RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa Koreksi DPP PPN atas Penjualan Barang Konsinyasi

Abiyoga Sidhi Wiyanto | Jumat, 17 November 2023 | 15:45 WIB
Sengketa Koreksi DPP PPN atas Penjualan Barang Konsinyasi

RESUME Putusan Peninjauan Kembali ini merangkum sengketa koreksi positif dasar pengenaan pajak (DPP) PPN atas penjualan barang konsinyasi yang tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPN wajib pajak.

Otoritas pajak menemukan adanya transaksi berupa penjualan barang titipan atau konsinyasi yang tidak dilaporkan oleh wajib pajak. Atas dasar tersebut, otoritas pajak melakukan koreksi positif DPP PPN. Koreksi oleh otoritas pajak tersebut didukung dengan adanya bukti berupa faktur pajak dari PT A yang merupakan rekanan usaha wajib pajak.

Sementara itu, wajib pajak berpendapat bahwa sebagian penjualan sepeda motor yang dilakukannya merupakan transaksi konsinyasi. Sesuai dengan perjanjian usaha dengan PT A, wajib pajak akan mendapatkan komisi atas penjualan barang konsinyasi tersebut sebesar 1% hingga 1,5%.

Baca Juga:
Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%

Pada tingkat banding, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan untuk menolak permohonan banding yang diajukan wajib pajak. Kemudian, pada tingkat PK, Mahkamah Agung juga menolak Permohonan PK yang diajukan oleh wajib pajak.

Apabila tertarik membaca putusan ini lebih lengkap, kunjungi laman Direktori Putusan Mahkamah Agung atau Perpajakan DDTC.

Kronologi

WAJIB pajak mengajukan banding ke Pengadilan Pajak atas keberatannya terhadap koreksi yang ditetapkan oleh otoritas pajak. Majelis Hakim Pengadilan Pajak berpendapat atas koreksi DPP PPN barang konsinyasi yang ditetapkan oleh otoritas pajak sudah tepat.

Baca Juga:
Apa Itu Barang Tidak Kena PPN serta PPN Tak Dipungut dan Dibebaskan?

Terhadap permohonan banding tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan menolak permohonan banding yang diajukan oleh wajib pajak. Selanjutnya, dengan diterbitkannya Putusan Pengadilan Pajak No. Put. 62718/PP/M.VA/16/2015 tanggal 30 Juli 2015, wajib pajak mengajukan upaya hukum PK secara tertulis ke Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada 24 November 2015.

Pokok sengketa dalam perkara ini yaitu koreksi DPP PPN masa pajak April 2008 senilai Rp411.825.620 yang dipertahankan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak.

Pendapat Pihak yang Bersengketa

PEMOHON PK selaku wajib pajak menyatakan keberatan atas pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Dalam perkara ini, Pemohon PK merupakan agen jual beli sepeda motor. Adapun persediaan sepeda motor yang dijual oleh Pemohon PK tersebut diperoleh dari dealer utama, yaitu PT A.

Baca Juga:
Kurs Pajak Terbaru: Rupiah Melemah terhadap Mayoritas Mata Uang Mitra

Sengketa pajak timbul ketika terjadi lonjakan permintaan sepeda motor di wilayah usaha Pemohon PK pada 2008. Ketika permintaan atas sepeda motor di wilayah usaha Pemohon PK meningkat, persediaan sepeda motor yang dapat dijual Pemohon PK tidak mencukupi. Situasi tersebut mendorong Pemohon PK untuk meminta tambahan kuota sepeda motor kepada PT A.

Kemudian, PT A sepakat memberi kuota penjualan sepeda motor yang dimiliki dealer lain kepada Pemohon PK. Namun, pemberian kuota tersebut dilakukan dengan syarat margin keuntungan yang diperoleh Pemohon PK lebih kecil dari penjualan kuota sepeda motor Pemohon PK yang sebenarnya.

Kuota sepeda motor tambahan yang diberikan oleh PT A kepada Pemohon PK tersebut dianggap sebagai barang konsinyasi dari dealer lain. Terhadap penjualan sepeda motor yang merupakan barang konsinyasi tersebut, Pemohon PK menerima komisi senilai 1% hingga 1,5% dari harga penjualan.

Baca Juga:
Sempat Menolak, PDIP Kini Berbalik Dukung PPN 12 Persen

Dalam perkara ini, Pemohon PK tidak menerima secara langsung keuntungan atas penjualan barang konsinyasi berupa sepeda motor tersebut. Oleh karena itu, atas transaksi penjualan tersebut tidak perlu dilaporkan ke dalam SPT Masa PPN Pemohon PK.

Selain itu, Pemohon PK menilai bahwa koreksi DPP PPN yang hanya didasarkan pada bukti tunggal berupa faktur pajak tidak tepat dilakukan. Sebab, terdapat dokumen pendukung lain sebagai perbandingan penghitungan pajak masukan dan pajak keluaran yang seharusnya diteliti oleh Termohon PK.

Sebaliknya, Termohon PK menyatakan tidak setuju atas pernyataan Pemohon PK. Dalam proses pemeriksaan, ditemukan fakta bahwa Pemohon PK tidak melaporkan penjualan sepeda motor yang merupakan barang konsinyasi tersebut dalam SPT Masa PPN Pemohon PK. Padahal, transaksi konsinyasi sepeda motor yang dilakukan Pemohon PK seharusnya dilaporkan dalam SPT Masa PPN.

Baca Juga:
Hingga November, Kanwil DJP Jakbar Kumpulkan Pajak Rp57,67 Triliun

Berdasarkan fakta tersebut, Termohon PK melakukan koreksi positif DPP PPN dengan menambahkan harga pembelian sepeda motor yang tercantum dalam faktur pajak. Dengan demikian, Termohon PK menyatakan koreksi yang dilakukannya sudah benar dan dapat dipertahankan.

Pertimbangan Mahkamah Agung

MAHKAMAH Agung berpendapat bahwa alasan-alasan permohonan PK tidak dapat dibenarkan. Putusan Pengadilan Pajak No. Put. 62718/PP/M.VA/16/2015 yang menyatakan menolak permohonan banding sudah tepat. Terdapat dua pertimbangan hukum Mahkamah Agung sebagai berikut.

Pertama, alasan-alasan permohonan PK dalam perkara a quo terkait koreksi positif DPP PPN untuk masa pajak April 2008 senilai Rp411.825.620 yang dipertahankan Majelis Hakim Pengadilan Pajak tidak dapat dibenarkan.

Baca Juga:
Banyak Sengketa Pilkada, Uji Materiil UU KUP-Pengadilan Pajak Tertunda

Sebab, setelah meneliti dan menguji kembali dalil-dalil yang diajukan oleh para pihak, pendapat Pemohon PK tidak dapat menggugurkan fakta-fakta dan melemahkan bukti-bukti yang terungkap dalam persidangan serta pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak.

Kedua, Mahkamah Agung menyatakan bahwa transaksi konsinyasi yang dilakukan Pemohon PK dengan PT A tergolong sebagai penyerahan barang kena pajak yang dikenakan PPN. Dengan demikian, tidak terdapat putusan Pengadilan Pajak yang bertentangan dengan ketentuan yang berlaku. Dengan begitu, koreksi Termohon PK tetap dipertahankan.

Berdasarkan pada pertimbangan di atas, permohonan PK yang diajukan oleh Pemohon PK tidak beralasan sehingga harus ditolak. Dengan demikian, Pemohon PK dinyatakan sebagai pihak yang kalah dan dihukum untuk membayar biaya perkara.


(Disclaimer)
Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Rabu, 25 Desember 2024 | 13:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%

Rabu, 25 Desember 2024 | 09:37 WIB KURS PAJAK 25 DESEMBER 2024 - 31 DESEMBER 2024

Kurs Pajak Terbaru: Rupiah Melemah terhadap Mayoritas Mata Uang Mitra

Selasa, 24 Desember 2024 | 19:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Sempat Menolak, PDIP Kini Berbalik Dukung PPN 12 Persen

BERITA PILIHAN
Rabu, 25 Desember 2024 | 15:00 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Pemerintah akan Salurkan KUR Rp300 Triliun Tahun Depan

Rabu, 25 Desember 2024 | 13:30 WIB PSAK 201

Item-Item dalam Laporan Posisi Keuangan Berdasarkan PSAK 201

Rabu, 25 Desember 2024 | 13:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%

Rabu, 25 Desember 2024 | 12:30 WIB KEBIJAKAN KEPABEANAN

Fitur MFA Sudah Diterapkan di Portal CEISA sejak 1 Desember 2024

Rabu, 25 Desember 2024 | 11:30 WIB PMK 94/2023

Pemerikaan Pajak oleh DJP terhadap Kontraktor Migas, Apa Saja?

Rabu, 25 Desember 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK

Dokumen yang Dilampirkan saat Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan

Rabu, 25 Desember 2024 | 09:37 WIB KURS PAJAK 25 DESEMBER 2024 - 31 DESEMBER 2024

Kurs Pajak Terbaru: Rupiah Melemah terhadap Mayoritas Mata Uang Mitra