"Kulipa Ushuru ni Kulinda Uhuru," merupakan slogan otoritas pajak Kenya untuk memungut pajak di negaranya. Slogan yang mengandung arti "bayar pajakmu, bebaskan negaramu," ini memang cukup sederhana. Namun, mampu menjadi magnet untuk menarik warganya membayar pajak karena memiliki pesan tersirat. Pesan yang mengharuskan setiap individu untuk membayar pajak, agar negara dapat membiayai kebutuhan pelayanan publik.
Namun demikian, permasalahan menjadi cukup sulit dan rumit ketika individu tersebut mulai melakukan kegiatan bisnis atau aktivitas ekonomi di negara berbeda. Sehingga, timbul kewajiban perpajakan lebih dari satu negara. Inilah yang menyebabkan mengapa selama beberapa dekade terakhir, negara maju membentuk jaringan besar untuk menyusun perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) atau tax treaty.
Lantas, bagaimanakah dengan negara berkembang? Apakah P3B memang betul-betul diperlukan? Melalui buku 'Tax Treaties and Developing Countries' Veronika Daurer mencoba menjawab pertanyaan tersebut mulai dengan membandingkan dua model yang menjadi acuan dalam kesepakatan bilateral untuk menyusun P3B, kemudian menggambarkan secara umum pentingnya perjanjian pajak bagi negara berkembang dan implikasinya.
OECD Model & UN Model
OECD Model dengan UN Model memiliki struktur dan terminologi yang sama, tetapi UN Model memiliki konsep yang lebih luas dibandingkan dengan OECD Model. Selain itu, UN Model sangat memerhatikan situasi ekonomi di negara-negara berkembang, yang kurang menjadi perhatian OECD Model. UN Model menyatakan keberpihakan bahwa negara sumber lebih berhak mengenakan pajak, untuk transaksi ekonomi antarnegara.
Tidak hanya itu, UN Model pun mengkaji hal-hal yang berhubungan dengan hak-hak wajib pajak. UN Model juga mampu mengakomodasi aktivitas ekonomi antara dua negara atau lebih yang tingkat kesejahteraannya tidak seimbang. Misalkan antara negara-negara Least Developed Countries (LDCs) dengan negara-negara yang memainkan peran signifikan dalam ekonomi global seperti Brazil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan (BRICS).
Studi Kasus di Negara Berkembang
Pembahasan mengenai pentingnya P3B untuk negara berkembang dikaji dari empat fungsi utama, yakni: (i) mengeliminasi atau menghindari terjadinya pengenaan pajak berganda; (ii) mengalokasikan hak-hak pemajakan secara tepat dan jelas; (iii) mencegah penghindaran dan penggelapan pajak; dan (iv) mendukung adanya foreign direct investment (FDI) suatu negara.
Salah satu keunggulan yang ditawarkan dari buku ini adalah menyajikan suatu studi kasus dalam bab tersendiri, yang menganalisis dampak UN Model dalam kehidupan nyata, dan untuk mengidentifikasi apakah negara-negara berkembang telah benar-benar menggunakan UN Model dalam negosiasi perjanjian mereka. Negara-negara di kawasan Afrika Timur, seperti Burundi, Ethiopia, Kenya, Madagaskar, Malawi, Mozambik, Rwanda, Tanzania, Uganda, Zambia, dan Zimbabwe menjadi sampel dari studi kasus ini.
Berdasarkan studi yang telah dilakukan, terbukti bahwa negara-negara berkembang lebih memilih UN Model sebagai model konvensi yang digunakan mereka dalam negosiasi P3B. Hal ini menunjukkan bahwa implementasi UN Model telah berhasil dan relevan bagi negara-negara LDCs.
Akhir kata, buku ini sangat bermanfaat bagi pembaca karena selain menyajikan konsep, ataupun pembahasan kasus, buku ini juga dilengkapi dengan ringkasan materi setiap babnya dan kesimpulan di akhir bab yang membuat pembacanya semakin mudah mencerna maksud yang ingin disampaikan oleh penulis. Buku yang berguna sebagai referensi bagi banyak kalangan ini tersedia di DDTC Library.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.