Director Fiscal Research and Advisory DDTC B. Bawono Kristiaji.
JAKARTA, DDTCNews - Pengembangan coretax administration system oleh Ditjen Pajak (DJP) perlu diikuti dengan upaya-upaya peningkatan kepastian dalam sistem pajak.
Director Fiscal Research and Advisory DDTC B. Bawono Kristiaji mengatakan peningkatan kepastian sistem pajak melalui coretax system akan memberikan 2 manfaat besar, yakni perbaikan iklim berusaha dan peningkatan kepatuhan wajib pajak.
"Kalau kita melihat tax certainty vs penurunan tarif vs insentif, mana yang lebih efektif membuat iklim berusaha yang lebih bagus? Jawabannya, tax certainty," katanya dalam Regular Tax Discussion (RTD) yang digelar oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), Rabu (15/5/2024).
Menurut Bawono, peningkatan kepastian sistem pajak akan meningkatkan moral pajak (tax morale). Peningkatan moral pajak pada ujungnya akan meningkatkan kepatuhan wajib pajak, utamanya wajib pajak badan.
Bagi wajib pajak orang pribadi, moral pajak dan kepatuhannya bisa meningkat apabila mendapatkan pelayanan yang baik dan memiliki kepercayaan yang kuat kepada pemerintahan.
Sementara itu, peningkatan moral pajak dan kepatuhan dari wajib pajak badan juga berkorelasi positif dengan kepastian dalam sistem pajak.
"Wajib pajak badan inginnya kepastian. Jangan sampai tarif pajak efektifnya tidak bisa diprediksi di kemudian hari. Misal, karena adanya sengketa, aturan yang berubah, kompleksitas, dan sebagainya," ujar Bawono.
Untuk itu, kehadiran coretax system perlu menindaklanjuti sumber-sumber ketidakpastian pajak yang selama ini dihadapi wajib pajak. Dalam publikasi OECD dan IMF bertajuk OECD/IMF 2019 Progress Report on Tax Certainty, ketidakpastian pajak salah satunya bisa bersumber dari administrasi pajak.
Contoh bentuk ketidakpastian pajak ialah rumitnya birokrasi yang harus ditempuh untuk mematuhi kewajiban dokumentasi, perlakuan pajak dari otoritas yang sulit diprediksi, tidak diperolehnya kepastian lewat ruling atau mekanisme sejenisnya, dan lain-lain.
Ketidakpastian yang berasal dari sisi administrasi pajak seyogianya bisa direduksi seiring dengan kehadiran coretax system.
"Harusnya segala macam menjadi lebih mudah diprediksi dan hubungannya bisa lebih setara. Jadi, paradigmanya ialah cooperative compliance di mana ada hubungan yang setara antara wajib pajak dan otoritas pajak. Ini lebih mungkin dilakukan di kemudian hari," tutur Bawono.
Lebih lanjut, Bawono menuturkan kehadiran coretax system seyogianya juga mampu memfasilitasi interaksi yang berbasiskan pada paradigma relaksasi-partisipasi antara wajib pajak dan otoritas pajak.
Dengan paradigma tersebut, lanjutnya, wajib pajak memiliki hak untuk mendapatkan relaksasi dalam bentuk pelayanan yang baik, insentif, dan kepastian dari otoritas pajak. Namun, beragam relaksasi dari otoritas tersebut juga harus dipertukarkan dengan komitmen wajib pajak untuk berpartisipasi dalam ekonomi.
Paradigma tersebut bisa diimplementasikan melalui program tax control framework (TCF). "Misal, kepastian dipertukarkan dengan transparansi. Dengan TCF, seharusnya ada kepastian dari awal bagi wajib pajak tersebut," ujar Bawono.
Melalui TCF, paradigma kepatuhan pajak digeser dari yang saat ini berbasiskan pada enforcement menjadi berbasis pada cooperative compliance. Peningkatan kepatuhan melalui TCF saat ini mulai banyak diterapkan oleh beberapa negara.
Saat wajib pajak menerapkan TCF, aspek pajak dari setiap keputusan bisnis bakal dipertimbangkan sedari awal, bukan sebagai aspek yang baru dipertimbangkan di akhir. Dengan TCF, risiko-risiko pajak dipertimbangkan sejak awal dalam setiap pengambilan keputusan bisnis.
"Artinya, ini menekankan pada good governance dalam konteks pajak. Jadi, prosesnya yang dilihat oleh otoritas. Kalau wajib pajak badan sudah mengimplementasikan proses pajak dengan lebih baik, dengan TCF diasumsikan ujungnya pasti baik," kata Bawono.
Untuk otoritas pajak, kehadiran TCF pada gilirannya bisa memberikan kepastian sejak awal, sekaligus mengurangi risiko pajak. Bagi wajib pajak, TCF bisa mengefisienkan proses bisnis dan memberikan informasi yang valid mengenai tata kelola pajak.
"Misal, perusahaan AB scoring TCF-nya oke dan bisa diberikan manfaat. Misal, restitusi dipercepat, tidak diperiksa, dan sebagainya. Ada benefit yang dipertukarkan dengan wajib pajak sejak awal dan itu terbuka. Jadi, ex-ante approach," ujar Bawono.
Pada banyak negara, program TCF difokuskan kepada wajib pajak-wajib pajak tertentu, utamanya wajib pajak besar yang memiliki kapabilitas untuk menerapkan good governance, bukan wajib pajak orang pribadi dan UMKM.
Namun demikian, Indonesia hingga saat ini masih belum menerapkan TCF, padahal negara tetangga seperti Malaysia sudah menerapkan program tersebut.
Untuk itu, kehadiran coretax system dalam waktu dekat diharapkan mendorong implementasi TCF di Indonesia sehingga mendukung tercapainya kepastian dalam sistem pajak di Indonesia. (rig)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.