Ilustrasi. (DDTCNews)
JAKARTA, DDTCNews – Perubahan lanskap pajak global pasca-BEPS yang sangat pesat memiliki efek samping berupa peningkatan sengketa pajak, tidak terkecuali yang berkaitan dengan transfer pricing.
Tidak bisa dipungkiri, situasi pajak dalam beberapa tahun terakhir tidak terlalu stabil. Ini ditandai dengan berbagai perubahan aturan, penerapan ketentuan anti penghindaran pajak yang semakin ketat pasca-BEPS, kebutuhan peningkatan penerimaan, serta upaya perbaikan kinerja pajak daerah.
Hal tersebut, dinilai oleh banyak pihak, memberikan ketidakpastian. Dengan demikian, ada kecenderungan sengketa pajak justru terus bertambah di masa mendatang. Proyeksi ini setidaknya sudah terkonfirmasi dari jumlah berkas sengketa pajak yang masuk ke Pengadilan Pajak tahun lalu.
Berdasarkan data Pengadilan Pajak, total sengketa pajak baik dengan Ditjen Pajak (DJP), Ditjen Bea dan Cukai (DJBC), maupun Pemda (pajak daerah) pada 2018 tercatat sebanyak 11.436 kasus. Dari jumlah tersebut, sengketa yang menyangkut DJP tercatat paling banyak yakni 7.813 kasus. Sisanya, DJBC sebanyak 3.574 dan pemda 49 sengketa.
Adapun sengketa yang menyangkut DJP itu tercatat naik 40,6% dibandingkan posisi pada 2017 sebanyak 5.553 kasus. Jumlah tersebut sekaligus mencatatkan posisi tertinggi sejak 2013. Padahal, untuk sengketa yang melibatkan DJBC justru mengalami penurunan.
Ironisnya, kenaikan sengketa ini tidak dibarengi dengan peningkatan kecepatan penyelesaian oleh Pengadilan Pajak. Tahun lalu, Pengadilan Pajak hanya dapat menyelesaikan sekitar 9.963 kasus. Ini menurun dibandingkan posisi 2016 dan 2017 yang masing-masing tercatat sebanyak 12.853 dan 11.231 sengketa.
Dalam konteks perpajakan internasional, Proyek BEPS OECD sebenarnya sudah mewaspadai efek samping berupa peningkatan sengketa itu. Kewaspadaan itu sudah masuk dalam Rencana Aksi ke-14 Proyek BEPS OECD yang menekankan efektivitas dari penyelesaian sengketa.
Rencana Aksi ke-14 merupakan salah satu standar minimum yang harus dipatuhi oleh anggota Inclusive Framework, termasuk Indonesia. Ada beberapa langkah yang diperlukan untuk menjamin efektivitas penyelesaian sengketa dalam Rencana Aksi ke-14 tersebut.
Kenyataannya, sengketa pajak internasional – terutama yang menyangkut transfer pricing – berkembang jauh lebih kompleks. Apalagi, beberapa sengketa muncul dari pengujian transfer pricing pada harta tak berwujud. Kompleksitas ini juga meningkat karena perkembangan ekonomi digital.
Dengan skema pengalihan laba dari negara dengan tarif pajak tinggi ke negara dengan tarif pajak yang lebih rendah, ada potensi sebuah perusahaan mengalami kerugian dan tidak melakukan pembayaran pajak di negara dengan tarif yang tinggi tersebut. Dalam konteks ini, pemeriksan transfer pricing bisa masuk.
Di Indonesia, DJP mengeluarkan melalui Surat Edaran (SE) 15/PJ/2018, DJP mengelompokkan indikator modus ketidakpatuhan wajib pajak. Salah satu indikator ketidakpatuhan itu adalah perencanaan pajak agresif (aggressive tax planning) yang didalamnya terdapat tujuh risiko transfer pricing yang berpotensi dilakukan pemeriksaan.
Pada saat yang bersamaan, permintaan Advance Price Agreement (APA) – yang masuk juga dalam Rencana Aksi ke-14 BEPS – juga mencatatkan peningkatan. Permintaan APA pada 2018 tercatat sebanyak 13 atau lebih tinggi juga dibandingkan posisi 2017 sebanyak 2 permintaan.
Seperti diketahui, APA atau kesepakatan harga transfer adalah perjanjian tertulis antara Dirjen Pajak dan wajib pajak atau Dirjen Pajak dengan otoritas pajak pemerintah negara mitra/yurisdiksi mitra P3B yang melibatkan wajib pajak.
APA memuat kesepakatan kriteria-kriteria dan/atau menentukan harga wajar atau laba wajar dimuka. Dalam konteks transfer pricing,adanya APA akan memberikan kepastian di awal pemeriksaan sehingga diharapkan meminimalisasi sengketa.
Berkaca dari perkembangan lanskap pajak global ini, pemahaman terkait sengketa yang berkaitan dengan tranfer pricing, sangat penting bagi pemangku kepentingan maupun wajib pajak. Pemahaman dibutuhkan untuk terus melihat bagaimana kesesuaian kebijakan dengan dinamika global maupun bagaimana wajib pajak bersikap.
Untuk meningkatkan pemahaman tersebut, DDTC Academy menyediakan kursus praktis 'Sengketa Transfer Pricing dan Simulasi Pengadilan'. Kegiatan ini akan dilaksanakan pada 10 April 2019 di Menara DDTC, Kelapa Gading Jakarta Utara pada pukul 09.00-17.00 WIB.
Kursus ini akan fokus membahas peraturan-peraturan perpajakan domestik, studi kasus, dan tren dalam sengketa transfer pricing. Selain itu, berbagai teknik untuk persiapan banding, pendokumentasian fakta, pembangunan logika, dan penyajian argumen akan dibahas.
Peserta akan mendapatkan pemahaman langsung dari pengajar DDTC yang profesional dan kompeten di bidangnya. Apalagi, tahun lalu, International Tax Review (ITR) telah memasukkan DDTC dalam tier 1 konsultan pajak transfer pricing 2019 di Indonesia.
Di Indonesia, DDTC Academy juga menjadi satu-satunya penyedia pelatihan persiapan sertifikasi Advanced Diploma in International Taxation (ADIT) yang diakui Chartered Institute of Taxation (CIOT). DDTC Academy masuk dalam kelompok penyedia pelatihan yang spesifik untuk ADIT.
Dengan demikian, DDTC Academy disejajarkan dengan 25 lembaga lain sebagai penyedia pelatihan spesifik untuk ADIT. Beberapa diantaranya adalah International Bureau of Fiscal Documentation (Belanda), Bloomberg BNA (Amerika Serikat), dan Taxmann (India).
Kursus ini cocok untuk CFO, direktur pajak, manajer pajak, akuntan yang bekerja di perusahaan melakukan kegiatan pembiayaan di semua industri, manajer keuangan, chartered accountants, pengendali keuangan dan analis, auditor internal dan eksternal, ahli pajak dan pengacara.
Jadi, apakah Anda tertarik untuk memahami lebih lanjut terkait sengketa transfer pricing? Jika iya, Anda bisa langsung mengunjungi laman resmi di sini atau menghubungi Eny Marliana melalui P: +622129382700 | F: +622129382699 | M : +6287882343300 (phone)/ +628158980228 (WA), atau email [email protected]. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.