RESUME Putusan Peninjauan Kembali ini merangkum sengketa pajak mengenai koreksi dasar pengenaan pajak (DPP) PPh Pasal 26 atas biaya bunga obligasi internasional.
Dalam perkara ini, wajib pajak melakukan transaksi pembayaran bunga obligasi internasional kepada X Co yang berdomisili di Belanda. Wajib pajak meminjam sejumlah uang dari X Co yang berkedudukan di Belanda.
Atas peminjaman sejumlah dana tersebut, wajib pajak berkewajiban mengembalikan uang yang dipinjam beserta bunganya. Sebagai informasi, dalam struktur kepemilikan perusahaan, saham X Co dimiliki oleh Y Co selaku holding company sebesar 100%.
Otoritas pajak berpendapat hak pemajakan atas penghasilan bunga obligasi internasional tersebut ada di Indonesia. Namun, dalam sengketa ini, wajib pajak belum melakukan pemotongan PPh Pasal 26. Selain itu, otoritas pajak menilai pembayaran bunga obligasi internasional sebenarnya tidak dilakukan dari wajib pajak kepada X Co, tetapi dari wajib pajak kepada Y Co.
Dalam hal ini, otoritas pajak beranggapan X Co hanyalah bertindak sebagai special purpose vehicle (SPV) yang berbentuk conduit company. Berdasarkan pada Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE 03/PJ.03/2008, SPV berbentuk conduit company tidak termasuk dalam pengertian beneficial owner. Dengan demikian, X Co bukan merupakan beneficial owner atas penghasilan bunga obligasi internasional tersebut.
Sebaliknya, wajib pajak menyatakan pihaknya melakukan pembayaran bunga obligasi internasional kepada X Co dan bukan kepada Y Co. Adapun atas penghasilan bunga yang diterima oleh X Co tidak dipajaki di Indonesia, tetapi di Belanda.
Pada tingkat banding, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan untuk menolak banding yang diajukan wajib pajak. Kemudian, pada tingkat PK, Mahkamah Agung mengabulkan Permohonan PK yang diajukan oleh wajib pajak.
Apabila tertarik membaca putusan ini lebih lengkap, kunjungi laman Direktori Putusan Mahkamah Agung atau Perpajakan DDTC.
WAJIB pajak mengajukan banding ke Pengadilan Pajak atas keberatannya terhadap penetapan otoritas pajak. Terkait dengan sengketa biaya bunga obligasi internasional tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Pajak berpendapat atas penghasilan yang dibayarkan kepada X Co seharusnya dipotong PPh sebesar 20%.
Terhadap permohonan banding tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan menolak permohonan banding yang diajukan oleh wajib pajak. Selanjutnya, dengan diterbitkannya Putusan Pengadilan Pajak No. Put. 59881/PP/M.IIB/13/2017 tanggal 26 Februari 2015, wajib pajak mengajukan upaya hukum PK secara tertulis ke Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada 23 Juni 2015.
Pokok sengketa dalam perkara ini adalah adanya koreksi positif DPP PPh Pasal 26 yang berasal dari pembayaran biaya bunga obligasi internasional senilai Rp1.081.112.049.765 untuk tahun pajak 2007.
PEMOHON PK selaku wajib pajak menyatakan keberatan atas pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Dalam perkara ini, Pemohon PK tidak setuju dengan adanya koreksi atas DPP PPh Pasal 26 yang dilakukan oleh Termohon PK senilai Rp1.081.112.049.765.
Dalam perkara ini, Pemohon PK meminjam sejumlah uang dari X Co yang berkedudukan di Belanda. Atas peminjaman sejumlah dana tersebut, Pemohon PK berkewajiban mengembalikan uang yang dipinjam beserta bunganya.
Pemohon PK menyatakan untuk mengetahui negara yang berhak memungut pajak atas penghasilan bunga tersebut, perlu merujuk pada ketentuan Pasal 11 ayat (1) sampai ayat (5) P3B Indonesia-Belanda. Berdasarkan pada ketentuan tersebut, bunga obligasi internasional yang timbul di salah satu negara dan dibayarkan kepada penduduk negara lainnya dapat dikenakan pajak di negara lainnya.
Namun demikian, apabila beneficial owner dari penghasilan bunga obligasi internasional tersebut adalah penduduk negara lainnya, pajak yang dikenakan tidak akan melebihi 10% dari jumlah bruto bunga yang dibayarkan.
Selain itu, bunga yang timbul di salah satu negara hanya akan dikenakan pajak di negara lainnya jika pemilik manfaat dari bunga merupakan penduduk negara lainnya dan utang dibuat dalam jangka waktu lebih dari 2 tahun.
Dalam konteks sengketa ini, Pemohon PK menilai beneficial owner atas penghasilan bunga obligasi internasional tersebut ialah X Co dan bukan Y Co. Hal ini dibuktikan dengan adanya SKD yang menandakan bahwa X Co benar-benar beneficial owner dari penghasilan bunga dan berdomisili di Belanda.
Oleh karena itu, Pemohon PK tidak berkewajiban untuk memotong PPh Pasal 26 atas bunga sebesar 20% yang dibayarkan kepada X Co. Sebab, pendapatan bunga yang diterima oleh X Co dari Pemohon PK telah dikenakan pajak di Negara Belanda. Jika Termohon PK mengenakan pemotongan PPh Pasal 26 dengan tarif 20% maka telah terjadi pengenaan pajak berganda dan merugikan bagi Pemohon PK.
Sebaliknya, Termohon PK tidak sependapat dengan pernyataan Pemohon PK. Termohon PK menyatakan bahwa pembayaran bunga obligasi internasional sebenarnya tidak dilakukan dari Pemohon PK kepada X Co, melainkan dari Pemohon PK kepada Y Co.
Merujuk pada Pasal 11 ayat (2) P3B Indonesia-Belanda, terdapat 2 syarat yang harus dipenuhi oleh agar penghasilan atas bunga dapat dikenakan pajak di Belanda.
Pertama, bunga obligasi internasional yang berasal dari Indonesia hanya akan dikenakan pajak di Belanda jika beneficial owner dari bunga tersebut merupakan penduduk Belanda. Kedua, bunga tersebut dibayarkan atas utang yang dibuat untuk jangka waktu lebih dari 2 tahun.
Termohon PK berpendapat transaksi pembayaran bunga obligasi internasional oleh Pemohon PK kepada Y Co tidak memenuhi kedua persyaratan di atas. Selain itu, Termohon PK menyatakan bahwa beneficial owner atas penghasilan bunga dari Pemohon PK ialah Y Co dan bukan X Co.
Mengacu pada Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE 03/PJ.03/2008, beneficial owner adalah pemilik sebenarnya dari penghasilan berupa bunga obligasi internasional yang berhak sepenuhnya untuk menerima manfaat secara langsung. Kemudian, SPV dalam bentuk conduit company, paper box company, dan pass-through company tidak termasuk dalam pengertian beneficial owner.
Dalam konteks sengketa ini, menurutnya, X Co merupakan SPV dalam bentuk conduit company yang tidak termasuk dalam pengertian beneficial owner. Dengan begitu, X Co bukan beneficial owner dari penghasilan bunga obligasi internasional yang diperoleh dari Pemohon PK.
Berdasarkan pada uraian di atas, Termohon PK berpendapat Indonesia berhak mengenakan pajak atas bunga obligasi internasional yang dibayarkan oleh Pemohon PK sesuai ketentuan PPh Pasal 26 sebesar 20%. Dengan demikian, koreksi yang dilakukan Termohon PK sudah benar dan dapat dipertahankan.
MAHKAMAH Agung berpendapat alasan-alasan permohonan PK yang diajukan oleh Pemohon PK dapat dibenarkan. Putusan Pengadilan Pajak No. Put. 59881/PP/M.IIB/13/2015 yang menyatakan menolak permohonan Pemohon PK bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Terdapat 3 pertimbangan hukum Mahkamah Agung sebagai berikut.
Pertama, alasan-alasan atas koreksi pengenaan PPh Pasal 26 dengan tarif 20% terhadap biaya bunga obligasi internasional yang dibayarkan Pemohon PK kepada X Co senilai Rp1.081.112.049.765 yang dipertahankan Majelis Hakim Pengadilan Pajak tidak dapat dibenarkan.
Sebab, setelah meneliti dan menguji kembali dalil-dalil yang diajukan para pihak, pendapat Termohon PK tidak dapat menggugurkan fakta-fakta dan melemahkan bukti-bukti yang terungkap dalam persidangan.
Kedua, penyelesaian perkara ini perlu merujuk pada prinsip hukum lex specialis derogat lex generalis dan lex superior derogat legi inferiori. Ketiga, alasan-alasan Pemohon PK cukup berdasar dan patut untuk dikabulkan.
Oleh karena itu, dapat dinyatakan bahwa terdapat putusan Pengadilan Pajak yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang sebagaimana diatur dalam Pasal 91 huruf e UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
Berdasarkan pada pertimbangan di atas, permohonan PK yang diajukan oleh Pemohon PK dinilai beralasan dan dinyatakan dikabulkan. Dengan demikian, Termohon PK ditetapkan sebagai pihak yang kalah dan dihukum untuk membayar biaya perkara.
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.