PENGADILAN PAJAK

Putusan MK Jadi Momentum Tinjau Ulang Tingkatan Peradilan Pajak

Muhamad Wildan | Senin, 12 Juni 2023 | 14:01 WIB
Putusan MK Jadi Momentum Tinjau Ulang Tingkatan Peradilan Pajak

Founder DDTC Darussalam (kanan).

JAKARTA, DDTCNews - Terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 26/PUU-XXI/2023 perlu dimanfaatkan sebagai momentum untuk meninjau ulang aspek finality dan fallibility dari putusan Pengadilan Pajak.

Dalam UU Pengadilan Pajak yang saat ini berlaku, Pengadilan Pajak ditetapkan sebagai pengadilan tingkat pertama dan terakhir untuk penyelesaian sengketa. Setelah diputus oleh Pengadilan Pajak, pihak yang bersengketa hanya dapat mengajukan peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA).

“Namun, apakah prosesnya sudah sederhana? Yang penting sebenarnya sederhana itu pada prosesnya, tetapi di Indonesia yang disederhanakan baru tingkatnya,” ujar Darussalam dalam diskusi publik bertajuk Peran dan Masa Depan Pengadilan Pajak, dikutip pada Senin (12/6/2023).

Baca Juga:
Tren Berkas Sengketa Menurut Terbanding/Tergugat di Pengadilan Pajak

Mengingat hakim dapat melakukan kekeliruan dalam memutus perkara (fallible), sambung Darussalam, tingkatan pada peradilan pajak perlu ditambah. Hal ini dilakukan agar kekeliruan pada putusan dapat diperbaiki oleh pengadilan yang lebih tinggi.

Upaya hukum ke pengadilan yang lebih tinggi diperlukan untuk merevisi putusan pengadilan di tingkat yang lebih rendah, menjaga kualitas putusan, dan memberikan perlindungan terhadap hak wajib pajak.

"Akses untuk mengajukan upaya hukum ke pengadilan yang lebih tinggi juga didasarkan pada konsep fallibility yang menganggap bahwa hakim dapat melakukan kekeliruan atau rentan terhadap kesalahan," tulis Binziad Khadafi dalam bukunya yang bertajuk Peninjauan Kembali: Koreksi Kesalahan dalam Putusan.

Baca Juga:
Sengketa atas Pengajuan Pengurangan Sanksi Bunga

Sebagai pembanding, di beberapa negara seperti Amerika Serikat, Belanda, Norwegia, dan Belgia, peradilan pajak terdiri dari 3 tingkat, bukan 2 tingkat seperti Indonesia. Namun demikian, terdapat pula negara yang peradilan pajaknya terdiri dari 2 tingkat, yakni Austria dan Jerman.

Selain itu, Darussalam juga mengingatkan sistem hukum Indonesia tidak mengenal yurisprudensi. Namun, dalam konteks pajak dikenal konsep mirroring. Oleh karena itu, kualitas dari putusan atas suatu sengketa pajak harus dijaga, salah satunya dengan menambah tingkatan pada peradilan pajak.

Darussalam berpandangan terbitnya Putusan MK Nomor 26/PUU-XXI/2023 semestinya menjadi momentum bagi stakeholder untuk meningkatkan kapabilitas dari kamar dan hakim yang mengadili sengketa di bidang perpajakan.

Baca Juga:
Optimalisasi Penerimaan Pajak Tak Boleh Sebabkan Peningkatan Sengketa

Darussalam lantas mengutip penjelasan Brian J. Arnold dalam tulisan Judges in Tax Cases Should Have Some Tax Expertise, yakni hakim pajak harus memiliki pengetahuan dalam sistem pajak. Alasannya, kasus-kasus pajak terbilang cukup kompleks serta berkaitan erat dengan aspek hukum dan akuntansi.

"Kalau di MA, kamarnya memiliki kompetensi enggak untuk mengadili kasus pajak? Itu secara lembaga. Kemudian, secara teknis hakimnya punya kompetensi [atau] enggak untuk mengadili masalah pajak? Tuntutan spesialisasi di pajak itu luar biasa," ujar Darussalam.

Seperti diketahui, MK telah mengeluarkan Putusan MK Nomor 26/PUU-XXI/2023 yang memerintahkan agar pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan Pengadilan Pajak harus dialihkan ke MA paling lambat pada 31 Desember 2026.

Baca Juga:
Sengketa PPh Orang Pribadi Pasca Mendapat Hibah Properti

Berdasarkan putusan tersebut, MK menyatakan frasa 'Departemen Keuangan' pada Pasal 5 ayat (2) UU 14/2002 tentang Pengadilan Pajak bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai menjadi 'MA yang secara bertahap dilaksanakan paling lambat 31 Desember 2026'.

Dengan demikian, Pasal 5 ayat (2) UU Pengadilan Pajak selengkapnya berbunyi 'Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh MA yang secara bertahap dilaksanakan selambat-lambatnya tanggal 31 Desember 2026'. (sap)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Sabtu, 19 Oktober 2024 | 11:01 WIB INFOGRAFIS PAJAK

Tren Berkas Sengketa Menurut Terbanding/Tergugat di Pengadilan Pajak

Jumat, 18 Oktober 2024 | 20:30 WIB RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa atas Pengajuan Pengurangan Sanksi Bunga

Kamis, 17 Oktober 2024 | 12:39 WIB DDTC EXCLUSIVE GATHERING 2024

Optimalisasi Penerimaan Pajak Tak Boleh Sebabkan Peningkatan Sengketa

Jumat, 11 Oktober 2024 | 20:30 WIB RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa PPh Orang Pribadi Pasca Mendapat Hibah Properti

BERITA PILIHAN
Selasa, 22 Oktober 2024 | 17:30 WIB KPP PRATAMA JAMBI TELANAIPURA

WP Gagal Daftar LPSE karena KSWP Tidak Valid, Gara-Gara Tak Lapor SPT

Selasa, 22 Oktober 2024 | 17:06 WIB LEMBAGA LEGISLATIF

DPR Tetapkan Daftar Mitra Kerja untuk Komisi XII dan Komisi XIII

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:41 WIB IHPS I/2024

BPK Selamatkan Keuangan Negara Rp13,66 Triliun pada Semester I/2024

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:30 WIB KANWIL DJP JAWA TIMUR II

Pakai Faktur Pajak Fiktif, Dirut Perusahaan Akhirnya Ditahan Kejari

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:00 WIB TIPS PAJAK DAERAH

Cara Daftarkan Objek Pajak Alat Berat di DKI Jakarta secara Online

Selasa, 22 Oktober 2024 | 15:30 WIB AUSTRALIA

Bikin Orang Enggan Beli Rumah, Australia Bakal Hapus BPHTB

Selasa, 22 Oktober 2024 | 14:00 WIB KP2KP SIDRAP

Ubah Kata Sandi Akun Coretax, Fiskus: Tak Perlu Cantumkan EFIN

Selasa, 22 Oktober 2024 | 13:45 WIB KABINET MERAH PUTIH

Tak Lagi Dikoordinasikan oleh Menko Ekonomi, Kemenkeu Beri Penjelasan

Selasa, 22 Oktober 2024 | 13:30 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kenaikan Tarif PPN Perlu Diikuti dengan Transparansi Belanja