Ilustrasi gedung DJP.
JAKARTA, DDTCNews – Pengawasan berbasis kewilayahan yang mulai dilakukan di tingkat Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama menjadi bagian dari upaya untuk mengompensasi berkurangnya potensi penerimaan akibat gencarnya pemberian insentif.
Topik tersebut menjadi bahasan media nasional pada hari ini, Kamis (5/3/2020). Dirjen Pajak Suryo Utomo mengatakan pengawasan berbasis kewilayahan yang diamanatkan dalam Surat Edaran Ditjen Pajak No. SE-07/PJ/2020 digunakan untuk memperluas basis pajak.
“Perlu ada basis pemajakan baru yang diharapkan bisa menopang penerimaan. Ini juga menjadi kompensasi dan langkah antisipatif atas insentif yang banyak diberikan,” kata Suryo.
Seperti diketahui, untuk memberikan stimulus pada perekonomian, pemerintah memberikan sejumlah insentif pajak. Tidak tanggung-tanggung, ada sejumlah relaksasi kebijakan yang rencananya masuk dalam omnibus law perpajakan, seperti penurunan tarif pajak penghasilan (PPh) badan.
Selain itu, beberapa media juga menyoroti rencana Kementerian Keuangan yang akan melakukan relaksasi pajak dari sisi PPh 21. Otoritas tengah mematangkan relaksasi berupa penundaan pembayaran PPh 21 sebagai respons kebijakan atas wabah virus Corona.
Berikut ulasan berita selengkapnya.
Dirjen Pajak Suryo Utomo mengatakan perubahan tugas dan fungsi KPP Pratama yang diikuti dengan skema pengawasan berbasis kewilayahan diharapkan turun meningkatkan kepatuhan sukarela dari para wajib pajak.
Apalagi, DJP juga akan mulai melibatkan pemeriksa sejak proses pengawasan terhadap wajib pajak. Hal ini dilakukan untuk menekan sengketa antara wajib pajak dengan DJP. Simak artikel ‘Tekan Sengketa Pajak, DJP Libatkan Pemeriksa di Proses Pengawasan WP’.
“Apabila WP dengan senang hati melakukan pembetulan berarti ini peningkatan kepatuhan sukarela sebagai imbas tugas yang dilakukan oleh seksi pengawasan sehingga tidak perlu dilakukan pemeriksaan,” kata Suryo. (DDTCNews)
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan berbagai insentif akan diberikan pemerintah sebagai respons terhadap adanya wabah virus Corona. Salah satu insentif atau relaksasi kebijakan yang akan ditempuh menyasar pada PPh 21.
“Kita bisa juga masuk melalui perusahaan dengan penundaan kewajiban perpajakan. Jadi pilihannya banyak, bisa kita lakukan seperti dulu di 2008 dan 2009 PPh Pasal 21 ditunda, bisa juga kita berikan untuk daerah itu pajak hotel dan restoran ditanggung oleh pemerintah atau nanti kita bisa lihat opsinya,” katanya. (Bisnis Indonesia/Kontan/DDTCNews)
Staf Ahli Menkeu bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal menegaskan harmonisasi kebijakan pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD) dalam rancangan omnibus law perpajakan dimaksudkan agar ada standarisasi implementasi pungutan pajak yang menjadi kewenangan daerah.
Dia memastikan daerah memiliki kewenangan penuh untuk mengumpulkan pajak sebagai bagian dari komponen PAD. Harmonisasi, sambungnya, juga penting agar tidak ada kompetisi terkait tarif pajak antardaerah. Hal ini akan menciptakan standarisasi beban pajak bagi pelaku usaha di seluruh wilayah Indonesia.
“Harmonisasi dilakukan agar ada koordinasi dalam menentukan tarif. Jadi, ada standarisasi dan menghindari terjadinya kompetisi [tarif] pajak di daerah,” imbuh Yon.
Belum lama ini, DDTC Fiscal Research merilis Indonesia Taxation Quarterly Report (Q4-2019) bertajuk ‘Anticipating Compliance Risk Management’. Dalam laporan itu, ada pula pembahasan mengenai sejumlah aspek yang perlu diperhatikan pemerintah terkait rencana rasionalisasi pajak daerah lewat omnibus law perpajakan.Download laporan di sini. (DDTCNews)
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan sekitar 30% impor bahan baku industri manufaktur Tanah Air berasal dari China. Ketika itu terhenti karena efek virus Corona, industri dalam negeri bisa terganggu. Pemerintah akan hadir untuk memberikan stimulus agar pelaku industri mencari bahan baku dari negara lain.
“Kami akan memberikan keringanan bea masuk khusus untuk bahan baku industri. Jika bisa, bea masuknya dinolkan jauh lebih bagus,” katanya. (Kompas)
Menteri Perdagangan Agus Suparmanto menjamin impor bahan baku akan tetap dilakukan secara selektif. Jika industri dalam negeri dikira mampu mencukupi pasokan bahan baku secara mandiri, keran impor untuk komoditas itu tidak akan dibuka.
“Jadi, kita selektif, perlu atau tidak, karena ini juga untuk mempermudah mempercepat industri dan menggenjot ekspor. Intinya, hanya jika barangnya tidak ada, kita impor,” ujar Agus. (Kompas)
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Hestu Yoga Saksama mengatakan hingga Rabu (4/3/2020) pukul 12.00 WIB, SPT yang diterima DJP sudah lebih dari 5 juta. Jumlah tersebut mengalami peningkatan sekitar 31,58% dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu 3,8 juta.
"Data sampai pukul 12 siang tadi sudah 5,01 juta SPT baik orang pribadi maupun badan yang masuk ke sistem DJP," katanya. (DDTCNews) (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.