RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa Penghitungan DPP PPN atas Impor Limbah Produksi

Vallencia | Jumat, 08 April 2022 | 17:09 WIB
Sengketa Penghitungan DPP PPN atas Impor Limbah Produksi

RESUME Putusan Peninjauan Kembali (PK) ini merangkum sengketa pajak mengenai penghitungan dasar pengenaan pajak (DPP) pajak pertambahan nilai (PPN) atas impor limbah produksi yang mendapatkan fasilitas kemudahan impor tujuan ekspor (KITE).

Otoritas pajak menilai DPP yang digunakan dalam menghitung PPN atas impor limbah produksi adalah nilai impor. Namun, otoritas pajak mengalami kesulitan dalam menghitung nilai impor. Oleh sebab itu, DPP PPN ditetapkan dengan mengacu pada rata-rata nilai impor bahan baku.

Sebaliknya, wajib pajak menyatakan tidak sepakat jika penetapan DPP PPN atas impor limbah produksi menggunakan nilai impor. Menurut wajib pajak, DPP PPN seharusnya ditentukan berdasarkan pada harga jual ditambah dengan bea masuk.

Baca Juga:
Pedagang Gunakan QRIS untuk Pembayaran, Konsumen Bayar PPN 12 Persen?

Pada tingkat banding, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan untuk menolak permohonan banding yang diajukan oleh wajib pajak. Kemudian, di tingkat PK, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan PK yang diajukan oleh wajib pajak.

Apabila tertarik membaca putusan ini lebih lengkap, kunjungi laman Direktori Putusan Mahkamah Agung atau Perpajakan DDTC.

Kronologi
WAJIB pajak mengajukan banding ke Pengadilan Pajak atas keberatannya terhadap penetapan otoritas pajak. Majelis Hakim Pengadilan Pajak berpendapat wajib pajak tidak konsisten dalam menghitung DPP PPN atas impor limbah sisa produksi. Dengan begitu, Majelis tidak dapat meyakini kebenaran argumentasi, bukti, dan dasar perhitungan wajib pajak.

Baca Juga:
Sengketa Yuridis Pengenaan PPN atas Jasa Kecantikan

Selain itu, Majelis Hakim Pengadilan Pajak juga mengungkapkan penghitungan otoritas pajak dalam menentukan besaran kuantum sisa bahan baku impor yang dijual kembali dan harga rata-rata per kilogram (kg) bahan baku telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Terhadap permohonan banding tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan menolak permohonan banding yang diajukan oleh wajib pajak. Selanjutnya, dengan diterbitkannya Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put. 51915/PP/M.XVB/16/2014 tanggal 16 April 2014, wajib pajak mengajukan upaya hukum PK secara tertulis ke Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada 24 Juli 2014.

Pokok sengketa dalam perkara ini adalah koreksi positif DPP PPN atas impor barang kena pajak (BKP) masa pajak Oktober 2008 senilai Rp1.045.783.447 yang dipertahankan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak.

Baca Juga:
Konsep PPN, Deviasi, dan Isu Kenaikan PPN 12%

Pendapat Pihak yang Bersengketa
PEMOHON PK selaku wajib pajak menyatakan keberatan atas pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Dalam perkara ini, perlu dipahami terlebih dahulu bahwa Pemohon PK merupakan pengusaha yang melakukan impor atas limbah sisa produksi yang dijual di dalam daerah pabean. Adapun atas impor tersebut mendapatkan fasilitas KITE.

Dalam perkara ini, sengketa pajak terjadi karena Termohon PK tidak konsisten dalam melakukan penghitungan DPP PPN atas impor limbah sisa produksi. Inkonsistensi tersebut dibuktikan dengan adanya perbedaan penghitungan PPN dalam surat keberatan dengan surat banding.

Merujuk pada Peraturan Menteri Keuangan No. 111/PMK.010/2006, Pemohon PK berpendapat penghitungan DPP PPN seharusnya mengacu pada harga jual ditambah dengan bea masuk. Apabila dilihat teknis penghitungannya, besaran bea masuk berasal dari harga jual dikalikan dengan tarif bea masuk atas limbah sebesar 5%.

Baca Juga:
Jamin Stimulus Ekonomi Efektif, Birokrasi Penyaluran Perlu Dipermudah

Di samping itu, Pemohon PK menguatkan argumennya dengan melampirkan putusan hakim terdahulu atau yurisprudensi, yaitu Putusan Pengadilan Pajak No. Put-38620/PP/MXVII/19/2012. Apabila merujuk pada putusan tersebut, penghitungan DPP PPN atas impor limbah sisa produksi dengan berdasarkan pada harga jual ditambah dengan bea masuk sudah benar dan dapat dipertahankan.

Sebaliknya, Termohon PK menyatakan tidak setuju dengan Pemohon PK. Termohon PK berpendapat impor atas hasil produksi sampingan, sisa hasil produksi, barang jadi yang rusak, dan bahan baku rusak, dikenai PPN dengan DPP sejumlah nilai impor. Pendapat tersebut sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan No.129/KMK.04/2003.

Namun demikian, sebagaimana disebutkan dalam Surat Uraian Banding (SUB) Nomor: SUB-31/WPJ.09/BD/2013, Termohon PK kesulitan menghitung nilai impor yang sebenarnya atas bahan baku. Oleh sebab itu, DPP PPN ditetapkan dengan mengacu pada rata-rata nilai impor bahan baku.

Baca Juga:
Maret 2024: Pemerintah Rilis Ketentuan Baru terkait Akuntansi Koperasi

Pertimbangan Mahkamah Agung
MAHKAMAH Agung berpendapat alasan permohonan PK dapat dibenarkan. Putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan menolak permohonan banding bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Dalam perkara ini, terdapat 2 pertimbangan Mahkamah Agung sebagai berikut.

Pertama, alasan-alasan permohonan PK atas koreksi DPP PPN atas impor barang serta jasa dapat dibenarkan. Setelah meneliti dan menguji kembali dalil-dalil yang diajukan kedua belah pihak, pendapat Pemohon PK dapat menggugurkan fakta dan melemahkan bukti yang terungkap dalam persidangan serta pertimbangan hukum Majelis Pengadilan Pajak.

Kedua, dalam perkara a quo, dalil Termohon PK yang menetapkan DPP PPN dengan berdasarkan rata-rata satuan impor tidak dapat dibenarkan. Sebab, pernyataan Termohon PK tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku.

Berdasarkan pada pertimbangan di atas, Mahkamah Agung menilai permohonan PK cukup berdasar dan dapat dikabulkan. Dengan demikian, Termohon PK dinyatakan sebagai pihak yang kalah sehingga harus membayar biaya perkara. (kaw)

(Disclaimer)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Jumat, 27 Desember 2024 | 15:15 WIB KONSULTASI PAJAK

Pedagang Gunakan QRIS untuk Pembayaran, Konsumen Bayar PPN 12 Persen?

Jumat, 27 Desember 2024 | 14:30 WIB RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa Yuridis Pengenaan PPN atas Jasa Kecantikan

Jumat, 27 Desember 2024 | 14:00 WIB KELAS PPN

Konsep PPN, Deviasi, dan Isu Kenaikan PPN 12%

Jumat, 27 Desember 2024 | 10:45 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Jamin Stimulus Ekonomi Efektif, Birokrasi Penyaluran Perlu Dipermudah

BERITA PILIHAN
Jumat, 27 Desember 2024 | 17:00 WIB KILAS BALIK 2024

April 2024: WP Terpilih Ikut Uji Coba Coretax, Bonus Pegawai Kena TER

Jumat, 27 Desember 2024 | 16:45 WIB KEBIJAKAN MONETER

2025, BI Beli SBN di Pasar Sekunder dan Debt Switch dengan Pemerintah

Jumat, 27 Desember 2024 | 16:30 WIB KABUPATEN KUDUS

Ditopang Pajak Penerangan Jalan dan PBB-P2, Pajak Daerah Tembus Target

Jumat, 27 Desember 2024 | 16:00 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Harga Tiket Turun, Jumlah Penumpang Pesawat Naik 2,6 Persen

Jumat, 27 Desember 2024 | 15:30 WIB LAPORAN TAHUNAN DJP 2023

Rata-Rata Waktu Penyelesaian Pengaduan Perpajakan di DJP Capai 9 Hari

Jumat, 27 Desember 2024 | 15:15 WIB KONSULTASI PAJAK

Pedagang Gunakan QRIS untuk Pembayaran, Konsumen Bayar PPN 12 Persen?

Jumat, 27 Desember 2024 | 15:00 WIB KAMUS KEPABEANAN

Apa Itu Pembukuan dalam bidang Kepabeanan?

Jumat, 27 Desember 2024 | 14:30 WIB RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa Yuridis Pengenaan PPN atas Jasa Kecantikan

Jumat, 27 Desember 2024 | 14:00 WIB KELAS PPN

Konsep PPN, Deviasi, dan Isu Kenaikan PPN 12%

Jumat, 27 Desember 2024 | 13:30 WIB UU HKPD

Berlaku Mulai 5 Januari 2025, Begini Penghitungan Opsen Pajak