Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Meskipun tarif tunggal sudah mulai berlaku sejak 1 Januari 2021, meterai tempel Rp10.000 belum beredar di tengah masyarakat. Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Selasa (5/1/2021).
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak (DJP) Hestu Yoga Saksama mengatakan masyarakat masih bisa menggunakan meterai yang lama senilai Rp3.000 dan Rp6.000 untuk melakukan pemeteraian atas dokumen.
“PT Pos juga masih menjual meterai Rp 6.000 dan Rp 3.000 saat ini. Sekalian juga menghabiskan stok yang ada di masyarakat. Jangan sampai kedaluwarsa tidak terpakai setelah akhir tahun 2021 ini,” katanya. Simak pula artikel ‘DJP: Meterai Tempel Lama Masih Berlaku’.
Penggunaan meterai tempel edisi 2014 paling sedikit Rp9.000. Dengan demikian, ada tiga cara penggunaan meterai tempel yang lama. Pertama, tiga lembar meterai tempel Rp3.000. Kedua, dua lembar meterai tempel Rp6.000. Ketiga, satu lembar meterai tempel Rp3.000 dan Rp6.000.
Selain mengenai meterai tempel, ada pula bahasan tentang belanja perpajakan (tax expenditure) yang digunakan untuk mendukung pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Berikut ulasan berita selengkapnya.
Humas Pos Indonesia Meidiana Suryati mengatakan stok meterai tempel Rp10.000 sudah didistribusikan kepada kantor pos di seluruh wilayah Indonesia. Menurutnya, perseroan masih menunggu keputusan pemerintah untuk mulai menjual meterai baru kepada masyarakat.
"Kami sudah siap dengan stok meterai Rp10.000 di seluruh kantor pos se-Indonesia. Hanya tinggal menunggu keputusan dari pemerintah kapan kami diizinkan untuk mulai menjualnya," katanya.
Dia juga menegaskan sementara meterai tempel Rp10.000 belum dijual, masyarakat masih tetap bisa menggunakan meterai edisi lama dengan kombinasi Rp3.000 dan Rp6.000 dengan nilai minimal Rp9.000. (DDTCNews/Kontan/Bisnis Indonesia)
Pada 2019, belanja perpajakan yang timbul akibat implementasi threshold pengusaha kena pajak (PKP) Rp4,8 miliar diestimasikan mencapai Rp42,04 triliun. Nilai tersebut sedikit turun bila dibandingkan dengan estimasi pada 2018 senilai Rp42,28 triliun.
Belanja perpajakan akibat threshold PKP Rp4,8 miliar itu menyumbang sekitar 65% terhadap keseluruhan belanja perpajakan untuk pengembangan UMKM Rp64,65 triliun. Jumlah tersebut juga mencapai 25,18% dari total belanja perpajakan PPN/PPnBM senilai Rp166,92 triliun.
Selain penetapan threshold PKP senilai Rp4,8 miliar, ada fasilitas PPh final 0,5% yang diatur dalam PP 23/2018. Belanja perpajakan yang timbul akibat fasilitas ini pada 2019 mencapai Rp19,97 triliun, lebih dibandingkan tahun sebelumnya Rp16,54 triliun. (DDTCNews/Kontan/Bisnis Indonesia)
Insentif sekitar Rp2,89 triliun telah digelontorkan pemerintah untuk memperlancar importasi produk penanganan Covid-19. Insentif senilai Rp1,03 triliun merupakan fasilitas pembebasan bea masuk dan Rp1,85 triliun adalah fasilitas pajak.
Direktur Kepabeanan Internasional dan Antar Lembaga Ditjen Bea dan Cukai Syarif Hidayat mengatakan fasilitas fiskal itu diberikan selama masa pandemi hingga 4 Januari 2020. Pada tahun ini pemerintah masih memberikan fasilitas fiskal serupa. (Bisnis Indonesia)
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan inflasi sepanjang 2020 sebesar 1,68%. Deputi Bidang Statistik, Distribusi, dan Jasa BPS Setianto mengatakan inflasi pada 2020 menjadi yang terendah sepanjang sejarah BPS merilis data indeks harga konsumen (IHK). Adapun inflasi pada Desember 2020 tercatat sebesar 0,45%.
"Inflasi tahunan yang sebesar 1,68% ini terendah sejak BPS merilis angka inflasi kita," katanya. (DDTCNews/Kontan/Bisnis Indonesia)
Badan Kebijakan Fiskal (BKF) menilai pemberian insentif pajak berupa tax allowance kepada wajib pajak tidak berdampak signifikan terhadap kinerja perusahaan. Dalam Laporan Belanja Perpajakan 2019, ada 5 indikator yang digunakan untuk mengestimasikan dampak tax allowance terhadap kinerja perusahaan.
"Fasilitas tax allowance tidak terbukti dapat memberikan efek yang diharapkan, baik pada peningkatan ekspor, penyerapan tenaga kerja (baik tetap maupun tidak tetap), kenaikan penggunaan komponen dalam negeri (impor lebih rendah), maupun peningkatan margin laba kotor perusahaan," tulis BKF. (DDTCNews) (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.