RESUME Putusan Peninjauan Kembali (PK) ini merangkum sengketa pajak mengenai pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) terhadap jasa keagenan kapal asing jalur internasional.
Dalam kasus ini, wajib pajak merupakan pemilik usaha di bidang jasa keagenan kapal asing. Perlu diketahui, salah satu kegiatan usaha yang dilakukan oleh wajib pajak adalah keagenan kapal asing muatan kontainer dalam jalur international.
Otoritas pajak menilai penyerahan jasa keagenan kapal asing yang dilakukan wajib pajak merupakan objek PPN. Sebab, penyerahan tersebut bukan merupakan jenis barang atau jasa yang dibebaskan dari pengenaan PPN sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 144 Tahun 2000 tentang Jenis Barang dan Jasa yang Tidak Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PP 144/2000).
Sebaliknya, wajib pajak berpendapat penyerahan jasa keagenan kapal asing bukan merupakan objek PPN. Wajib pajak menilai jasa tersebut diterima dan digunakan di luar daerah pabean sehingga seharusnya tidak dikenakan PPN di Indonesia sesuai dengan destination principle dalam konsep pengenaan PPN.
Selain itu, wajib pajak menilai tidak diaturnya jasa yang dilakukan dalam PP 144/2000 bukan berarti jasa tersebut terutang PPN. Oleh karena penerimaaan serta konsumsi jasa keagenan kapal asing tersebut berada di luar daerah pabean, seharusnya jasa tersebut tidak terutang PPN.
Pada tingkat banding, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan untuk menolak banding yang diajukan wajib pajak. Kemudian, pada tingkat PK, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan PK yang diajukan oleh wajib pajak.
Apabila tertarik membaca putusan ini lebih lengkap, kunjungi laman Direktori Putusan Mahkamah Agung atau Perpajakan DDTC.
WAJIB pajak mengajukan banding ke Pengadilan Pajak atas keberatannya terhadap penetapan otoritas pajak. Majelis Hakim Pengadilan Pajak berpendapat koreksi pengenaan PPN atas penyerahan jasa keagenan kapal asing yang ditetapkan oleh otoritas pajak sudah tepat.
Berkaitan dengan koreksi di atas, Majelis Hakim Pengadilan Pajak menyatakan atas penyerahan berupa jasa keagenan kapal asing yang dilakukan oleh wajib pajak tidak dikecualikan dalam pengenaan PPN sebagaimana tertuang dalam PP 144/2000. Oleh karena itu, atas penyerahannya seharusnya dikenakan PPN.
Berdasarkan pada uraian di atas, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan menolak permohonan banding yang diajukan oleh wajib pajak. Selanjutnya, dengan diterbitkannya Putusan Pengadilan Pajak No. Put. PUT-79110/PP/M.XIB/16/2016 pada 5 Januari 2017, wajib pajak mengajukan upaya hukum PK secara tertulis ke Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada 20 Maret 2017.
Pokok sengketa dalam perkara ini adalah koreksi positif atas dasar pengenaan pajak (DPP) PPN masa pajak September 2006 senilai Rp1.016.896.307 yang dipertahankan Majelis Hakim Pengadilan Pajak.
PEMOHON PK selaku wajib pajak menyatakan keberatan atas pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Dalam perkara ini, Pemohon PK tidak setuju dengan adanya koreksi positif DPP PPN atas jasa keagenan kapal asing senilai Rp1.016.896.307.
Sebagai informasi, Pemohon PK merupakan pengusaha di bidang jasa angkutan laut. Atas usaha tersebut, Pemohon PK melakukan penyerahan jasa keagenan kapal asing dalam jalur internasional. Pemohon PK berpendapat atas jasa keagenan kapal asing yang dilakukannya merupakan bagian dari aktivitas jasa angkutan umum di air (kapal).
Merujuk pada Pasal 4A ayat (3) huruf i Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (UU PPN), jasa angkutan umum di darat dan di air merupakan salah satu jasa yang tidak dikenakan PPN. Oleh karenanya, atas penyerahan jasa keagenan kapal asing tersebut seharusnya tidak terutang PPN.
Lebih lanjut, Pemohon PK juga menyatakan penyerahan jasa keagenan kapal asing tersebut dimanfaatkan di luar daerah pabean. Oleh karena itu, penyerahannya tidak termasuk dalam objek PPN sebagaimana tertuang dalam Pasal 4 UU PPN. Hal tersebut juga sesuai dengan destination principle yang menyatakan bahwa PPN dikenakan di tempat tujuan barang atau jasa tersebut dikonsumsi.
Oleh karena itu, atas penyerahan jasa yang dilakukan Pemohon PK seharusnya tidak terutang PPN di Indonesia. Dengan demikian, koreksi DPP PPN yang dilakukan Termohon PK tidak tepat dan tidak dapat dipertahankan.
Sebaliknya, Termohon PK tidak setuju atas pernyataan Pemohon PK. Termohon PK menilai atas penyerahan jasa keagenan kapal asing yang dilakukan oleh Pemohon PK merupakan objek PPN. Merujuk pada Pasal 4A ayat (3) huruf I UU PPN, atas penyerahan jasa keagenan kapal asing yang dilakukan oleh Pemohon PK tersebut tidak dikecualikan dari pemungutan PPN.
Dengan begitu, atas penyerahan jasa keagenan kapal asing tersebut seharusnya terutang PPN. Termohon PK menyimpulkan bahwa koreksi senilai Rp1.016.896.307 yang dilakukan Termohon PK sudah benar dan dapat dipertahankan.
MAHKAMAH Agung berpendapat alasan-alasan permohonan PK yang diajukan oleh Pemohon PK dapat dibenarkan. Putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan menolak permohonan banding tidak tepat dan bertentangan dengan peraturan yang berlaku. Setidaknya terdapat 2 pertimbangan hukum Mahkamah Agung sebagai berikut.
Pertama, koreksi pengenaan PPN atas penyerahan jasa keagenan kapal asing senilai Rp1.016.896.307 tidak dapat dibenarkan. Sebab, setelah meneliti dan menguji kembali dalil-dalil yang diajukan oleh para pihak, pendapat Pemohon PK dapat menggugurkan fakta-fakta dan melemahkan bukti-bukti yang terungkap dalam persidangan serta pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak.
Kedua, penyerahan jasa keagenan kapal asing merupakan jasa yang tidak terutang PPN. Oleh karenanya, Mahkamah Agung memutuskan untuk membatalkan Putusan Pengadilan Pajak No. Put. PUT-79110/PP/M.XIB/16/2016.
Berdasarkan pada pertimbangan di atas, alasan-alasan permohonan PK yang diajukan oleh Pemohon PK cukup berdasar sehingga patut dikabulkan. Dengan demikian, Termohon PK dinyatakan sebagai pihak yang kalah dan dihukum untuk membayar biaya perkara. (Jauzaa)
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.