RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa Nilai Pabean atas Bea Masuk Impor Ventilator

DDTC Fiscal Research and Advisory | Jumat, 17 Mei 2024 | 19:45 WIB
Sengketa Nilai Pabean atas Bea Masuk Impor Ventilator

RESUME Putusan Peninjauan Kembali (PK) ini merangkum sengketa mengenai koreksi positif nilai pabean atas bea masuk transaksi impor ventilator dari Swiss.

Dalam perkara ini, wajib pajak mengimpor barang hamilton c2 intelligent ventilator including accessories dan lain-lain. Otoritas bea dan cukai menilai penetapan nilai pabean harus dilakukan berdasarkan pada nilai lain yang tercantum dalam Pasal 3 ayat (1) hingga ayat (5) PMK 160/2010.

Sebaliknya, wajib pajak berpendapat nilai pabean seharusnya ditetapkan berdasarkan pada nilai transaksi barang impor yang sebenarnya sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) PMK 160/2010.

Baca Juga:
Jual Rokok Eceran, Apakah Pedagang Wajib Punya NPPBKC?

Pada tingkat banding, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan menolak permohonan banding yang diajukan oleh wajib pajak. Kemudian, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan PK yang diajukan oleh wajib pajak.

Apabila tertarik membaca putusan ini lebih lengkap, kunjungi laman Direktori Putusan Mahkamah Agung atau Perpajakan DDTC.

Kronologi

WAJIB pajak mengajukan banding ke Pengadilan Pajak atas keberatannya terhadap penetapan nilai pabean yang dilakukan oleh otoritas bea dan cukai. Dalam proses persidangan tersebut, terdapat pendapat yang berbeda (dissenting opinion) dari Majelis Hakim Pengadilan Pajak.

Baca Juga:
Negara Ini Bakal Pangkas Tarif Bea Masuk Minuman Beralkohol

Dalam hal ini, terdapat Hakim Pengadilan Pajak yang berbeda pendapat dengan mayoritas hakim lain. Hakim yang dimaksud menyatakan mengabulkan permohonan banding wajib pajak. Menurutnya, harga yang ditetapkan oleh otoritas bea dan cukai merupakan harga penawaran yang tidak dapat digunakan sebagai dasar penetapan nilai transaksi.

Di sisi lain, mayoritas Hakim Pengadilan Pajak mempertahankan koreksi positif nilai pabean atas bea masuk yang ditetapkan oleh otoritas bea dan cukai. Hal ini dikarenakan wajib pajak tidak dapat membuktikan nilai pabean yang diberitahukan adalah nilai transaksi yang sebenarnya.

Pada akhirnya, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan menolak permohonan banding yang diajukan oleh wajib pajak. Selanjutnya, dengan diterbitkannya Putusan Pengadilan Pajak No. PUT-53537/PP/M.IXB/19/2014 tertanggal 26 Juni 2014, wajib pajak mengajukan upaya hukum PK secara tertulis ke Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada 30 September 2014.

Baca Juga:
Tren Berkas Sengketa Menurut Terbanding/Tergugat di Pengadilan Pajak

Pokok sengketa dalam perkara ini adalah koreksi positif nilai pabean untuk penghitungan bea masuk akibat perbedaan metode penetapan nilai pabean.

Pendapat Pihak yang Bersengketa

PEMOHON PK selaku wajib pajak menyatakan keberatan atas pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Persoalan dalam sengketa ini ialah perbedaan pendapat antara Pemohon PK dan Termohon PK atas penggunaan metode penghitungan besaran nilai pabean atas kegiatan impor.

Dalam perkara ini, Pemohon PK menggunakan metode penghitungan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) PMK 160/2010. Berdasarkan pada pasal tersebut, penghitungan nilai pabean ditentukan berdasarkan pada international commercial terms (incoterms) cost (biaya), insurance (asuransi), dan freight (pengangkutan) atau dikenal juga dengan CIF.

Baca Juga:
Asistensi Fasilitas Kepabeanan, DJBC Beri Pelatihan Soal IT Inventory 

Berdasarkan pada metode itu, nilai pabean dalam pemberitahuan impor barang (PIB) adalah senilai CIF CHF356.615,39. Secara detail, besaran tiap komponennya ialah cost (biaya) senilai CHF350.915,6, insurance (asuransi) senilai CHF1.774,21, dan freight (pengangkutan) senilai CHF3.925,68.

Nilai CIF tersebut menggunakan harga sebagaimana tertera pada invoice yang ditagih dan diterbitkan oleh lawan transaksi. Invoice tersebut, bersama dengan PIB, airwaybill, aplikasi transfer, dan rekening koran, telah dilampirkan sebagai bukti dokumen pendukung. Hal ini dilakukan guna memenuhi persyaratan penggunaan nilai transaksi dari barang impor yang bersangkutan.

Kemudian, Pemohon PK berpendapat metode lain sebagaimana yang digunakan oleh Termohon PK tidak dapat digunakan. Sebab, nilai pabean sudah ditetapkan dengan metode sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) PMK 160/2010.

Baca Juga:
Sengketa atas Pengajuan Pengurangan Sanksi Bunga

Dengan begitu, penetapan nilai pabean dengan metode lain yang dilakukan Termohon PK tidak dapat diterapkan. Berdasarkan pada pertimbangan di atas, Pemohon PK menyatakan nilai pabean yang dihitungnya sudah tepat.

Sebaliknya, Termohon PK tidak sependapat dengan pernyataan Pemohon PK. Menurutnya, penentuan nilai pabean dalam kasus ini seharusnya ditetapkan dengan metode lain. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) hingga ayat (5) PMK 160/2010.

Merujuk pada metode tersebut, perhitungan CIF yang disampaikan oleh Termohon PK dilakukan dengan berdasarkan pada harga pasar yang diperoleh melalui internet. Harga tersebut dijadikan dasar bagi Termohon PK untuk melakukan koreksi positif terhadap nilai pabean.

Baca Juga:
BMTP Impor Kain dan Karpet Diperpanjang, Sri Mulyani Harapkan Ini

Berdasarkan pada pertimbangan di atas, Termohon PK menyatakan bahwa nilai pabean yang digunakan Pemohon PK tidak tepat. Menurutnya, penetapan koreksi positif atas nilai pabean yang ditetapkannya sudah tepat.

Pertimbangan Mahkamah Agung

MAHKAMAH Agung berpendapat alasan-alasan permohonan PK dapat dibenarkan. Putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan menolak permohonan banding sehingga terdapat pajak yang kurang dibayar terbukti bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam putusan PK ini, Mahkamah Agung menyatakan penetapan nilai pabean yang dilakukan Termohon PK tidak tepat. Hal tersebut dikarenakan Termohon PK memakai harga pasar yang tidak mencerminkan harga transaksi yang terjadi di dalam negeri.

Baca Juga:
Ketentuan Bea Masuk Antidumping Ubin Keramik China, Download di Sini

Adapun harga yang dimaksud ialah harga penawaran atas jenis barang yang sama yang bersumber dari sebuah situs di internet. Menurut Mahkamah Agung, penggunaan harga fiktif yang tidak sesuai dengan transaksi sebenarnya tidak dapat dibenarkan dan merupakan tindakan yang sewenang-wenang.

Berdasarkan pada pertimbangan di atas, permohonan PK yang diajukan oleh Pemohon PK dinilai cukup berdasar dan patut untuk dikabulkan. Dengan demikian, Termohon PK dinyatakan sebagai pihak yang kalah dan dihukum untuk membayar biaya perkara. (Muhammad Farrel Arkan)

(Disclaimer)
Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Senin, 21 Oktober 2024 | 20:00 WIB KEBIJAKAN CUKAI

Jual Rokok Eceran, Apakah Pedagang Wajib Punya NPPBKC?

Minggu, 20 Oktober 2024 | 14:00 WIB HONG KONG

Negara Ini Bakal Pangkas Tarif Bea Masuk Minuman Beralkohol

Sabtu, 19 Oktober 2024 | 13:30 WIB KEBIJAKAN KEPABEANAN

Efisiensi Logistik, Pemerintah Kombinaskan INSW dan NLE

Sabtu, 19 Oktober 2024 | 11:01 WIB INFOGRAFIS PAJAK

Tren Berkas Sengketa Menurut Terbanding/Tergugat di Pengadilan Pajak

BERITA PILIHAN
Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:30 WIB KANWIL DJP JAWA TIMUR II

Pakai Faktur Pajak Fiktif, Dirut Perusahaan Akhirnya Ditahan Kejari

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:00 WIB TIPS PAJAK DAERAH

Cara Daftarkan Objek Pajak Alat Berat di DKI Jakarta secara Online

Selasa, 22 Oktober 2024 | 15:30 WIB AUSTRALIA

Bikin Orang Enggan Beli Rumah, Australia Bakal Hapus BPHTB

Selasa, 22 Oktober 2024 | 14:00 WIB KP2KP SIDRAP

Ubah Kata Sandi Akun Coretax, Fiskus: Tak Perlu Cantumkan EFIN

Selasa, 22 Oktober 2024 | 13:45 WIB KABINET MERAH PUTIH

Tak Lagi Dikoordinasikan oleh Menko Ekonomi, Kemenkeu Beri Penjelasan

Selasa, 22 Oktober 2024 | 13:30 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kenaikan Tarif PPN Perlu Diikuti dengan Transparansi Belanja

Selasa, 22 Oktober 2024 | 11:45 WIB LITERATUR PAJAK

Perkaya Pengetahuan Pajak, Baca 11 e-Books Ini di Perpajakan DDTC

Selasa, 22 Oktober 2024 | 11:45 WIB PERPRES 139/2024

Kemenkeu Era Prabowo Tak Lagi Masuk di Bawah Koordinasi Menko Ekonomi

Selasa, 22 Oktober 2024 | 11:30 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Anggota DPR Ini Minta Prabowo Kaji Ulang Kenaikan PPN Jadi 12 Persen