Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) merilis panduan yang memberikan rekomendasi perlakuan pajak pada pekerja lintas batas di tengah merebaknya virus Corona (Covid-19).
Panduan ini merupakan bagian dari series bertajuk ‘OECD Secretariat Analysis of Tax Treaties and the Impact of the Covid-19’. Para pakar membahas dan memberikan sudut pandangnya terkait implikasi pandemi Covid-19 terhadap perpajakan dan solusi untuk mengatasinya.
“Pandemi ini menimbulkan banyak masalah pajak, terutama terkait pekerja lintas batas atau orang pribadi yang terkurung di suatu negara. Untuk itu, Sekretariat OECD merilis pedoman untuk mengatasi masalah ini dengan berdasarkan analisis yang cermat dan aturan tax treaty,” demikian kutipan dalam panduan tersebut.
Adapun rekomendasi ini dirilis lantaran Covid-19 memaksa pemerintah di banyak negara membatasi atau melarang perjalan serta menerapkan karantina yang ketat. Kebijakan ini membuat banyak pekerja lintas batas tidak dapat hadir secara fisik dan bekerja di negara tempat perusahaan mereka berada.
Pasalnya, pembatasan pergerakan mengharuskan para pekerja ini tetap tinggal dan bekerja dari rumah atau bahkan ada yang kemungkinan diberhentikan. Di sisi lain, ada pula pekerja lintas batas yang harus terkurung di suatu negara yang bukan tempat tinggalnya karena adanya pembatasan atau karantina.
Keadaan kahar ini mendorong sebagian besar negara memberikan stimulus ekonomi, salah satunya berupaya agar setiap pekerja tetap mendapatkan gaji. Namun, pemberian gaji tersebut menimbulkan kerancuan terkait dengan hak perpajakan antar negara.
Sebab, secara umum dalam aturan pajak internasional gaji dan upah sejenis lainnya hanya dikenakan pajak di negara tempat tinggal orang tersebut, kecuali pekerjaan dilakukan di negara lain. Selain itu, hak pemajakan juga dapat timbul jika seorang wajib pajak luar negeri melewati batas waktu time test.
Contoh Tuan X, terkurung di suatu negara yang bukan negara tempat tinggalnya karena adanya pembatasan perjalanan. Hal ini menimbulkan masalah dalam menentukan tempat tinggal Tuan X untuk keperluan pajak (tax resident).
Dalam hal ini, OECD memandang tempat tinggal Tuan X tidak akan berubah karena adanya dislokasi sementara akibat crisis Covid-19. Dengan demikian, OECD merekomendasikan agar negara tempat tinggal sementara (tempat Tuan X terkurung) menerapkan aturan domestik yang sesuai.
Contoh lain, Nona F merupakan pekerja lintas batas yang dikarantina di negara tempat tinggalnya dan tidak dapat bekerja untuk sementara waktu. Berkat paket stimulus yang diberikan di negara tempat dia bekerja, Nona F tetap menerima gaji dari perusahaannya.
Permasalahan dalam kasus ini menyangkut tentang pengenaan pajak atas gaji yang diterima Nona F. Dalam hal ini, Sekretariat OECD memandang penghasilan tersebut akan tetap dikenakan pajak seperti sebelum krisis Covid-19 terjadi, yaitu di negara tempat Nona F biasa melakukan pekerjaannya.
Pedoman ini juga membahas masalah residen pajak perusahaan, di mana pengelolaannya dilakukan di negara lain karena pembatasan perjalanan. Menurut Sekretariat OECD, keadaan khusus ini tidak boleh memengaruhi status tempat tinggal perusahaan berdasarkan aturan perjanjian pajak internasional. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.