Immanuela Yolanda Nainggolan
, Politeknik Keuangan Negara STAN, BintaroMUNGKIN, bagi sebagian anggota masyarakat pajak merupakan hal yang eksentrik, baik di Indonesia maupun di dunia. Pajak selalu menimbulkan perdebatan mengenai ketentuannya, mulai dari tarif hingga pemungutannya. Di satu sisi, menyusahkan banyak orang, namun di sisi lain, menjadi penyelamat hidup banyak orang pula.
Fiskus atau otoritas pajak pada dasarnya bekerja sebagai penolong masyarakat untuk menjalankan undang-undang yang memang disepakati sendiri oleh masyarakat. Oleh sebab itu pajak terbukti dalam keabsahan pemungutannya.
Menurut formasi penerimaan pajak di APBN, pajak terbesar diperoleh dari Pajak Penghasilan (PPh). Sudah jelas kalau PPh adalah kontributor terbesar untuk penerimaan pajak, karena setiap wajib pajak selalu mencari tambahan kemampuan ekonomis. PPh pun tidak menggunakan satu sistem tarif, namun menggunakan beberapa sistem tarif seperti tarif progresif dan tarif tetap.
Tarif tetap untuk PPh atau PPh Final menjadi hal yang menarik untuk dibahas. Pengenaan PPh Final adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh akan dikenakan PPh dengan tarif tertentu, dan dasar pengenaan pajak tertentu pada saat penghasilan tersebut diterima atau diperoleh. PPh yang dikenakan, baik yang dipotong pihak lain maupun yang disetor sendiri, bukan merupakan pembayaran di muka atas PPh terutang, tetapi sudah langsung melunasi PPh terutang untuk penghasilan tersebut.
Maka dari itu, penghasilan yang dikenakan PPh Final ini tidak akan dihitung lagi PPh nya di SPT Tahunan untuk dikenakan tarif umum bersama-sama dengan penghasilan lainnya. Begitu juga, PPh yang sudah dipotong atau dibayar tersebut juga bukan merupakan kredit pajak di SPT Tahunan
Bukan hanya pada sistem pemungutan yang berbeda dengan apa yang diberlakukan, namun juga kepastian hukumnya. Kepastian hukum menandakan tindakan atau jawaban secara normatif bukan informatif ataupun sosiologis. PPh Final memiliki kepastian hukum yang tidak sejalan dengan tarif umum. Artinya, tarif umum menjamin bahwa setiap tambahan kemampuan ekonomis dikenai pajak dan dihitung secara progresif jika si pemilik penghasilan mempunyai penghasilan di atas PTKP.
Sedangkan, PPh Final memberikan tarif tetap atau permanen terhadap suatu aktivitas ekonomi tertentu sebelum dikurangi dengan biaya-biaya. PPh Final juga dikenakan terhadap penghasilan bruto, hal yang berbeda dengan ketentuan saat kita menghitung pajak menggunakan tarif umum, sehingga hal ini terkesan lebih memberatkan bagi wajib pajak.
Keadilan dalam PPh Final
Ditinjau dari segi keadilan, PPh Final termasuk pemungutan pajak yang kurang adil karena tidak melihat tentang kesanggupan wajib pajak dalam membayar pajak, sementara PPh termasuk pajak subjektif. PPh Final juga dapat menimbulkan benih ketidakjujuran dari wajib pajak itu sendiri, misalnya Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 (PP-46) yang menetapkan tarif tetap sebesar 1% atas penghasilan dari usaha dengan omzet dibawah 4,8 miliar per tahun. Penetapan PP-46 tentunya memberi sebuah lampu kepada masyarakat terutama yang memiliki usaha untuk menyembunyikan atau tidak memberitahu kepastian omzet dan berusaha membuat sedemikian mungkin agar bisa dikenai pajak 1% saja.
Hal ini tentu menjadi pemicu penyelewengan para wajib pajak dan sebuah tambahan yang akan mempersulit realisasi penerimaan pajak dari rancangannya di APBN. Di mana yang seharusnya jumlah usaha yang tidak kena 1% (lebih dari itu) sangat banyak menjadi sedikit akibat penyimpangan. Apabila tidak memenuhi persyaratan yang lain selain omzet dibawah 4,8 miliar, maka si pemilik usaha tidak dapat menggunakan PPh Final dalam menjalankan kewajiban perpajakannya. Hal ini tentu akan menghasilkan tarif yang lebih tinggi lagi dari 1% dan memberatkan para pemilik usaha. Inilah yang menjadi alasan mengapa penting bagi si pengusaha untuk mempertahankan final 1% daripada harus membayar lebih dari itu.
PPh Final memang sederhana pemungutannya jika kita memandang dari satu kaca mata. Namun ternyata, PPh Final tidak memberikan manfaat yang sama menyenangkannya dengan cara menghitungnya. Di satu sisi, PPh Final memberatkan wajib pajak seperti contoh kasus tarif dikalikan dengan penghasilan bruto, di sisi lain PPh Final justru memberatkan pemerintah (pemungut pajak) karena banyak wajib pajak yang kemungkinan menyimpang dari kewajiban perpajakannya seperti contoh kasus PP-46.
Bukan hanya dari kedua sisi itu saja, PPh Final dapat diubah hanya dengan Peraturan Pemerintah, sementara berlakunya pajak harus melalui persetujuan rakyat melalui DPR dan disahkan di dalam undang-undang. Hal ini tentu akan membuat dilema banyak orang untuk kembali berpikir dari apa yang telah disepakati.
Penting adanya pengawasan yang intensif dari para fiskus dalam penyelenggaraan PPh final ini secara khusus. Terutama untuk hal-hal yang memungkinkan penyelewengan serta semakin menahan sempurnanya realisasi penerimaan pajak dari yang dirancang sebelumnya. Hal lainnya juga perlu adanya peninjauan kembali mengenai dasar pengenaan PPh Final yang dikenakan pada setiap aktivitas ekonomi tertentu misalnya jual/sewa tanah dan lain lain, lalu dikomunikasikan kepada masyarakat sehingga tidak ada yang merasa dirugikan.
Perlu juga adanya penyempurnaan terhadap sistem pengenaan PPh Final yang sudah ada, apakah efisien jika dikalikan dengan penghasilan bruto (yang belum dikurangkan dengan biaya-biaya) atau lebih baik dipersamakan dengan pengenaan tarif umum.
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.