RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa Koreksi Peredaran Usaha Terkait Marketing Fee

Rinaldi Adam Firdaus | Jumat, 25 Agustus 2023 | 17:15 WIB
Sengketa Koreksi Peredaran Usaha Terkait Marketing Fee

RESUME Putusan Peninjauan Kembali (PK) ini merangkum sengketa pajak mengenai koreksi positif penghasilan neto atas peredaran usaha senilai Rp2.780.095.729 untuk tahun pajak 2006.

Dalam menjalankan usaha, wajib pajak memperoleh penghasilan berupa komisi (marketing fee) atas kegiatan pemasaran yang dilakukannya untuk PT A. Wajib pajak tidak mencatat penghasilan berupa komisi dari PT A dan tidak melaporkannya dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan pajak penghasilan (PPh) badan.

Otoritas pajak menilai seharusnya wajib pajak melakukan pencatatan atas penghasilan berupa komisi tersebut sesuai dengan prinsip accrual basis sebagaimana diatur dalam Pasal 28 ayat (5) UU KUP. Selain itu, saat terutangnya komisi tersebut seharusnya mengacu pada Penjelasan Pasal 8 ayat (3) PP 138/2000.

Baca Juga:
Tren Berkas Sengketa Menurut Terbanding/Tergugat di Pengadilan Pajak

Di sisi lain, wajib pajak berpendapat komisi dari PT A tersebut belum bisa diakui sebagai penghasilan sampai adanya realisasi arus masuk kas. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam PSAK Nomor 57 paragraf 34.

Pada tingkat banding, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan untuk mengabulkan seluruhnya permohonan banding yang diajukan wajib pajak. Kemudian, di tingkat PK, Mahkamah Agung menolak permohonan PK yang diajukan otoritas pajak.

Apabila tertarik membaca putusan ini lebih lengkap, kunjungi laman Direktori Putusan Mahkamah Agung atau Perpajakan ID.

Baca Juga:
Sengketa atas Pengajuan Pengurangan Sanksi Bunga

Kronologi

WAJIB pajak mengajukan banding ke Pengadilan Pajak atas keberatannya terhadap penetapan otoritas pajak. Majelis Hakim Pengadilan Pajak berpendapat koreksi positif penghasilan neto atas komisi yang diterima oleh wajib pajak dari PT A tidak tepat.

Terhadap permohonan banding tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Pajak menyatakan mengabulkan seluruhnya permohonan banding. Selanjutnya, dengan diterbitkannya Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.23397/PP/M.IX/15/2010 tanggal 30 April 2010, otoritas pajak mengajukan upaya hukum PK secara tertulis di Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada 2 September 2010.

Pokok sengketa dalam perkara ini adalah koreksi positif penghasilan neto atas peredaran usaha senilai Rp2.780.095.729 yang tidak dipertahankan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak.

Baca Juga:
Pencantuman NITKU Bakal Bersifat Mandatory saat Pembuatan Bukti Potong

Pendapat Pihak yang Bersengketa

PEMOHON PK selaku otoritas pajak menyatakan keberatan atas pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Dalam perkara ini, terdapat 2 pokok sengketa. Pokok sengketa pertama berkaitan dengan putusan Pengadilan Pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 88 ayat (1) UU 14/2002.

Dalam hal ini, Majelis Hakim Pengadilan Pajak telah melewati jangka waktu pengiriman salinan putusan. Adapun putusan sudah diucapkan dalam sidang terbuka pada 30 April 2010. Oleh karena itu, salinan putusan tersebut seharusnya dikirimkan kepada para pihak paling lambat pada 30 Mei 2010.

Namun, dalam kasus ini, salinan putusan baru dikirimkan kepada Pemohon PK pada 3 Juni 2010. Dengan demikian, Putusan Pengadilan Pajak yang dimaksud dapat dinyatakan cacat hukum sehingga harus dibatalkan demi hukum.

Baca Juga:
Optimalisasi Penerimaan Pajak Tak Boleh Sebabkan Peningkatan Sengketa

Selanjutnya, pokok sengketa kedua dalam putusan ini terkait dengan koreksi positif penghasilan neto atas peredaran usaha senilai Rp2.780.095.729 untuk tahun pajak 2006. Dalam kasus ini, Termohon PK mendapatkan komisi (marketing fee) sebagai imbalan atas kegiatan pemasaran yang dilakukannya untuk PT A.

Menurut Pemohon PK, pencatatan marketing fee dari PT A yang diterima oleh Termohon PK seharusnya mengacu pada prinsip accrual basis. Artinya, penghasilan harus diakui pada waktu diperolehnya tagihan dan tidak tergantung pada kapan penghasilan itu diterima (cash basis). Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 28 ayat (5) UU No. 6 Tahun 1983 s.t.d.d UU No. 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) beserta penjelasannya.

Lebih lanjut, merujuk pada penjelasan Pasal 8 PP 138/2000, saat terutangnya penghasilan lazimnya ditetapkan pada saat jatuh tempo, saat tersedia untuk dibayarkan, saat yang ditentukan dalam kontrak/perjanjian atau faktur, atau saat tertentu lainnya.

Baca Juga:
Sengketa PPh Orang Pribadi Pasca Mendapat Hibah Properti

Selain itu, saat terutangnya penghasilan juga ditentukan berdasarkan pada saat pengakuan biaya sesuai dengan metode pembukuan yang dianut oleh pihak yang berkewajiban memotong atau memungut pajak penghasilan.

Menurut Pemohon PK, penghasilan berupa komisi senilai Rp2.780.095.729 seharusnya dilaporkan oleh Termohon PK dalam SPT Tahunan PPh badan untuk tahun pajak 2006. Berdasarkan pertimbangan tersebut, Pemohon PK menyatakan koreksi yang ditetapkannya sudah benar dan tepat. Dengan demikian, pertimbangan dan amar putusan Majelis Hakim Pengadilan Pajak telah salah dan keliru serta tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku (contra legem).

Sebaliknya, Termohon PK menyatakan tidak setuju dengan pendapat Pemohon PK. Termohon PK berpendapat komisi dari PT A tersebut belum bisa diakui sebagai penghasilan sampai adanya realisasi arus kas.

Baca Juga:
Sengketa atas Pajak Masukan yang Dapat Dikreditkan

Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam PSAK Nomor 57 paragraf 34 yang menyatakan bahwa aset potensial yang timbul dari peristiwa masa lalu (aset kontinjensi) tidak diakui dalam laporan keuangan, kecuali jika realisasi penghasilan sudah dapat dipastikan.

Selain itu, perlu dicatat, komisi yang didapatkan oleh Termohon PK adalah sebesar 2% dari nilai piutang yang dapat ditagih oleh PT A dari pelanggannya. Hal ini sebagaimana tercantum dalam Marketing Assistance Agreement antara Termohon PK dengan PT A.

Oleh sebab itu, nilai Rp2.780.095.729 pada dasarnya merupakan estimasi nilai piutang yang belum pasti dapat diterima oleh PT A. Dengan demikian, Termohon PK tidak memiliki hak untuk melakukan penagihan, apalagi mengakui pendapatan komisi dari PT A atas estimasi nilai piutang tersebut.

Baca Juga:
BPN Dibentuk, Pengadilan Pajak Harus Hadir untuk Lindungi Hak WP

Hal ini yang kemudian mendasari Termohon PK tidak melaporkan penghasilan berupa komisi senilai Rp2.780.095.729 dalam SPT Tahunan PPh badan untuk tahun pajak 2006. Dengan demikian, Termohon PK menyatakan koreksi yang ditetapkan oleh Pemohon PK tidak benar sehingga harus dibatalkan.

Pertimbangan Mahkamah Agung

MAHKAMAH Agung berpendapat alasan-alasan permohonan PK tidak dapat dibenarkan. Putusan Pengadilan Pajak No. Put.23397/PP/M.IX/15/2010 yang menyatakan mengabulkan seluruhnya permohonan banding sudah tepat dan benar. Adapun terhadap perkara ini, terdapat 2 pertimbangan Mahkamah Agung sebagai berikut.

Pertama, pendapat yang menyatakan bahwa Putusan Pengadilan Pajak Nomor: Put.23397/PP/M.IX/15/2010 tidak memenuhi Pasal 88 ayat (1) UU 14/2002 tidak dapat dibenarkan. Sebab, persoalan mengenai jangka waktu yang berkaitan dengan proses administrasi penyelesaian perkara semata tidak dapat membatalkan putusan.

Baca Juga:
Sengketa PPh Pasal 23 atas Jasa Freight Forwarding

Kedua, alasan-alasan permohonan PK tentang koreksi positif penghasilan neto atas peredaran usaha juga tidak dapat dibenarkan. Menurut Mahkamah Agung, pertimbangan hukum dan Putusan Pengadilan Pajak No. Put.23397/PP/M.IX/15/2010 yang mengabulkan seluruhnya permohonan banding sudah tepat dan benar sesuai dengan undang-undang yang berlaku.

Dengan demikian, tidak terdapat putusan Pengadilan Pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 huruf e UU 14/2022.

Berdasarkan pada pertimbangan di atas, permohonan PK yang diajukan Pemohon PK tidak beralasan sehingga harus ditolak. Kemudian, Pemohon PK ditetapkan sebagai pihak yang kalah dan dihukum untuk membayar biaya perkara.


(Disclaimer)
Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Sabtu, 19 Oktober 2024 | 11:01 WIB INFOGRAFIS PAJAK

Tren Berkas Sengketa Menurut Terbanding/Tergugat di Pengadilan Pajak

Jumat, 18 Oktober 2024 | 20:30 WIB RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa atas Pengajuan Pengurangan Sanksi Bunga

Jumat, 18 Oktober 2024 | 09:14 WIB BERITA PAJAK HARI INI

Pencantuman NITKU Bakal Bersifat Mandatory saat Pembuatan Bukti Potong

Kamis, 17 Oktober 2024 | 12:39 WIB DDTC EXCLUSIVE GATHERING 2024

Optimalisasi Penerimaan Pajak Tak Boleh Sebabkan Peningkatan Sengketa

BERITA PILIHAN
Selasa, 22 Oktober 2024 | 17:30 WIB KPP PRATAMA JAMBI TELANAIPURA

WP Gagal Daftar LPSE karena KSWP Tidak Valid, Gara-Gara Tak Lapor SPT

Selasa, 22 Oktober 2024 | 17:06 WIB LEMBAGA LEGISLATIF

DPR Tetapkan Daftar Mitra Kerja untuk Komisi XII dan Komisi XIII

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:41 WIB IHPS I/2024

BPK Selamatkan Keuangan Negara Rp13,66 Triliun pada Semester I/2024

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:30 WIB KANWIL DJP JAWA TIMUR II

Pakai Faktur Pajak Fiktif, Dirut Perusahaan Akhirnya Ditahan Kejari

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:00 WIB TIPS PAJAK DAERAH

Cara Daftarkan Objek Pajak Alat Berat di DKI Jakarta secara Online

Selasa, 22 Oktober 2024 | 15:30 WIB AUSTRALIA

Bikin Orang Enggan Beli Rumah, Australia Bakal Hapus BPHTB

Selasa, 22 Oktober 2024 | 14:00 WIB KP2KP SIDRAP

Ubah Kata Sandi Akun Coretax, Fiskus: Tak Perlu Cantumkan EFIN

Selasa, 22 Oktober 2024 | 13:45 WIB KABINET MERAH PUTIH

Tak Lagi Dikoordinasikan oleh Menko Ekonomi, Kemenkeu Beri Penjelasan

Selasa, 22 Oktober 2024 | 13:30 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kenaikan Tarif PPN Perlu Diikuti dengan Transparansi Belanja