RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa Penetapan Jasa Persewaan Pesawat Sebagai Objek PPN

DDTC Fiscal Research and Advisory | Jumat, 25 Februari 2022 | 16:46 WIB
Sengketa Penetapan Jasa Persewaan Pesawat Sebagai Objek PPN

RESUME Putusan Peninjauan Kembali (PK) ini merangkum sengketa pajak mengenai jasa persewaan pesawat udara yang dianggap sebagai jasa kena pajak (JKP) yang seharusnya dikenakan pajak pertambahan nilai (PPN).

Otoritas pajak menilai usaha yang dilakukan wajib pajak ialah penyerahan jasa persewaan pesawat udara. Adapun jasa persewaan pesawat tersebut termasuk persewaan barang bergerak yang seharusnya dikenakan PPN.

Sebaliknya, wajib pajak menyatakan tidak setuju dengan dalil otoritas pajak. Wajib pajak menegaskan bidang usaha yang digelutinya ialah jasa angkutan udara luar negeri, bukan jasa persewaan pesawat. Menurutnya, penyerahan jasa angkutan udara luar negeri seharusnya tidak dikenakan PPN.

Baca Juga:
Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%

Pada tingkat banding, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan untuk menolak permohonan banding yang diajukan oleh wajib pajak. Kemudian, di tingkat PK, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan PK yang diajukan wajib pajak.

Apabila tertarik membaca putusan ini lebih lengkap, kunjungi laman Direktori Putusan Mahkamah Agung atau Perpajakan DDTC.

Kronologi

WAJIB pajak mengajukan banding ke Pengadilan Pajak atas keberatannya terhadap penetapan otoritas pajak. Berdasarkan pada pemeriksaan dan penelitian, Majelis Hakim Pengadilan Pajak berpendapat kegiatan usaha yang dijalankan wajib pajak ialah jasa persewaan pesawat udara. Adapun jasa persewaan pesawat termasuk jasa persewaan barang bergerak yang atas penyerahannya terutang PPN.

Baca Juga:
Apa Itu Barang Tidak Kena PPN serta PPN Tak Dipungut dan Dibebaskan?

Selain itu, selama proses persidangan, wajib pajak hanya dapat menyampaikan bukti berupa invoice saja. Dalam konteks ini, pengajuan bukti berupa invoice tidak dapat meyakinkan Majelis Hakim Pengadilan Pajak untuk mengabulkan permohonan banding.

Terhadap uraian di atas, Majelis Hakim Pengadilan Pajak menyatakan menolak permohonan banding yang diajukan wajib pajak. Selanjutnya, dengan diterbitkannya Putusan Pengadilan Pajak No. Put.57121/PP/M.XIVB/16/2014 tanggal 12 November 2014, wajib pajak mengajukan upaya hukum PK secara tertulis ke Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada 27 Februari 2015.

Pokok sengketa dalam perkara ini adalah koreksi positif dasar pengenaan pajak (DPP) PPN masa pajak Oktober 2008 senilai Rp1.133.764.901 yang dipertahankan Majelis Hakim Pengadilan Pajak.

Baca Juga:
Kurs Pajak Terbaru: Rupiah Melemah terhadap Mayoritas Mata Uang Mitra

Pendapat Pihak yang Bersengketa

PEMOHON PK menyatakan keberatan atas pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Adapun pokok sengketa dalam perkara ini adalah transaksi jasa persewaan pesawat udara oleh Termohon PK yang belum dipungut PPN.

Dalam persidangan, Pemohon PK menegaskan pihaknya merupakan wajib pajak yang memiliki usaha di bidang jasa angkutan udara luar negeri dan bukan perusahan yang bergerak di bidang persewaan pesawat terbang.

Sebagai perusahaan yang bergerak di bidang jasa angkutan udara luar negeri, nilai penyerahan diperhitungkan apabila pesawat diterbangkan dan penerbangannya bersifat tidak terjadwal atau borongan.

Baca Juga:
Sempat Menolak, PDIP Kini Berbalik Dukung PPN 12 Persen

Kemudian, jangka waktu pengoperasian pesawat dilakukan sepanjang waktu selama perusahaan masih melakukan kegiatan usaha jasa angkutan udara. Pernyataan ini didukung dengan bukti berupa izin usaha dan air operator certificate (AOC) No. AOC/135-038.

Lebih lanjut, dalam Pasal 13 Peraturan Pemerintah No. 144 Tahun 2000, penyerahan atas jasa angkutan udara di luar daerah pabean tidak dikenakan PPN. Dengan demikian, koreksi yang dilakukan Termohon PK tidak dapat dipertahankan.

Sebaliknya, Termohon PK menyatakan tidak setuju dengan pendapat Pemohon PK. Sebagaimana diatur dalam KEP-05/PJ/1994, salah satu jenis jasa persewaan barang bergerak ialah persewaan pesawat udara.

Baca Juga:
Hingga November, Kanwil DJP Jakbar Kumpulkan Pajak Rp57,67 Triliun

Adapun atas penyerahan jasa persewaan barang bergerak berupa pesawat tersebut seharusnya dikenakan PPN. Pernyataan Termohon PK tersebut sesuai dengan Surat Direktur Jenderal Pajak No. S-3480/PJ.531/1997 yang menyatakan penyerahan jasa persewaan barang bergerak terutang PPN. Selain itu, Termohon PK menilai bukti yang diajukan Pemohon PK berupa invoice masih belum bisa membuktikan dalil-dalilnya.

Merujuk pada uraian di atas, Termohon PK menilai penyerahan jasa persewaan pesawat udara yang dilakukan Pemohon PK termasuk jenis jasa persewaan barang bergerak yang dikenakan PPN. Oleh karena itu, koreksi yang dilakukan Termohon PK sudah benar dan dapat dipertahankan.

Pertimbangan Mahkamah Agung

MAHKAMAH Agung berpendapat alasan-alasan permohonan PK dapat dibenarkan. Putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan menolak permohonan banding secara nyata bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku. Adapun terhadap perkara ini, terdapat 2 pertimbangan Mahkamah Agung sebagai berikut.

Baca Juga:
Banyak Sengketa Pilkada, Uji Materiil UU KUP-Pengadilan Pajak Tertunda

Pertama, koreksi positif atas DPP PPN yang harus dipungut sendiri senilai Rp1.133.764.901 dapat dibenarkan. Setelah meneliti dan menguji kembali dalil-dalil yang diajukan para pihak yang bersengketa, pendapat Pemohon PK dapat menggugurkan fakta dan melemahkan bukti yang terungkap dalam persidangan serta pertimbangan hukum Majelis Pengadilan Pajak.

Kedua, dalam perkara a quo, Mahkamah Agung berpendapat jasa persewaan pesawat udara termasuk jasa angkutan udara sehingga tidak dikenakan PPN. Dengan begitu, koreksi yang dilakukan Termohon PK tidak dapat dipertahankan karena tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Berdasarkan pada pertimbangan di atas, Mahkamah Agung menilai permohonan PK cukup berdasar sehingga dinyatakan dikabulkan. Dengan demikian, Termohon PK ditetapkan sebagai pihak yang kalah dan dihukum untuk membayar biaya perkara. Putusan Mahkamah Agung ini diucapkan oleh Hakim Ketua dalam sidang yang terbuka untuk umum pada 7 Desember 2016. (vallen/kaw)


(Disclaimer)
Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Rabu, 25 Desember 2024 | 13:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%

Rabu, 25 Desember 2024 | 09:37 WIB KURS PAJAK 25 DESEMBER 2024 - 31 DESEMBER 2024

Kurs Pajak Terbaru: Rupiah Melemah terhadap Mayoritas Mata Uang Mitra

Selasa, 24 Desember 2024 | 19:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Sempat Menolak, PDIP Kini Berbalik Dukung PPN 12 Persen

BERITA PILIHAN
Rabu, 25 Desember 2024 | 15:00 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Pemerintah akan Salurkan KUR Rp300 Triliun Tahun Depan

Rabu, 25 Desember 2024 | 13:30 WIB PSAK 201

Item-Item dalam Laporan Posisi Keuangan Berdasarkan PSAK 201

Rabu, 25 Desember 2024 | 13:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%

Rabu, 25 Desember 2024 | 12:30 WIB KEBIJAKAN KEPABEANAN

Fitur MFA Sudah Diterapkan di Portal CEISA sejak 1 Desember 2024

Rabu, 25 Desember 2024 | 11:30 WIB PMK 94/2023

Pemerikaan Pajak oleh DJP terhadap Kontraktor Migas, Apa Saja?

Rabu, 25 Desember 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK

Dokumen yang Dilampirkan saat Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan

Rabu, 25 Desember 2024 | 09:37 WIB KURS PAJAK 25 DESEMBER 2024 - 31 DESEMBER 2024

Kurs Pajak Terbaru: Rupiah Melemah terhadap Mayoritas Mata Uang Mitra