RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa Pajak atas Faktur Pajak Fiktif

DDTC Fiscal Research and Advisory | Jumat, 02 Agustus 2024 | 19:09 WIB
Sengketa Pajak atas Faktur Pajak Fiktif

RESUME Putusan Peninjauan Kembali (PK) ini merangkum sengketa mengenai koreksi terhadap pengkreditan pajak masukan atas pembelian barang dari supplier.

Dalam perkara ini, wajib pajak yang menjalankan usaha retail melakukan transaksi pembelian kepada PT X sebagai pihak supplier. Wajib pajak menerima faktur pajak dari PT X yang kemudian ditindaklanjuti dengan pembayaran tagihan. Pada akhirnya, faktur pajak tersebut digunakan wajib pajak untuk melakukan mekanisme pengkreditan pajak pertambahan nilai (PPN).

Otoritas pajak menilai faktur pajak yang diterbitkan oleh PT X kepada wajib pajak perlu diwaspadai dan diindikasikan sebagai faktur pajak fiktif. Kecurigaan tersebut muncul karena faktur pajak yang diterbitkan termasuk dalam kriteria poin 3 Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE-29/PJ.53/2003 tentang Langkah-Langkah Penanganan atas Penerbitan dan Penggunaan Faktur Pajak Tidak Sah (Fiktif) (SE-29/2003).

Baca Juga:
Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%

Sebaliknya, wajib pajak berpendapat indikasi otoritas pajak terkait penerbit/pengguna faktur pajak fiktif tersebut hanya didasarkan atas asumsi semata. Sebab, wajib pajak merasa dapat menunjukan bahwa memang benar terdapat fakta berupa realisasi arus barang dan arus kas dari transaksi dimaksud.

Pada tingkat banding, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan menolak permohonan banding yang diajukan oleh wajib pajak. Kemudian, Mahkamah Agung menolak permohonan PK yang diajukan oleh wajib pajak.

Apabila tertarik membaca putusan ini lebih lengkap, kunjungi laman Direktori Putusan Mahkamah Agung atau Perpajakan DDTC.

Baca Juga:
Apa Itu Barang Tidak Kena PPN serta PPN Tak Dipungut dan Dibebaskan?

Kronologi

WAJIB pajak mengajukan banding ke Pengadilan Pajak atas keberatannya terhadap penetapan otoritas pajak. Majelis Hakim Pengadilan Pajak berpendapat koreksi atas faktur pajak masukan yang ditetapkan oleh otoritas pajak sudah tepat.

Berkaitan dengan koreksi di atas, Majelis Hakim Pengadilan Pajak menyatakan bahwa tidak terdapat cukup bukti yang meyakinkan mengenai adanya kesesuaian antara arus barang dan arus pembayaran kepada PT X.

Tidak adanya kesesuaian tersebut membuat Majelis Hakim Pengadilan Pajak menyimpulkan bahwa faktur pajak masukan yang disengketakan tidak memenuhi ketentuan Pasal 13 ayat 5 Undang-Undang (UU) No. 8 Tahun 1983 s.t.d.t.d UU No. 18 tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (UU PPN). Dengan demikian, faktur pajak masukan tersebut tergolong faktur pajak fiktif sehingga tidak dapat dikreditkan sesuai Pasal 9 ayat (8) huruf f UU PPN.

Baca Juga:
Kurs Pajak Terbaru: Rupiah Melemah terhadap Mayoritas Mata Uang Mitra

Terhadap permohonan banding tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan menolak permohonan banding yang diajukan oleh wajib pajak. Selanjutnya, dengan diterbitkannya Putusan Pengadilan Pajak No. PUT. 21591/PP/M.II/16/2010 pada 19 Januari 2010, wajib pajak mengajukan upaya hukum PK secara tertulis ke Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada 4 Mei 2010.

Pokok sengketa dalam perkara ini adalah koreksi atas faktur pajak masukan senilai Rp938.966.098 untuk masa pajak Januari 2004 yang diterbitkan oleh PT X dan digunakan oleh wajib pajak untuk mengkreditkan pajak keluaran.

Pendapat Pihak yang Bersengketa

PEMOHON PK selaku wajib pajak menyatakan keberatan atas pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Dalam perkara ini, Pemohon PK tidak setuju dengan keputusan majelis yang mempertahankan koreksi pajak masukan sebesar Rp938.966.098.

Baca Juga:
Sempat Menolak, PDIP Kini Berbalik Dukung PPN 12 Persen

Sebagai informasi, Pemohon PK merupakan perusahaan yang bergerak di bidang retail yang memiliki kurang lebih 3.000 supplier. Dalam menjalankan bisnisnya, Pemohon PK melakukan pembelian barang dari supplier tersebut, salah satunya PT X.

Kemudian, barang yang dibeli oleh Pemohon PK dari supplier (termasuk PT X) tersebut dijual kembali oleh Pemohon PK. Dalam proses administrasinya, PT X menerbitkan faktur pajak untuk Pemohon PK.

Berdasarkan pada faktur pajak yang diterbitkan PT X, Pemohon PK telah melunasi segala pembayaran yang ditagihkan termasuk PPN. Selanjutnya, Pemohon PK bermaksud untuk mengkreditkan faktur pajak masukan yang diterbitkan PT X tersebut. Namun, faktur pajak masukan yang dikreditkan tersebut dianggap sebagai faktur pajak fiktif oleh Termohon PK.

Baca Juga:
Hingga November, Kanwil DJP Jakbar Kumpulkan Pajak Rp57,67 Triliun

Menurut Pemohon PK, sepanjang proses persidangan banding telah dilakukan telaah mendalam atas bukti-bukti transaksi berupa faktur pajak, kuitansi pembayaran, invoice, serta surat jalan untuk membuktikan bahwa faktur pajak tidak tergolong fiktif.

Setelah proses tersebut dilakukan, Termohon PK sudah mengakui keabsahan pajak masukan PPN masa Januari 2004 seperti yang tertuang dalam Berita Pengujian Kebenaran Material Data Majelis II tanggal 24 Agustus 2008.

Namun demikian, pihak Majelis Hakim Pengadilan Pajak tidak mempertimbangkan fakta tersebut. Menurut Pemohon PK, tidak ada tindakan ilegal yang dilakukan karena tidak terdapat kerugian negara yang timbul akibat mekanisme pengkreditan PPN yang dilakukan.

Baca Juga:
Bikin Faktur Pajak Fiktif, Dua Bos Perusahaan Diserahkan ke Kejaksaan

Di samping itu, Pemohon PK menganggap bahwa Termohon PK telah keliru dengan menetapkannya sebagai pengguna faktur pajak fiktif. Sebab, dari sisi formal, Pemohon PK menilai tidak ada pernyataan keberatan dari Termohon PK dalam pemeriksaan pajak.

Dari sisi materiil, pada realitanya terdapat penyerahan barang dari PT X kepada Pemohon PK. Penyerahan tersebut ditandai dengan adanya dokumen penerimaan dan pengiriman barang yang ditandatangani serta diketahui oleh kedua belah pihak.

Berdasarkan pada dokumen tersebut diketahui bahwa barang telah diterima secara fisik di gudang Pemohon PK. Di samping itu, sudah terdapat pembayaran tagihan dan faktur pajak beserta pembayaran PPN terutang oleh Pemohon PK kepada PT X.

Baca Juga:
Banyak Sengketa Pilkada, Uji Materiil UU KUP-Pengadilan Pajak Tertunda

Lebih jauh lagi, Pemohon PK berpendapat apabila terdapat indikasi faktur pajak fiktif oleh penerbit faktur pajak (PT X), seharusnya pihak Termohon PK melakukan proses pemeriksaan untuk memastikan ada tidaknya kesalahan tersebut. Dengan demikian, terhadap penerbit faktur pajak fiktif dapat dilakukan pemeriksaan bukti permulaan oleh tim penyidik.

Sebagai tambahan, Pemohon PK menilai bahwa dirinya tidak dapat memastikan apakah seluruh faktur pajak yang diterbitkan pihak pengusaha kena pajak (PKP) adalah sah. Sebab, pengawasan secara rinci atas seluruh faktur pajak di luar kekuasaan Pemohon PK. Meski demikian, selama menjalankan kegiatan usahanya, Pemohon PK selalu berusaha menjalankan kewajiban perpajakan dengan sebaik-baiknya.

Sebaliknya, Termohon PK tidak setuju dengan pernyataan Pemohon PK. Dalam hal ini, Termohon PK menyatakan faktur pajak yang diterbitkan PT X selaku lawan transaksi dari Pemohon PK merupakan faktur pajak fiktif sehingga tidak dapat dikreditkan. Termohon PK mendasarkan argumennya pada surat jawaban klarifikasi dari salah satu kantor pelayanan pajak (KPP) di tempat PT X terdaftar.

Baca Juga:
Catat! Hari Ini Batas Permohonan SKB PPN yang Dimanfaatkan untuk 2024

Dalam surat tersebut, disebutkan bahwa faktur pajak masukan yang diterbitkan PT X dan kemudian digunakan oleh Pemohon PK untuk pengkreditan PPN perlu diwaspadai serta diindikasikan sebagai faktur pajak fiktif. Dengan begitu, koreksi yang dilakukan oleh Termohon PK dapat dibenarkan.

Pertimbangan Mahkamah Agung

MAHKAMAH Agung berpendapat alasan-alasan permohonan PK tidak dapat dibenarkan. Putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan menolak permohonan banding sehingga terdapat pajak yang masih harus dibayar sudah tepat dan benar.

Mahkamah Agung menyatakan bahwa faktur pajak masukan yang diterbitkan PT X tergolong ke dalam faktur pajak fiktif sehingga tidak dapat dikreditkan. Sebab, tidak terdapat cukup bukti yang mendukung keabsahan faktur pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (8) huruf f UU PPN.

Berdasarkan pada pertimbangan di atas, permohonan PK yang diajukan oleh Pemohon PK dinilai tidak beralasan sehingga harus ditolak. Dengan demikian, Pemohon PK ditetapkan sebagai pihak yang kalah dan dihukum untuk membayar biaya perkara. (Farrel Arkan)

(Disclaimer)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Rabu, 25 Desember 2024 | 13:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%

Rabu, 25 Desember 2024 | 09:37 WIB KURS PAJAK 25 DESEMBER 2024 - 31 DESEMBER 2024

Kurs Pajak Terbaru: Rupiah Melemah terhadap Mayoritas Mata Uang Mitra

Selasa, 24 Desember 2024 | 19:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Sempat Menolak, PDIP Kini Berbalik Dukung PPN 12 Persen

BERITA PILIHAN
Rabu, 25 Desember 2024 | 15:00 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Pemerintah akan Salurkan KUR Rp300 Triliun Tahun Depan

Rabu, 25 Desember 2024 | 13:30 WIB PSAK 201

Item-Item dalam Laporan Posisi Keuangan Berdasarkan PSAK 201

Rabu, 25 Desember 2024 | 13:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%

Rabu, 25 Desember 2024 | 12:30 WIB KEBIJAKAN KEPABEANAN

Fitur MFA Sudah Diterapkan di Portal CEISA sejak 1 Desember 2024

Rabu, 25 Desember 2024 | 11:30 WIB PMK 94/2023

Pemerikaan Pajak oleh DJP terhadap Kontraktor Migas, Apa Saja?

Rabu, 25 Desember 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK

Dokumen yang Dilampirkan saat Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan

Rabu, 25 Desember 2024 | 09:37 WIB KURS PAJAK 25 DESEMBER 2024 - 31 DESEMBER 2024

Kurs Pajak Terbaru: Rupiah Melemah terhadap Mayoritas Mata Uang Mitra