Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Pemanfaatan individual analytic menjadi salah satu upaya yang dilakukan Ditjen Pajak (DJP) dengan tujuan penguatan tata kelola data perpajakan.
Mengutip informasi dari Laporan Tahunan DJP 2021, penguatan itu dilakukan untuk menciptakan tata kelola data yang efektif, efisien, dan terpadu. Dengan demikian, data dapat dimanfaatkan secara optimal, komprehensif, dan terintegrasi.
“Penguatan tata kelola data perpajakan di antaranya diupayakan melalui pemanfaatan individual analytic yang mencakup hasil analisis data perpajakan berupa laporan hasil analisis (LHA) dan laporan hasil analisis perpajakan (LHAP),” tulis DJP dalam laporan tersebut, dikutip pada Selasa (8/11/2022).
LHA memuat hasil penelaahan atas potensi perpajakan dalam lingkup mikro untuk wajib pajak pada beberapa sektor, seperti perkebunan, perikanan, industri tekstil, industri kimia, industri farmasi, jasa keuangan, jasa kesehatan, pertambangan, kehutanan, dan jasa konstruksi.
Kemudian, ada jasa pendidikan, jasa transportasi dan pergudangan, industri perdagangan makanan dan minuman, industri dan perdagangan elektronik, ekonomi digital, jasa freight forwarding dan logistik, jasa informasi dan komunikasi over the top (OTT).
Selain sektor-sektor itu, ada pula hasil penelaahan atas potensi perpajakan dari wajib pajak orang pribadi high wealth individual (HWI) dan prominent people. Ada pula wajib pajak orang pribadi selain HWI dan prominent people.
“Selanjutnya, LHA dimanfaatkan dalam penyusunan LHAP sektoral yang bersifat makro,” imbuh DJP.
Adapun LHAP berisi hal terkait dengan aspek proses bisnis, aspek perpajakan, modus penghindaran pajak, teknik penggalian potensi pajak, usulan penyusunan dan/atau perbaikan regulasi, serta tentunya usulan mengenai kebutuhan data.
Sampai dengan 2021, Direktorat Data dan Informasi Perpajakan – selaku walidata DJP—telah menyusun LHAP dengan beberapa ruang lingkup. Pertama, PPN atas transaksi penjualan aset yang diambil alih dan transaksi cek saldo tarik tunai pada ATM Link.
Kedua, pemanfaatan data country by country reporting (CbCR) 2017 dan 2018 untuk penentuan Daftar Sasaran Analisis (DSA) wajib pajak dengan menggunakan model agresivitas profit shifting. Ketiga, pemanfaatan data kehutanan.
Keempat, proses bisnis dan modus penghindaran pajak kegiatan lalu lintas barang melalui Pelabuhan. Kelima, telaah industri tekstil Indonesia.
DJP mengatakan hasil penelaahan, baik yang tertuang dalam LHA maupun LHAP, memuat kebutuhan perolehan data dari pihak ketiga untuk mendukung kegiatan pengawasan wajib pajak. Kebutuhan data tersebut dapat dipenuhi melalui kerja sama dengan pihak ketiga atau instansi, lembaga, asosiasi, dan pihak lainnya (ILAP).
Dalam persiapan kerja sama, Direktorat Data dan Informasi Perpajakan terlebih dahulu menentukan ILAP yang menjadi prioritas. Direktorat itu juga melakukan pendalaman atas ketersediaan data yang dibutuhkan pada ILAP.
Pada 2021, perolehan data baru diupayakan melalui kerja sama antara DJP dengan beberapa ILAP. Pertama, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), terkait dengan kebutuhan data untuk kegiatan pengawasan wajib pajak penyelenggara layanan pinjam-meminjam berbasis teknologi informasi.
Kedua, Badan Pusat Statistik (BPS), terkait dengan kebutuhan data untuk kegiatan pengawasan wajib pajak sektor perdagangan elektronik.
Ketiga, Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), terkait dengan kebutuhan data untuk kegiatan pengawasan wajib pajak dalam lingkungan perdagangan aset crypto currency. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.