Nafis Dwi Kartiko
,PENERIMAAN pajak atas pendapatan pribadi di negara-negara Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) berkontribusi sekitar 8% terhadap produk domestik bruto (PDB). Kontribusi jaminan social rata-rata mencapai 10% dari PDB.
Di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah ke bawah, penerimaan pajak atas penghasilan pribadi—termasuk jaminan sosial—hanya berkontribusi rata-rata sebesar 3,5% dari PDB. Penerimaan PPh orang pribadi di sebagian besar negara-negara ini dari pemotongan pajak atas gaji.
Padahal, pembayar pajak terkaya di seluruh dunia mendapatkan sebagian besar penghasilan dari sumber non-upah, seperti layanan profesional, investasi, keuntungan modal (real estat), dan sewa. Sumber pendapatan ini sering kali hampir tidak dikenai pajak, khususnya di negara berpenghasilan rendah.
Mengenai kelompok wajib pajak kaya, pada 2009, untuk pertama kalinya OECD menerbitkan laporan keterkaitan high net worth individuals (HNWI) dan kepatuhan pajak. HNWI adalah mereka yang memiliki kekayaan bersih setidaknya US$1 juta, baik dimiliki secara langsung maupun tidak langsung melalui entitas yang mereka kendalikan.
Di Australia, HNWI didefinisikan sebagai individu yang secara efektif memiliki kekayaan bersih sekitar A$30 juta atau lebih (Australian Taxation Office 2008). Sementara South African Revenue Service mendefinisikan HNWI sebagai individu dengan pendapatan kotor setidaknya R7 juta dan/atau kekayaan kotor setidaknya R75 juta (South African Revenue Service, 2012).
Berdasarkan pada Knight Frank Wealth Report 2021, terdapat proyeksi peningkatan HNWI dalam lima tahun ke depan. Jumlah HNWI diproyeksi akan meningkat tajam pada 2025 dengan pertumbuhan hingga 110%.
Tentu saja proyeksi ini ikut berkorelasi dengan kenaikan potensi penerimaan pajak atas penghasilan pribadi. Namun, terdapat beberapa tantangan dalam penanganan HNWI. Salah satunya adalah cara membangun strategi yang holistik dalam pemajakan HNWI, sehingga menghasilkan penerimaan pajak yang maksimum bagi negara.
TERDAPAT beberapa strategi dalam mengembangkan pemajakan terhadap HNWI. Pertama, melakukan pemeriksaan pajak yang lebih agresif dengan perumusan indikator tambahan tertentu untuk mendeteksi risiko penghindaran pajak oleh HNWI.
Beberapa peneliti menyatakan indikator tertentu seperti afiliasi politik dapat digunakan dalam pemeriksaan pajak. Hasil temuan ini menunjukkan terdapat hubungan positif antara afiliasi politik dan perilaku ketidakpatuhan.
Meskipun pengaruh faktor tersebut terhadap kepatuhan pajak kecil, setidaknya ada dampak pada pembayaran pajak. HNWI kemungkinan menganggap keputusan mereka untuk mematuhi (atau tidak mematuhi) sebenarnya terkait dengan afiliasi politik. Dengan kata lain, afiliasi politik yang erat akan mendorong HNWI untuk patuh membayar pajak.
Kedua, menerapkan sanksi yang lebih tinggi terhadap kekayaan atau penghasilan yang tidak diungkap dalam SPT Tahunan. Secara empiris pada beberapa penelitian, sanksi yang lebih tinggi dapat meningkatkan kepatuhan pajak.
Namun, hal ini perlu didorong dengan keandalan data yang dimiliki oleh otoritas pajak. Otoritas perlu melakukan skema prepopulated yang memungkinkan munculnya temuan data pada portal wajib pajak, misalnya ketika mengisi SPT Tahunan.
Wajib pajak yang mengakui data tersebut dan melaporkannya dalam SPT Tahunan akan dikenakan sanksi lebih ringan dibandingkan wajib pajak yang tidak mengakui data tersebut tetapi tervalidasi melalui pemeriksaan pajak.
Ketiga, bersinergi dengan beberapa lembaga negara dalam pengungkapan kasus. Dagirmanjian (2018) mengungkapkan seseorang dengan penghasilan tinggi melakukan diversifikasi portofolio melalui beberapa skema, salah satunya dengan membeli barang antik dengan nilai seni tinggi.
Mereka biasanya menyimpan barang itu dalam waktu yang lama dan menjualnya ketika harga di pasar sangat tinggi. Hal ini dapat memicu terjadinya pencucian uang terhadap kekayaan orang-orang tersebut.
Dalam sudut pandang hukum positif di Indonesia, hal tersebut terkait dengan tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana perpajakan. Kesulitan pengungkapan terhadap barang seni tersebut sangatlah tinggi. Hal ini berbeda dengan kepemilikan rekening yang dapat ditelusuri oleh otoritas perbankan terkait.
Selain aspek pajak atas kepemilikan barang seni, terdapat aspek asal-usul harta atau penghasilan tersebut. Ketika otoritas pajak mengendus ketidakwajaran penghasilan, perlu melibatkan KPK, PPATK, Kejaksaan, atau otoritas terkait lainnya yang dapat menelusuri perolehan harta tersebut. Jangan sampai harta tersebut berasal dari suatu tindak pidana kejahatan tertentu.
Keempat, memperkuat basis pemajakan bagi HNWI. Umumnya, pajak atas HNWI dapat menargetkan basis yang beragam, di antaranya stok kekayaan (seperti properti), arus (pendapatan, tabungan, dan konsumsi), dan hibrida (keuntungan modal dan transfer aset).
Terhadap keseluruhan basis sebelumnya diperlukan penguatan data bagi otoritas pajak dalam memantau pergerakan kekayaan. Hal ini perlu didukung dari segi yuridis dengan memperkuat peraturan terkait dengan keterbukaan informasi.
Ketegasan bagi pihak-pihak yang menghalangi otoritas pajak saat pengungkapan data tersebut sangat diperlukan. Misal, dengan diberikannya sanksi hingga pidana.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2022. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-15 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 juta di sini.
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.