Ilustrasi.
RESUME Putusan Peninjauan Kembali (PK) ini merangkum sengketa mengenai koreksi fiskal positif atas biaya kerugian selisih kurs dan biaya jasa manajemen dalam perhitungan pajak penghasilan (PPh) badan. Dalam perkara ini, wajib pajak merupakan perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit.
Sebagai bagian dari operasional perusahaan, wajib pajak melakukan dua hal yang kemudian menjadi pokok sengketa, yaitu revaluasi saldo pinjaman yang menimbulkan biaya kerugian selisih kurs dan pemanfaatan jasa manajemen dari perusahaan afiliasi di luar negeri yang menimbulkan biaya jasa manajemen.
Otoritas pajak tidak setuju atas perlakuan biaya yang timbul dari kedua transaksi tersebut. Berkaitan dengan biaya kerugian selisih kurs, otoritas pajak menilai bahwa kerugian tersebut tidak terkait dengan operasional perusahaan. Adapun berkaitan dengan biaya jasa manajemen, otoritas pajak meragukan eksistensi jasa manajemen yang dimanfaatkan wajib pajak. Sebab, pembayaran jasa manajemen tersebut dinilai tidak didukung dengan bukti yang memadai.
Sebaliknya, wajib pajak tidak setuju dengan koreksi otoritas pajak tersebut. Berkenaan dengan biaya kerugian selisih kurs, wajib pajak berpendapat bahwa kerugian tersebut melekat pada pokok pinjaman yang digunakan untuk keperluan operasional perusahaan. Selanjutnya, berkenaan dengan biaya jasa manajemen, wajib pajak berpendapat bahwa perusahaan telah memperoleh manfaat secara ekonomis dan komersial dari jasa manajemen yang dimanfaatkan.
Pada tingkat banding, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan untuk menolak permohonan banding yang diajukan oleh wajib pajak. Kemudian, di tingkat PK, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan PK yang diajukan oleh wajib pajak.
Apabila tertarik membaca putusan ini lebih lengkap, kunjungi laman Direktori Putusan Mahkamah Agung atau Perpajakan DDTC.
WAJIB pajak mengajukan banding ke Pengadilan Pajak atas keberatannya terhadap penetapan otoritas pajak. Majelis Hakim Pengadilan Pajak berpendapat koreksi fiskal positif yang ditetapkan oleh otoritas pajak sudah tepat dan dapat dipertahankan.
Berdasarkan pada penelitian, Majelis Hakim Pengadilan Pajak menilai bahwa tidak terdapat cukup bukti dan alasan dari wajib pajak yang dapat membuktikan bahwa biaya kerugian selisih kurs dan biaya jasa manajemen dapat menjadi pengurang penghasilan bruto.
Terhadap permohonan banding tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan menolak permohonan banding yang diajukan oleh wajib pajak. Selanjutnya, dengan diterbitkannya Putusan Pengadilan Pajak No. PUT.44534/PP/M.VI/15/2013 tanggal 18 April 2013, wajib pajak mengajukan upaya hukum PK secara tertulis ke Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada 25 Juli 2013.
Terdapat 2 pokok sengketa dalam perkara ini. Pertama, koreksi fiskal positif atas biaya kerugian selisih kurs sebesar Rp195.523.500.000. Kedua, koreksi fiskal positif atas biaya jasa manajemen sebesar Rp7.505.680.000.
PEMOHON PK selaku wajib pajak menyatakan keberatan atas pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Dalam perkara ini, terdapat 2 pokok sengketa. Pokok sengketa pertama berkaitan dengan koreksi atas biaya kerugian selisih kurs sebesar Rp195.523.500.000. Besaran kerugian atas selisih kurs tersebut timbul setelah Pemohon PK melakukan revaluasi saldo pinjaman dalam mata uang asing.
Perlu diketahui bahwa sengketa ini muncul akibat Pemohon PK mendepositokan dana pinjamannya dan memperlakukan kerugian selisih kurs yang timbul sebagai biaya pengurang penghasilan bruto. Koreksi dilakukan karena Termohon PK menganggap pinjaman yang didepositokan berarti tidak digunakan dalam kegiatan usaha. Dengan demikian, kerugian selisih kurs yang timbul dari revaluasi saldo pinjaman tersebut tidak dapat menjadi biaya pengurang penghasilan bruto.
Namun demikian, Pemohon PK tetap berpendapat bahwa pada hakikatnya kerugian atas selisih kurs mata uang asing dapat menjadi pengurang penghasilan bruto sesuai Pasal 6 ayat (1) huruf e Undang-Undang (UU) No. 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh).
Menurut Pemohon PK, meskipun dana pinjaman didepositokan, pokok pinjaman tetap digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan sehingga tepat jika diakui sebagai biaya pengurang penghasilan bruto. Hal tersebut konsisten dengan perlakuan keuntungan selisih kurs mata uang asing yang merupakan objek pajak penghasilan sesuai Pasal 4 ayat (1) huruf l UU PPh.
Lebih lanjut, Pemohon PK menyatakan bahwa perusahaannya telah menyelenggarakan pembukuan sesuai dengan ketentuan pajak dan akuntansi yang berlaku di Indonesia. Hal tersebut didukung dengan opini wajar tanpa syarat oleh auditor independen atas laporan keuangan perusahaan tahun 2008.
Dalam hal ini, Pemohon PK telah taat asas dalam mencatat kerugian maupun keuntungan selisih kurs sehubungan dengan pokok pinjaman. Berdasarkan uraian di atas, Pemohon PK menyatakan bahwa koreksi yang dilakukan Termohon PK atas biaya kerugian selisih kurs tidak dapat dibenarkan.
Pokok sengketa kedua dalam putusan ini membahas tentang koreksi fiskal positif biaya jasa manajemen sebesar Rp7.505.680.000. Sengketa ini muncul akibat Pemohon PK mengakui biaya atas pembayaran jasa manajemen ke perusahaan afiliasi di luar negeri yang dikoreksi Termohon PK. Koreksi tersebut dilakukan karena Termohon PK meragukan eksistensi dari jasa tersebut.
Berkaitan dengan pokok sengketa kedua ini, Pemohon PK berpendapat bahwa jasa manajemen telah benar-benar diperolehnya dari perusahaan afiliasi di luar negeri. Adapun salah satu bukti eksistensi dari pemanfaatan jasa tersebut telah Pemohon PK sampaikan dalam bukti laporan management plantation di Indonesia. Selain itu, eksistensi dari jasa tersebut dapat diyakini dengan meningkatnya kinerja perusahaan.
Peningkatan tersebut dapat dilihat dari compound annual growth rate (CAGR) sebagai metode yang sangat umum digunakan untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi suatu perusahaan dari tahun ke tahun. CAGR Pemohon PK dari tahun 2005 (sebagai tahun pertama Pemohon PK memanfaatkan jasa manajemen dari perusahaan afiliasi) hingga tahun 2008 adalah sebesar 37,73%.
Di samping itu, Pemohon PK juga telah memenuhi kewajiban pemungutan pajak pertambahan nilai (PPN) serta pemotongan PPh Pasal 26 atas pembayaran jasa manajemen ke perusahaan afiliasi di luar negeri. Dengan begitu, akan terjadi inkonsistensi apabila Termohon PK tidak mengakui biaya jasa manajemen, tetapi tetap menganggap biaya tersebut sebagai objek PPN dan PPh Pasal 26.
Berdasarkan uraian di atas, Pemohon PK menyatakan bahwa koreksi yang dilakukan Termohon PK atas biaya jasa manajemen tidak dapat dibenarkan.
Sebaliknya, Termohon PK menyatakan tidak setuju dengan pendapat Pemohon PK. Berkaitan dengan pokok sengketa pertama, Termohon PK menilai bahwa kerugian selisih kurs merupakan kerugian dari harta atau utang yang tidak dipergunakan dalam kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan. Sebab, tidak terdapat bukti yang kuat apakah dana pinjaman yang diterima Pemohon PK digunakan untuk kegiatan usaha atau tidak.
Berkaitan dengan pokok sengketa kedua, Termohon PK meragukan eksistensi jasa manajemen yang dimanfaatkan Pemohon PK. Sebab, Pemohon PK tidak dapat menunjukkan time sheet dan job sheet atas pelaksanaan jasa manajemen.
Selain itu, Pemohon PK juga tidak dapat memberikan dokumentasi transfer pricing terkait pembayaran jasa manajemen ke perusahaan afiliasinya. Berdasarkan uraian di atas, Termohon PK menyatakan bahwa koreksi yang dilakukannya sudah benar dan dapat dipertahankan.
MAHKAMAH Agung berpendapat bahwa alasan-alasan permohonan PK yang diajukan oleh Pemohon PK dapat dibenarkan. Putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan menolak permohonan banding secara nyata-nyata bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Terdapat dua pertimbangan hukum Mahkamah Agung sebagai berikut.
Pertama, koreksi atas kerugian selisih kurs sebesar Rp195.523.500.000 tidak dapat dibenarkan. Sebab, dalam menerapkan prinsip matching cost against revenue terhadap suatu transaksi yang berkaitan, diperlukan pengakuan penghasilan dan biaya pada periode yang sama. Dalam hal ini, keuntungan selisih kurs diakui sebagai penghasilan dan kerugian selisih kurs diperlakukan sebagai biaya pengurang penghasilan bruto.
Kedua, koreksi atas biaya jasa manajemen sebesar Rp7.505.680.000 juga tidak dapat dibenarkan. Menurut Mahkamah Agung, penggunaan jasa manajemen dari perusahaan afiliasi di luar negeri dilakukan dalam rangka pengembangan agrobisnis kelapa sawit yang memiliki hubungan langsung dengan biaya untuk mendapatkan, memelihara, dan menagih penghasilan perusahaan.
Berdasarkan pertimbangan di atas, permohonan PK yang diajukan oleh Pemohon PK dinilai cukup berdasar dan patut untuk dikabulkan. Dengan demikian, Termohon PK dinyatakan sebagai pihak yang kalah dan dihukum membayar biaya perkara. (sap)
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.