RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa Pajak atas Penetapan Pemungutan PPh Pasal 26 atas Bunga

Hamida Amri Safarina | Senin, 11 Mei 2020 | 16:36 WIB
Sengketa Pajak atas Penetapan Pemungutan PPh Pasal 26 atas Bunga

RESUME Putusan Peninjauan Kembali (PK) ini merangkum sengketa pajak mengenai penetapan pemungutan pajak penghasilan (PPh) Pasal 26 atas bunga.

Perlu dipahami bahwa wajib pajak telah melakukan peminjaman uang kepada pihak lawan transaksi yang berkedudukan di Belanda. Kesepakatan tersebut tertuang dalam perjanjian pinjam-meminjam (loan agreement). Dalam perkara ini, wajib pajak melakukan pembayaran bunga kepada pihak tersebut.

Wajib pajak berdalil bahwa atas peminjaman sejumlah uang ke pihak lawan transaksi seharusnya tidak dikenakan PPh Pasal 26 atas bunga. Sebab, berdasarkan Pasal 11 ayat (4) Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Indonesia dan Belanda, hak pemajakan atas bunga berada di Belanda saja. Dengan demikian, seharusnya wajib pajak tidak terutang PPh Pasal 26 atas bunga.

Baca Juga:
PKP Risiko Rendah Diterbitkan SKPKB, Kena Sanksi Kenaikan atau Bunga?

Berbeda dengan pendapat wajib pajak, otoritas pajak menilai bahwa transaksi pembayaran bunga tetap dikenakan PPh Pasal 26 sebesar 20%. Wajib pajak tidak dapat membuktikan bahwa pembayaran bunga dilakukan kepada pihak yang berkedudukan di Belanda. Dengan demikian, wajib pajak tidak dapat memanfaatkan fasilitas dalam tax treaty antara Indonesia dan Belanda.

Pada tingkat banding, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan mengabulkan sebagian permohonan banding yang diajukan wajib pajak. Selanjutnya, di tingkat PK, Mahkamah Agung menolak permohonan dari wajib pajak selaku Pemohon PK.

Apabila tertarik membaca putusan ini lebih lengkap, kunjungi laman Direktori Putusan Mahkamah Agung atau di sini.

Baca Juga:
Banyak Sengketa Pilkada, Uji Materiil UU KUP-Pengadilan Pajak Tertunda

Kronologi
WAJIB pajak mengajukan banding ke Pengadilan Pajak atas keberatannya terhadap penetapan otoritas pajak. Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan bahwa pembayaran bunga dari Pemohon PK ke pihak lawan transaksi dikenakan PPh Pasal 26 dengan tarif sebesar 20%. Namun, tidak semua hakim sepakat dengan penetapan besaran tarif tersebut.

Salah satu hakim memberikan dissenting opinion dengan menyatakan bahwa seharusnya atas transaksi pembayaran bunga dikenakan PPh Pasal 26 dengan tarif sebesar 10%. Sebab, pihak lawan transaksi merupakan beneficial owner atau pemilik manfaat atas penghasilan bunga yang berkedudukan di Belanda.

Atas permohonan banding tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Pajak menyatakan mengabulkan sebagian permohonan banding yang diajukan wajib pajak. Dengan keluarnya Putusan Pengadilan Pajak No. Put. 55433/PP/M.XIA/13/2014 tertanggal 22 September 2014, wajib pajak mengajukan upaya hukum PK secara tertulis ke Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada 18 Desember 2014.

Baca Juga:
Sengketa atas Koreksi DPP PPN yang Kurang Dibayar

Pokok sengketa dalam perkara a quo adalah koreksi dasar pengenaan pajak (DPP) PPh Pasal 26 tahun pajak 2008 atas pembayaran bunga.

Pendapat Pihak yang Bersengketa
PEMOHON PK menyatakan keberatan atas pertimbangan hakim dalam putusan Pengadilan Pajak No. Put. 55433/PP/M.XIA/13/2014. Majelis Hakim Pengadilan Pajak telah salah dan keliru dalam menyelesaikan perkara a quo.

Pemohon PK berdalil bahwa pihaknya tidak terutang PPh Pasal 26 atas bunga. Pemohon tidak setuju dengan koreksi yang dilakukan Termohon PK atas biaya bunga dengan tarif 20%.

Baca Juga:
BI Ungkap Dampak Tarif PPN 12 Persen Terhadap Inflasi ‘Tidak Besar’

Perlu dipahami bahwa Pemohon PK telah melakukan peminjaman uang kepada pihak lawan transaksi. Jangka waktu peminjaman ialah lebih dari dua tahun. Atas peminjaman tersebut, selanjutnya Pemohon PK melakukan pembayaran bunga kepada pihak lawan transaksi.

Pihak lawan transaksi merupakan perusahaan jasa keuangan yang berkedudukan di Belanda. Kedudukan pihak lawan transaksi dapat dibuktikan melalui surat keterangan domisili (SKD). Surat tersebut telah diserahkan kepada Termohon PK sebagai bukti bahwa X Co berkedudukan di Belanda.

Berdasarkan Pasal 11 ayat (4) P3B antara Indonesia dan Belanda diatur bahwa pembayaran bunga sehubungan dengan pinjaman yang memiliki jangka waktu lebih dari dua tahun, hak pemajakan atas bunga tersebut berada di Belanda.

Baca Juga:
Wacana Penurunan Batas Omzet PPh Final, UMKM Makin Terbebani?

Lebih lanjut, Pemohon PK juga menyampaikan bahwa dikarenakan kondisi keuangan Pemohon yang kurang baik, pihak lawan transaksi mengubah tingkat bunga pinjaman pada 2008 menjadi 0%.

Perubahan tersebut telah tertuang dalam Amandement Agreement to The Loan Agreement. Berdasarkan penjelasan di atas, transaksi atas pembayaran bunga tidak terutang PPh Pasal 26. Koreksi yang dilakukan Termohon PK seharusnya dibatalkan.

Sebaliknya, Termohon PK menyatakan pengenaan tarif atas bunga sebesar 20% sudah tepat. Sebab, Pemohon PK tidak dapat memberikan bukti pendukung bahwa pembayaran bunga dilakukan kepada pihak yang berkedudukan di Belanda. Dengan demikian, Pemohon PK tidak dapat memanfaatkan fasilitas dalam tax treaty antara Indonesia dan Belanda.

Baca Juga:
Sengketa PPN atas Klaim Layanan Garansi Suku Cadang Mobil

Pertimbangan Mahkamah Agung
MAHKAMAH Agung berpendapat bahwa pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Pajak sudah benar. Hakim Agung menilai pihak lawan transaksi benar berkedudukan di Belanda. Oleh karena itu, tarif DPP PPh Pasal 26 dari beban bunga adalah 20%. Dengan demikian, koreksi yang dilakukan terbanding tetap dipertahankan.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, permohonan PK yang diajukan oleh Pemohon PK tidak beralasan sehingga dinyatakan ditolak ditolak. Dengan ditolaknya permohonan PK, Pemohon PK dinyatakan sebagai pihak yang kalah dan dihukum untuk membayar biaya perkara.

(Disclaimer)
Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Kamis, 26 Desember 2024 | 12:30 WIB ADMINISTRASI PAJAK

PKP Risiko Rendah Diterbitkan SKPKB, Kena Sanksi Kenaikan atau Bunga?

Selasa, 24 Desember 2024 | 11:30 WIB MAHKAMAH KONSTITUSI

Banyak Sengketa Pilkada, Uji Materiil UU KUP-Pengadilan Pajak Tertunda

Jumat, 20 Desember 2024 | 19:00 WIB RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa atas Koreksi DPP PPN yang Kurang Dibayar

Kamis, 19 Desember 2024 | 09:43 WIB KEBIJAKAN MONETER

BI Ungkap Dampak Tarif PPN 12 Persen Terhadap Inflasi ‘Tidak Besar’

BERITA PILIHAN
Kamis, 26 Desember 2024 | 14:30 WIB KPP PRATAMA BENGKULU SATU

Mobil Rp200 Juta Disita KPP, Bakal Dilelang Kalau Utang Tak Dilunasi

Kamis, 26 Desember 2024 | 14:00 WIB KILAS BALIK 2024

Februari 2024: Wajib Pajak Bereaksi karena Potongan PPh 21 Lebih Besar

Kamis, 26 Desember 2024 | 13:30 WIB CORETAX SYSTEM

Jelang Coretax Diterapkan, PKP Bakal Perlu Bikin Sertel Baru

Kamis, 26 Desember 2024 | 13:00 WIB PROVINSI JAWA TIMUR

Opsen Berlaku 2025, Pemprov Turunkan Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan

Kamis, 26 Desember 2024 | 12:30 WIB ADMINISTRASI PAJAK

PKP Risiko Rendah Diterbitkan SKPKB, Kena Sanksi Kenaikan atau Bunga?

Kamis, 26 Desember 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK DAERAH

9 Jenis Pajak Daerah Terbaru yang Ditetapkan Pemkot Sibolga

Kamis, 26 Desember 2024 | 10:30 WIB KILAS BALIK 2024

Januari 2024: Ketentuan Tarif Efektif PPh Pasal 21 Mulai Berlaku

Kamis, 26 Desember 2024 | 10:00 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Kredit Investasi Padat Karya Diluncurkan, Plafonnya Capai Rp10 Miliar

Kamis, 26 Desember 2024 | 09:30 WIB PENGAWASAN BEA CUKAI

Libur Natal dan Tahun Baru, Bea Cukai Perketat Pengawasan di Perairan

Kamis, 26 Desember 2024 | 09:00 WIB CORETAX SYSTEM

Fitur Coretax yang Tersedia selama Praimplementasi Terbatas, Apa Saja?