JAKARTA, DDTCNews – Implementasi pengenaan pajak atas natura (fringe benefit tax/FBT) akan menemui beberapa tantangan mendasar. Adapun kebijakan FBT sudah diamanatkan dalam perubahan UU Pajak Penghasilan (PPh) dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Assistant Manager DDTC Fiscal Research Awwaliatul Mukarromah mengatakan setidaknya ada 3 tantangan mendasar dari penerapan pajak atas penghasilan selain uang. Pertama, tidak semua semua imbalan dapat diatribusikan secara individual kepada karyawan.
“Hal ini terutama dalam kasus ketika imbalan tersebut dinikmati secara kolektif,” ujar Awwaliatul, Selasa (16/11/2021).
Kedua, banyak tunjangan disamarkan sebagai penggantian atau pengeluaran lain-lain sehingga memungkinkan karyawan untuk ‘melarikan diri’ dari kewajiban pajak mereka. Ketiga, terdapat kesulitan dalam valuasi manfaat yang diterima.
Oleh karena itu, lanjut Awwaliatul, penentuan skema, cakupan, penghitungan tarif, basis pemajakan, dan pelaporannya perlu disusun dengan matang dan diatur lebih lanjut melalui aturan turunan. Adapun pengaturan tersebut tentunya juga perlu mempertimbangkan international best practices.
Pemerintah perlu mempertimbangkan hasil komparasi penerapan skema FBT di beberapa negara lain dalam menyusun aturan turunan. Simak ‘Melihat Skema Pajak atas Penghasilan Selain Uang di Negara Lain’.
Seperti diketahui, dalam aturan sebelumnya, natura dan/atau kenikmatan tidak dihitung sebagai biaya yang dikeluarkan perusahaan dan tidak termasuk penghasilan kena pajak bagi penerima atau pekerja. Dengan menerapkan FBT, natura diperlakukan sebagai objek PPh bagi penerimanya (taxable income). Dengan demikian, atas biaya natura yang dikeluarkan perusahaan dapat dibiayakan secara fiskal (deductible expense).
Awwaliatul mengatakan prinsip taxable-deductible ini berarti apabila suatu penghasilan dapat dipajaki bagi pihak yang menerimanya, atas pengeluaran penghasilan tersebut dapat dibebankan sebagai biaya oleh pihak yang mengeluarkannya.
“Aturan FBT pada umumnya dirancang untuk memastikan tunjangan dalam bentuk natura juga dikenai pajak secara efektif dengan tarif yang sama dengan gaji atau upah tunai,” katanya.
Dia mengatakan pada dasarnya pengaturan ulang ketentuan pengenaan pajak atas natura ini patut diapresiasi dan didukung. Adanya ketentuan pemungutan pajak atas natura dapat mengimbangi ketimpangan antara tarif PPh orang pribadi dan PPh badan.
Hal tersebut dikarenakan berdasarkan pada perubahan Pasal 17 ayat (1) UU PPh yang tercantum dalam UU HPP, pemerintah telah menambahkan lapisan tarif baru PPh orang pribadi sebesar 35%. Di sisi lain, tarif umum PPh badan sudah turun menjadi 22%.
Menurutnya, penyesuaian tarif PPh orang pribadi tertinggi menjadi 35% ini mengakibatkan adanya selisih atau gap yang makin besar dengan tarif PPh badan. Pengenaan pajak atas natura dapat membantu mengurangi tax planning yang timbul dari gap tersebut.
Dia memberi contoh upaya perencanaan pajak dengan melakukan shifting penghasilan – tunai atau cash (seperti gaji dan tunjangan) ke bentuk natura guna mengurangi beban PPh orang pribadi – dapat diminimalkan.
“Dengan demikian, penerapan FBT ini dapat mendorong dan mengoptimalkan penerimaan PPh orang pribadi,” imbuh Awwaliatul.
Selain itu, penerapan FBT tersebut diharapkan juga dapat menjadi cara untuk memungut pajak atas natura dan kenikmatan yang diterima influencer, youtuber, dan content creator dari pihak pemberi kerja yang bekerja sama dengan mereka.
Sebagaimana diketahui, mereka melakukan skema endorsement atas suatu produk dengan imbalan jasa berupa pemberian barang, kenikmatan, ataupun fasilitas tertentu. Transaksi semacam itu banyak terjadi dan memiliki potensi yang besar untuk dikenakan pajak. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.