Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Aset tak berwujud (intangible assets) telah menjadi bagian penting dari nilai-nilai suatu perusahaan multinasional dan menjadi salah satu faktor yang dipertimbangkan ketika menjalankan bisnis secara global.
Pentingnya aset tak berwujud dalam dunia bisnis ternyata membawa implikasi terhadap perlakuan pajak, termasuk masalah penetapan harga transfer (transfer pricing).
Tak mengherankan apabila perusahaan multinasional mencari langkah terbaik untuk mengoptimalkan skema operasi bisnisnya, termasuk dalam hal pengelolaan aset tak berwujud. Harapannya, perusahaan bisa mendapatkan perlakuan pajak yang paling efisien.
Perencanaan pajak melalui aset tak berwujud umumnya dilakukan dengan 2 cara. Pertama, penggunaan aset tak berwujud melalui perjanjian lisensi. Kedua, transfer kepemilikan aset tak berwujud dari yurisdiksi dengan tarif pajak tinggi ke yurisdiksi dengan tarif pajak rendah.
Namun, 2 skema perencanaan itu memiliki konsekuensinya masing-masing. Untuk penggunaan aset tak berwujud melalui perjanjian lisensi, konsekuensi yang ditimbulkan ialah besaran biaya royalti akan menjadi pengurang penghasilan kena pajak perusahaan multinasional.
Untuk transfer kepemilikan aset tak berwujud, pembayaran atas royalti yang dialihkan ke yurisdiksi dengan tarif pajak yang lebih rendah akan membuat yurisdiksi lainnya kehilangan potensi penerimaan pajak dari royalti yang seharusnya diperoleh.
Dengan kondisi tersebut, otoritas pajak makin menyoroti isu kemudahan perusahaan multinasional dalam menggunakan atau mentransfer kepemilikan aset tak berwujud.
Alasannya, perusahaan multinasional berpotensi melakukan perencanaan pajak yang agresif dengan menggunakan aset tak berwujud sebagai alat penghindaran pajak.
Untuk menangkal aksi base erosion and profit shifting (BEPS) yang dilakukan perusahaan-perusahaan multinasional atas aset tak berwujud, OECD merilis laporan akhir Rencana Aksi BEPS 8 pada tahun 2015.
Dalam laporan ini, OECD menetapkan kriteria-kriteria sebagai solusi untuk mencegah praktik BEPS. Kriteria tersebut utamanya sehubungan dengan aktivitas menggunakan atau mentransfer aset tak berwujud dalam perusahaan multinasional.
Perubahan signifikan yang perlu untuk digarisbawahi tentang perlakuan aset tak berwujud adalah menentukan entitas yang berhak mendapatkan kompensasi pengembalian atas pengembangan aset tak berwujud dalam perusahaan multinasional.
Sebelum Proyek Anti-BEPS, banyak yurisdiksi hanya menentukan kepemilikan legal sebagai penentu utama dalam memberikan kompensasi atas aktivitas penggunaan atau transfer aset tak berwujud.
Setelah Proyek Anti-BEPS, OECD menegaskan analisis fungsional yang menjadi penentu utama. Menurut OECD, analisis fungsional tersebut akan mencerminkan kepemilikan ekonomi atas suatu aset tak berwujud.
Dalam hal ini, OECD memperkenalkan analisis fungsi pengembangan, peningkatan, pemeliharaan, perlindungan, dan eksploitasi (development, enhancement, maintenance, protection, dan exploitation/DEMPE).
Analisis fungsi DEMPE ini akan digunakan untuk menentukan kompensasi wajar atas aktivitas yang berhubungan dengan aset tak berwujud.
Jika ingin membaca lebih lanjut mengenai transfer pricing, Anda dapat membeli buku Transfer Pricing: Ide, Strategi, dan Panduan Praktis dalam Perspektif Pajak Internasional (Edisi Kedua: Volume II).
Anda dapat melihat isi buku tersebut melalui artikel Mengintip Isi Buku Transfer Pricing DDTC, Panduan Praktis bagi WP dan melakukan pembelian melalui laman berikut Buku Transfer Pricing DDTC. (rig)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.