Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Melalui revisi Undang-Undang (UU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), pemerintah mengusulkan ketentuan penunjukan pihak lain untuk memungut atau memotong pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN), dan/atau pajak transaksi elektronik (PTE).
Naskah Akademik (NA) RUU KUP menyebut ketentuan penunjukan pihak lain sebagai pemungut atau pemotong pajak akan membuat basis pemajakan makin luas. Dokumen itu juga memberikan ilustrasi potensi tambahan penerimaan dari kebijakan tersebut mencapai Rp6,3 triliun.
"Penerimaan pajak tersebut tentunya akan berdampak positif terhadap keuangan negara," kata pemerintah dalam dokumen NA RUU KUP, dikutip pada Selasa (13/7/2021).
Penghitungan tersebut menggunakan pendekatan potensi penerimaan berdasarkan pada jumlah transaksi perdagangan elektronik (e-commerce) dalam negeri sepanjang 2020 senilai Rp630 triliun. Data tersebut diperoleh dari kajian Google, Temasek, dan Bain yang dapat dianggap sebagai objek potensi objek PPh, PPN, dan/atau PTE.
Soal potensi penerimaan pajaknya, nilai transaksi e-commerce senilai Rp630 triliun dikalikan dengan tarif efektif pajak dengan asumsi sebesar 1%. Dengan demikian, diperoleh hasil Rp6,3 triliun.
Dokumen NA RUU KUP menjelaskan pengaturan penunjukan pihak lain sebagai pemotong dan/atau pemungut PPh tersebut akan mengisi kekosongan dasar hukum selama ini. Di sisi lain, langkah itu juga akan menjawab tantangan risiko penghindaran pajak dalam skema transaksi digital dan penggerusan basis pemajakan sebagai konsekuensi konversi transaksi konvensional ke transaksi elektronik.
Peningkatan penerimaan negara melalui upaya tersebut sejalan dengan kebijakan pemerintah untuk membantu pelaksanaan program pemulihan ekonomi dari sisi pembiayaan. Pasalnya, pemerintah akan mendapatkan rupiah murni yang bersumber dari penerimaan pajak sehingga dapat mengurangi jumlah defisit pada tahun berjalan dan menjaga keseimbangan primer APBN.
Dari sisi makro, pengaturan penunjukan pihak lain sebagai pemotong dan/atau pemungut PPh merupakan upaya pemerintah untuk menjamin kompetisi yang ideal bagi para pelaku bisnis. Prinsip keadilan itu berlaku termasuk di dalamnya antara bisnis konvensional dengan bisnis digital serta antara pelaku bisnis dalam negeri dan luar negeri.
Selain itu, penunjukan pihak lain sebagai pemungut PPN atas penyerahan barang kena pajak (BKP) dan/atau jasa kena pajak (JKP) juga diharapkan dapat mewujudkan iklim keadilan berusaha dalam negeri. Pada akhirnya, kebijakan tersebut juga dapat mengurangi distorsi ekonomi yang terjadi di masyarakat.
"Dari sisi penjual, akan tercipta equal level playing field antarpelaku usaha sehingga terjadi persaingan yang sehat dalam mekanisme pasar yang membuat harga barang atau jasa cenderung untuk stabil," imbuh pemerintah.
Mengutip dari Google, Temasek, and Bain, e-Conomy SEA 2020, pemerintah menyebut transaksi e-commerce akan selalu berkembang. Pertumbuhan sektor ekonomi digital akan membantu perekonomian Indonesia terus menuju arah positif. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.