Karlin Sagita Mardiana Siahaan
,KINERJA penerimaan pajak bergantung pada kondisi perekonomian. Meskipun sudah keluar dari resesi dengan pertumbuhan positif pada kuartal II/2021, pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) diproyeksi akan kembali menekan perekonomian.
Faktanya, tax ratio Indonesia juga masih tergolong rendah hingga saat ini. Rasio penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) pada 2019 hanya sebesar 11,6%. Kinerja tersebut masih di bawah rata-rata negara Asia Pasifik (21%) dan negara anggota OECD (33,8%).
Satu cara untuk meningkatkan penerimaan pajak adalah melalui perluasan basis pajak. Berbagai rancangan sumber penerimaan baru sudah bermunculan. Sebut saja pajak atas kegiatan transaksi ekonomi digital, pajak atas sembako, dan pajak karbon. Namun, pemerintah tetap harus bijak.
Pajak warisan merupakan sumber penerimaan yang juga dapat diimplementasikan. Negara-negara maju seperti Inggris, Jepang, dan Amerika Serikat sudah terlebih dahulu menerapkan pajak warisan yang merupakan pajak atas kekayaan berdasarkan pada transfer aset (wealth transfer taxes).
Adapun wealth transfer taxes terdiri atas beberapa bentuk, seperti pajak atas properti (estate tax) yang dikenakan pada total kekayaan bersih wajib pajak yang telah meninggal. Jika utang pajak atas warisan tersebut belum dibayarkan, warisan belum dapat dibagi ke masing-masing ahli waris.
Kemudian, ada pajak warisan (inheritance tax) yang dikenakan pada nilai aset yang diberikan kepada penerima manfaat dari wajib pajak yang telah meninggal. Apabila transfer aset dilakukan selama wajib pajak masih hidup, negara dapat menerapkan pajak hibah (gift tax). Sebanyak 24 dari 36 negara OECD telah memungut wealth transfer taxes. Sebagian besar menerapkan recipient-based inheritance taxes.
Pengenaan pajak atas transfer kekayaan, khususnya warisan, sudah sepatutnya diinisiasi. Menurut OECD, ketimpangan kekayaan jauh lebih besar daripada ketimpangan pendapatan karena lebih tidak terdistribusi secara merata. Pajak warisan diharapkan dapat mengurangi ketimpangan tersebut.
Di Indonesia, ketimpangan pendapatan dan kekayaan masih cukup besar. Hasil Survei Persepsi dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) menyebut 24% responden termiskin mengaku nilai pendapatannya jauh menurun dalam 5 tahun terakhir. Sebaliknya, 56% responden dari golongan terkaya justru merasa pendapatannya makin meningkat.
Dalam A Perceived Divide: How Indonesians Perceive Inequality and What They Want Done About It yang dirilis World Bank, ketimpangan ekonomi di Indonesia bukan disebabkan memburuknya kondisi kemiskinan. Ketimpangan terjadi karena melesatnya akumulasi kekayaan dari masyarakat golongan kaya.
Warisan bukan merupakan objek pajak di Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 4 angka (3) huruf b Undang-Undang (UU) Pajak Penghasilan (PPh). Indonesia hanya mengatur ketentuan pajak bagi warisan yang belum terbagi, yaitu sebagai subjek pajak dalam UU PPh.
Pasal 4 ayat (1) UU PPh menyatakan pajak akan dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak. Prinsip ini dapat menjadi landasan pemungutan pajak warisan. Hal ini dikarenakan atas setiap warisan akan menambah kemampuan ekonomi ahli waris.
Dalam penerapan pajak warisan, pemerintah juga didukung laporan informasi keuangan dari lembaga keuangan pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) PMK 70/2017 s.t.d.t.d PMK 19/2018 tentang Petunjuk Teknis Mengenai Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan. Laporan tersebut dapat digunakan sebagai data pembanding dalam pengawasan pajak warisan.
Pengenaan pajak warisan tentu akan menimbulkan berbagai macam isu seperti penentuan subjek, objek, tarif pajak, serta threshold dari pajak tersebut. Isu krusial lainnya adalah pengenaan pajak berganda atas warisan tersebut.
Adapun isu pengenaan pajak berganda dapat terjadi apabila pemberian warisan dilakukan secara lintas negara atu terdapat perbedaan negara residen pemberi dan penerima warisan.
Sampai dengan saat ini, belum ada pasal dalam perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) yang secara khusus mengatur tentangpajak warisan. Pencantuman klausul untuk mengakui kredit pajak yang sudah dibayarkan atas suatu warisan dalam aturan domestik dapat menjadi salah satu solusi tepat untuk menghindari pengenaan pajak berganda.
Selain itu, pajak warisan juga dapat menimbulkan resistensi dari masyarakat karena kebanyakan harta warisan diperoleh dari penghasilan yang sebelumnya sudah dikenakan pajak.
Menurut data OECD Global Revenue Statistics (2019), kontribusi pajak warisan terhadap PDB memang tidak begitu besar, tetapi selalu meningkat setiap tahunnya. Kontribusi terbesar datang dari negara-negara maju di wilayah Eropa.
Kendati demikian, perlu diingat kembali, pengenaan pajak warisan tidak hanya bertujuan untuk mendongkrak penerimaan pajak. Kebijakan tersebut juga mempunyai tujuan yang lebih besar, yaitu memperkecil ketimpangan ekonomi masyarakat.
Akhirnya, pajak warisan memang dapat menimbulkan pro-kontra di tengah masyarakat. Namun, sudah sepantasnya pemerintah Indonesia dapat memperhitungkan potensi pajak warisan di Indonesia dengan berkaca pada berbagai negara maju yang sudah lebih dulu menerapkannya.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2021. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-14 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 juta di sini.
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
terima kasih atas ilmu yang dibagikan, semoga bs bermanfaat dan sarannya bs dipertimbangkan
keren artikelnya, terima kasih atas insight yg diberikan
Ide konsep pemikiran cukup bagus & menarik.👍 Namun perlu dikaji lebih dalam, agar sejalan dengan UU No.5 thn 1960 tentang peraturan dasar pokok2 agraria, khususnya yg terkait dgn peralihan harta warisan berupa hak milik atas tanah.
Konsep dan pemikiran yg baik , tapi perlu didukung system yg baik dan nilai nominal Warisan yg di terima, agar Masyarakat penerima warisan tdk menghindar dan terbebani
tulisan menarik dan menambah wawasan. walaupun mungkin penerapannya masih perlu aturan yang lebih bisa diterima supaya pro kontra bisa ter eliminasi
tulisan menarik dan menambah wawasan. walaupun mungkin penerapannya masih perlu aturan yang lebih bisa diterima supaya pro kontra bisa ter eliminasi
Memperbandingkan dengan beberapa negara maju, maka sepertinya perlu juga untuk dipertanyakan, terutama untuk benda tetap (tanah dan/atau bangunan) apakah disana juga dikenal adanya BPHTB (Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan) yang sesungguhnya juga merupaka pajak (lainnya) yang dikenakan kepada penerima waris. Apakah ratio besaran (nilainya) sama, atau bahkan mungkin lebih besar di Indonesia? Disisi yang lain, perlu juga untuk diteliti apakah "paham individualistik" berpengaruh terhadap pengenaan pajak tersebut? Dan apakah bisa diperbandingkan dengan "paham kekeluargaan" di Indonesia, dan lain sebagainya.
Masyarakat awam mungkin menganggap bahwa yang wajib lapor harta kekayaan adalah pejabat negara, ASN, atau para borjuis yang memiliki saham. Sehingga masyarakat biasa menganggap bahwa melaporkan harta kekayaan adalah hanya untuk orang yang memiliki harta lebih diluar kebutuhan sehari-hari. Jika pajak warisan ini diberlakukan, tentu saja akan menyebabkan banyak PR hingga pro kontra. Apalagi jika harta warisan itu diperoleh dari penghasilan/gaji, dimana penghasilan tersebut tentu sudah dikenakan pajak.
Tulisan kaya akan pengetahuan baru. Terima kasih.