Senior Manager of International Tax / Transfer Pricing Services DDTC Yusuf Wangko Ngantung (kiri) dan Specialist of Transfer Pricing Services DDTC David Steven Macquairie saat menjadi delegasi DDTC di Seoul, Korea Selatan.
SEOUL, DDTCNews – Meninggalnya pengusaha sukses Korea Selatan, Cho Yang Ho, pada 7 April 2019 menguatkan kembali polemik pengenaan pajak warisan di Negeri Ginseng.
Polemik kembali menguat setelah putra Ketua dan Pejabat Eksekutif tertinggi Korean Air dan Hanjin Group tersebut, Cho Won Tae, harus membayar pajak warisan 65%. Cho Won Tae dipaksa untuk membayar pajak sekitar 160 miliar won (sekitar Rp1,8 triliun). Akhirnya, sang ahli waris menjual harta warisannya kepada pihak lain.
Kejadian tersebut menjadi salah satu dari beberapa kasus yang mengharuskan ahli waris untuk kehilangan pengendalian manajerialnya karena beban pajak warisan di Korea Selatan. Sesuai ketentuan, harta warisan senilai lebih dari 3 miliar won (sekitar Rp35,2 miliar) dikenai tarif pajak 50%.
Selain itu, tarif pajak sebesar 65% akan dibebankan apabila harta tersebut merupakan saham mayoritas dalam suatu perusahaan. Sejauh ini, tarif pajak atas harta warisan di Korea Selatan menempati posisi pertama tertinggi di antara negara-negara OECD dengan rata-rata tarif 25%.
Selama 26 tahun berjalan, tarif pajak tersebut kembali dipersoalkan. Pengenaan tarif pajak warisan diibaratkan sebagai pisau bermata dua. Di satu sisi, kebijakan itu sukses memperkecil kesenjangan ekonomi di Korea Selatan. Namun, di sisi lain, tarif pajak warisan yang tinggi justru memperbesar peluang bagi pihak lain untuk mengambil alih pengendalian atas suatu perusahaan.
Pengenaan pajak warisan dan hibah di Korea Selatan tercatat mencapai 1,5% dari total penerimaan pajak. Hal tersebut merupakan angka tertinggi kedua di dunia. Tidak mengherankan jika kebijakan pengenaan pajak warisan dengan tarif tinggi ini dirasa diskriminatif dan tidak adil bagi para keluarga Chaebol (konglomerat Korea Selatan).
Keluarga Chaebol seakan dihantui dengan pajak tersebut karena adanya risiko kehilangan pengendalian manajerial perusahaan. Banyak ahli waris suatu perusahaan besar memilih untuk menjual aset harta warisan tersebut dan merelakan bisnis keluarga tersebut ke tangan orang lain.
Kasus yang terjadi setelah meninggalnya Cho Yang Ho semakin memberikan perlawanan bagi perekonomian di Korea Selatan. Keberlangsungan usaha yang dilakukan secara turun temurun mulai semakin punah dan semakin mustahil untuk dilakukan.
Apabila terus berlanjut, risiko bisa menjadi lebih besar bagi bisnis perekonomian di Korea Selatan. Seiring berjalannya waktu, semakin banyak pewaris yang merasa sangat terbebani dan lebih memilih untuk mengalihkan usahanya ke negara yang tidak memberlakukan pajak warisan tersebut.
Secara tidak langsung, kebijakan ini menutup semangat suatu perusahaan untuk dapat berkembang menjadi perusahaan yang besar di negaranya. Pengalihan pengendalian atas perusahaan secara tidak langsung dimungkinkan juga memberikan dampak bagi perusahaan untuk kehilangan aset. khususnya intangible asset yang melekat pada diri ahli waris/ penerusnya
Melihat faktor dan keadaan tersebut serta adanya dorongan dari kalangan komunitas bisnis grup di Korea Selatan, pemerintah sudah mulai pembahasan untuk mempertimbangkan penurunan tarif pajak yang dianggap berlebihan tersebut. Diharapkan, kebijakan tersebut tidak berdampak negatif, terutama bagi kelangsungan perekonomian di Korea Selatan. *
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.