginya Pajak Warisan

Senior Manager of International Tax / Transfer Pricing Services DDTC Yusuf Wangko Ngantung (kiri) dan Specialist of Transfer Pricing Services DDTC David Steven Macquairie saat menjadi delegasi DDTC di Seoul, Korea Selatan.

SEOUL, DDTCNews – Meninggalnya pengusaha sukses Korea Selatan, Cho Yang Ho, pada 7 April 2019 menguatkan kembali polemik pengenaan pajak warisan di Negeri Ginseng.

Polemik kembali menguat setelah putra Ketua dan Pejabat Eksekutif tertinggi Korean Air dan Hanjin Group tersebut, Cho Won Tae, harus membayar pajak warisan 65%. Cho Won Tae dipaksa untuk membayar pajak sekitar 160 miliar won (sekitar Rp1,8 triliun). Akhirnya, sang ahli waris menjual harta warisannya kepada pihak lain.

Kejadian tersebut menjadi salah satu dari beberapa kasus yang mengharuskan ahli waris untuk kehilangan pengendalian manajerialnya karena beban pajak warisan di Korea Selatan. Sesuai ketentuan, harta warisan senilai lebih dari 3 miliar won (sekitar Rp35,2 miliar) dikenai tarif pajak 50%.

Baca Juga:
Cari Tambahan Penerimaan, Negara ini Rombak Regulasi Pajak Warisan

Selain itu, tarif pajak sebesar 65% akan dibebankan apabila harta tersebut merupakan saham mayoritas dalam suatu perusahaan. Sejauh ini, tarif pajak atas harta warisan di Korea Selatan menempati posisi pertama tertinggi di antara negara-negara OECD dengan rata-rata tarif 25%.

Selama 26 tahun berjalan, tarif pajak tersebut kembali dipersoalkan. Pengenaan tarif pajak warisan diibaratkan sebagai pisau bermata dua. Di satu sisi, kebijakan itu sukses memperkecil kesenjangan ekonomi di Korea Selatan. Namun, di sisi lain, tarif pajak warisan yang tinggi justru memperbesar peluang bagi pihak lain untuk mengambil alih pengendalian atas suatu perusahaan.

Pengenaan pajak warisan dan hibah di Korea Selatan tercatat mencapai 1,5% dari total penerimaan pajak. Hal tersebut merupakan angka tertinggi kedua di dunia. Tidak mengherankan jika kebijakan pengenaan pajak warisan dengan tarif tinggi ini dirasa diskriminatif dan tidak adil bagi para keluarga Chaebol (konglomerat Korea Selatan).

Baca Juga:
RI Kenakan Lagi BMAD Produk Canai Lantaian Asal China, Korea, Taiwan

Keluarga Chaebol seakan dihantui dengan pajak tersebut karena adanya risiko kehilangan pengendalian manajerial perusahaan. Banyak ahli waris suatu perusahaan besar memilih untuk menjual aset harta warisan tersebut dan merelakan bisnis keluarga tersebut ke tangan orang lain.

Kasus yang terjadi setelah meninggalnya Cho Yang Ho semakin memberikan perlawanan bagi perekonomian di Korea Selatan. Keberlangsungan usaha yang dilakukan secara turun temurun mulai semakin punah dan semakin mustahil untuk dilakukan.

Apabila terus berlanjut, risiko bisa menjadi lebih besar bagi bisnis perekonomian di Korea Selatan. Seiring berjalannya waktu, semakin banyak pewaris yang merasa sangat terbebani dan lebih memilih untuk mengalihkan usahanya ke negara yang tidak memberlakukan pajak warisan tersebut.

Baca Juga:
Urus Surat Bebas Pajak Warisan Bisa Online, Pakai Akun Milik Pewaris

Secara tidak langsung, kebijakan ini menutup semangat suatu perusahaan untuk dapat berkembang menjadi perusahaan yang besar di negaranya. Pengalihan pengendalian atas perusahaan secara tidak langsung dimungkinkan juga memberikan dampak bagi perusahaan untuk kehilangan aset. khususnya intangible asset yang melekat pada diri ahli waris/ penerusnya

Melihat faktor dan keadaan tersebut serta adanya dorongan dari kalangan komunitas bisnis grup di Korea Selatan, pemerintah sudah mulai pembahasan untuk mempertimbangkan penurunan tarif pajak yang dianggap berlebihan tersebut. Diharapkan, kebijakan tersebut tidak berdampak negatif, terutama bagi kelangsungan perekonomian di Korea Selatan. *

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Selasa, 08 Oktober 2024 | 17:30 WIB KEBIJAKAN KEPABEANAN

RI Kenakan Lagi BMAD Produk Canai Lantaian Asal China, Korea, Taiwan

Jumat, 04 Oktober 2024 | 10:30 WIB ADMINISTRASI PAJAK

Urus Surat Bebas Pajak Warisan Bisa Online, Pakai Akun Milik Pewaris

Senin, 09 September 2024 | 15:30 WIB KOREA SELATAN

Korea Selatan Godok Perpanjangan Diskon Pajak untuk Kendaraan Listrik

BERITA PILIHAN
Rabu, 25 Desember 2024 | 15:00 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Pemerintah akan Salurkan KUR Rp300 Triliun Tahun Depan

Rabu, 25 Desember 2024 | 13:30 WIB PSAK 201

Item-Item dalam Laporan Posisi Keuangan Berdasarkan PSAK 201

Rabu, 25 Desember 2024 | 13:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%

Rabu, 25 Desember 2024 | 12:30 WIB KEBIJAKAN KEPABEANAN

Fitur MFA Sudah Diterapkan di Portal CEISA sejak 1 Desember 2024

Rabu, 25 Desember 2024 | 11:30 WIB PMK 94/2023

Pemerikaan Pajak oleh DJP terhadap Kontraktor Migas, Apa Saja?

Rabu, 25 Desember 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK

Dokumen yang Dilampirkan saat Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan

Rabu, 25 Desember 2024 | 09:37 WIB KURS PAJAK 25 DESEMBER 2024 - 31 DESEMBER 2024

Kurs Pajak Terbaru: Rupiah Melemah terhadap Mayoritas Mata Uang Mitra