Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Wajib pajak peserta Program Pengungkapan Sukarela (PPS) harus melaporkan harta yang sudah diungkap ke dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh tahun pajak 2022. Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Jumat (5/1/2023).
Sesuai dengan Pasal 21 PMK 196/2021, terhadap tambahan harta dan utang yang diungkapkan dalam Surat Pemberitahuan Pengungkapan Harta (SPPH) diperlakukan sebagai perolehan harta baru dan perolehan utang baru wajib pajak sesuai tanggal Surat Keterangan.
“Serta dilaporkan pada SPT Tahunan pajak penghasilan tahun pajak 2022,” bunyi penggalan Pasal 21 ayat (2) PMK 196/2021.
Dengan demikian, wajib pajak juga tidak perlu melakukan pembetulan atas SPT Tahunan, baik tahun pajak 2021 maupun tahun pajak sebelumnya. Surat Keterangan yang diterima wajib pajak menjadi dasar daftar harta pada 2022.
Wajib pajak sudah bisa menyampaikan SPT Tahunan 2022 sejak bulan ini. Wajib pajak orang pribadi harus menyampaikan SPT Tahunan paling lambat 3 bulan setelah akhir tahun pajak. Wajib pajak badan harus menyampaikan SPT Tahunan paling lambat 4 bulan setelah akhir tahun pajak.
Selain mengenai pelaporan harta peserta PPS dalam SPT Tahunan 2022, ada pula ulasan terkait dengan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (RPP KUPDRD) yang memungkinkan pemda mengetahui omzet pelaku usaha di daerah.
Wajib pajak yang telah memperoleh Surat Keterangan dan diwajibkan menyelenggarakan pembukuan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang KUP harus membukukan nilai harta bersih yang disampaikan dalam SPPH sebagai tambahan atas saldo laba ditahan dalam neraca.
Sesuai dengan Pasal 21 ayat (3) PMK 196/2021, harta yang diungkapkan dalam SPPH yang berupa aktiva berwujud tidak dapat disusutkan untuk tujuan perpajakan. Kemudian, harta yang diungkapkan dalam SPPH yang berupa aktiva tidak berwujud, tidak dapat diamortisasi untuk tujuan perpajakan. (DDTCNews)
Wajib pajak peserta PPS masih memiliki waktu untuk menginvestasikan harta bersihnya hingga 30 September 2023.
Pasal 15 PMK 196/2021 mengatur wajib pajak peserta PPS dapat menginvestasikan harta yang diungkapkan pada SBN dan kegiatan usaha sektor pengolahan SDA atau sektor energi terbarukan. Peserta PPS yang gagal memenuhi komitmen menginvestasikan harta bersih akan terkena sanksi.
"Wajib pajak yang menyatakan menginvestasikan harta bersih... wajib menginvestasikan harta bersih dimaksud paling lambat tanggal 30 September 2023," bunyi Pasal 15 ayat (4) PMK 196/2021. (DDTCNews)
Sebagaimana tercantum dalam Pasal 117 RPP KUPDRD, pemda dapat meminta data kepada penyedia sarana komunikasi elektronik yang memfasilitasi transaksi.
"Data yang diminta dari pihak ketiga dapat berupa data transaksi penjualan makanan dan minuman dari aplikasi ojek online dan sejenisnya," ujar Direktur Kapasitas dan Pelaksanaan Transfer Ditjen Perimbangan Keuangan (DJPK) Bhimantara Widyajala.
Tak hanya transaksi penjualan makanan dan minuman, pemda juga dapat meminta data transaksi penyewaan kamar hotel yang dilakukan melalui aplikasi akomodasi.
Dengan adanya data pihak ketiga, pemda bakal memiliki data pembanding untuk mengetahui omzet riil dari konsumsi yang merupakan objek pajak daerah serta membantu upaya optimalisasi PBJT makanan dan minuman dan PBJT jasa perhotelan. (DDTCNews)
Pemerintah resmi mengubah ketentuan mengenai jaminan dalam rangka kegiatan kepabeanan dan cukai mulai 1 Januari 2023.
Perubahan ketentuan mengenai jaminan dalam rangka kegiatan kepabeanan dan cukai itu telah diatur dalam PMK 168/2022. Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) juga telah menerbitkan Perdirjen No. PER-20/BC/2022 tentang petunjuk teknis pengelolaan jaminan dalam rangka kegiatan kepabeanan dan cukai.
"Dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 41 PMK 168/2022 ... perlu menetapkan perdirjen tentang petunjuk teknis pengelolaan jaminan dalam rangka kepabeanan dan cukai," bunyi pertimbangan PER-20/BC/2022. (DDTCNews)
DJP menjelaskan kembali alasan penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan akhirnya diperlakukan sebagai objek pajak penghasilan (PPh). Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan sebelumnya dikecualikan dari objek PPh. Namun, dalam implementasinya, fasilitas tersebut justru dinikmati oleh karyawan berpenghasilan tinggi.
"Selama ini, banyak pemberian natura yang tadinya dimaksudkan untuk membantu pegawai golongan bawah, tetapi dinikmati oleh manajer atau top manajernya," kata Kasubdit Penyuluhan Pajak Direktorat Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Inge Diana Rismawanti. (DDTCNews) (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.