MAHKAMAH KONSTITUSI

Pajak Hiburan 40-75% Tak Ada di Naskah Akademik, Ahli: Tidak Saintifik

Muhamad Wildan | Jumat, 30 Agustus 2024 | 18:45 WIB
Pajak Hiburan 40-75% Tak Ada di Naskah Akademik, Ahli: Tidak Saintifik

Mahkamah Konstitusi.

JAKARTA, DDTCNews - Tarif pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) khusus sebesar 40% hingga 75% atas jasa hiburan di diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa tidak pernah diusulkan oleh pemerintah dalam naskah akademik RUU HKPD. Hal ini diungkap oleh ahli pemohon dalam persidangan pengujian materiil UU HKPD di Mahkamah Konstitusi (MK).

Dalam persidangan tersebut disebut bahwa tarif PBJT sebesar 40% hingga 75% khusus atas jasa hiburan di diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa justru muncul pertama kali dalam daftar inventarisasi masalah (DIM) atas RUU HKPD, bukan dalam naskah akademik.

"Menurut saya, mestinya itu [tarif 40-75%] harus muncul di naskah akademik. Kalau kita mau kaitkan dengan policy research dalam membuat kebijakan yang baik, baru dia bernilai scientific. Tapi kalau cuma dikarang-karang saja atau perdebatan yang muncul mendadak di DPR, itu cenderung kurang kuat," ujar Mantan Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri Djohermansyah Djohan selaku ahli pemohon dalam sidang di MK, dikutip pada Jumat (30/8/2024).

Baca Juga:
Perincian Tarif Pajak Daerah Terbaru yang Ditetapkan Pemkab Cirebon

Menurut Djohan, ketentuan pajak daerah dalam UU HKPD seharusnya hanya mengatur tarif batas atas tanpa perlu mengatur soal tarif batas bawah. Djohan berpandangan tarif batas bawah perlu dihapuskan agar pemda memiliki keleluasaan untuk menyesuaikan tarif sesuai perkembangan daerahnya masing-masing.

Adanya tarif batas bawah sebesar 40% dalam ketentuan PBJT atas jasa hiburan di diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa adalah cerminan dari kurangnya perhatian pusat terhadap aspek lokalitas daerah.

Munculnya tarif batas bawah khusus untuk PBJT atas jasa hiburan di diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa juga dipandang bertentangan dengan Pasal 18A ayat (2) UUD 1945.

Baca Juga:
Mulai Besok! Pemprov Jawa Tengah Bakal Pungut Pajak Alat Berat

"Soal Pasal 18A ayat (2) UUD 1945 tadi, hubungan pusat dan daerah itu prinsipnya adalah adil dan selaras. Soal batas bawah dan batas atas itu, apakah ini bisa disebut sebagai adil dan selaras? Saya berpendapat ini tidak adil dan tidak selaras," kata Djohan.

Oleh karena tarif PBJT sebesar 40% hingga 75% di diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa dinilai bertentangan dengan Pasal 18A ayat (2) UUD 1845, Djohan berpandangan ketentuan tersebut perlu dibatalkan oleh MK.

"Penetapan tarif PBJT khusus 5 jasa hiburan tadi telah mencederai konstitusi dan melemahkan otonomi yang menjadi amanah reformasi, sehingga layak dibatalkan oleh MK," kata Djohan.

Baca Juga:
Optimalkan Penerimaan, Pemkot Bidik PBJT Olahraga Permainan

Seperti diketahui, terdapat 3 pihak yang mengajukan judicial review atau pengujian materiil terhadap klausul tarif PBJT sebesar 40% hingga 75% dalam UU HKPD, yakni Perhimpunan Pengusaha Husada Tirta Indonesia, PT Imperium Happy Puppy, dan Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI).

Perhimpunan Pengusaha Husada Tirta Indonesia meminta MK untuk menghapuskan mandi uap/spa dari daftar jasa hiburan yang dikenai PBJT sebesar 40% hingga 75%.

Adapun PT Imperium Happy Puppy meminta MK untuk membuat pengecualian khusus atas karaoke keluarga. Menurut perusahaan tersebut, karaoke keluarga seharusnya dikenai PBJT dengan tarif sebesar 10%.

Terakhir, GIPI meminta MK untuk menyatakan Pasal 58 ayat (2) UU HKPD bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Dengan demikian, seluruh jenis jasa hiburan seharusnya dikenai PBJT dengan tarif yang sama, yaitu maksimal 10%. (sap)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Senin, 21 Oktober 2024 | 09:15 WIB BERITA PAJAK HARI INI

Wajah-Wajah Lama Masih Isi Tim Ekonomi Prabowo-Gibran

Minggu, 20 Oktober 2024 | 11:15 WIB INFOGRAFIS PAJAK DAERAH

Perincian Tarif Pajak Daerah Terbaru yang Ditetapkan Pemkab Cirebon

Minggu, 20 Oktober 2024 | 08:30 WIB PROVINSI JAWA TENGAH

Mulai Besok! Pemprov Jawa Tengah Bakal Pungut Pajak Alat Berat

Sabtu, 19 Oktober 2024 | 16:00 WIB KEPATUHAN PAJAK

Punya Usaha Kecil-kecilan, Perlu Bayar Pajak Enggak Sih?

BERITA PILIHAN
Selasa, 22 Oktober 2024 | 17:30 WIB KPP PRATAMA JAMBI TELANAIPURA

WP Gagal Daftar LPSE karena KSWP Tidak Valid, Gara-Gara Tak Lapor SPT

Selasa, 22 Oktober 2024 | 17:06 WIB LEMBAGA LEGISLATIF

DPR Tetapkan Daftar Mitra Kerja untuk Komisi XII dan Komisi XIII

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:41 WIB IHPS I/2024

BPK Selamatkan Keuangan Negara Rp13,66 Triliun pada Semester I/2024

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:30 WIB KANWIL DJP JAWA TIMUR II

Pakai Faktur Pajak Fiktif, Dirut Perusahaan Akhirnya Ditahan Kejari

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:00 WIB TIPS PAJAK DAERAH

Cara Daftarkan Objek Pajak Alat Berat di DKI Jakarta secara Online

Selasa, 22 Oktober 2024 | 15:30 WIB AUSTRALIA

Bikin Orang Enggan Beli Rumah, Australia Bakal Hapus BPHTB

Selasa, 22 Oktober 2024 | 14:00 WIB KP2KP SIDRAP

Ubah Kata Sandi Akun Coretax, Fiskus: Tak Perlu Cantumkan EFIN

Selasa, 22 Oktober 2024 | 13:45 WIB KABINET MERAH PUTIH

Tak Lagi Dikoordinasikan oleh Menko Ekonomi, Kemenkeu Beri Penjelasan

Selasa, 22 Oktober 2024 | 13:30 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kenaikan Tarif PPN Perlu Diikuti dengan Transparansi Belanja