Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyoroti permasalahan kelemahan sistem pengendalian intern (SPI) pada pemerintah daerah sehingga menyebabkan pengelolaan pajak daerah belum optimal pada 2022.
Menurut BPK, kelemahan SPI pada pemda salah satunya disebabkan pencatatan piutang pajak daerah yang belum didukung aplikasi pendapatan asli daerah elektronik (e-PAD). Oleh karena itu, BPK merekomendasikan pemda untuk mengembangkan aplikasi e-PAD.
"BPK merekomendasikan kepada kepala daerah agar memerintahkan pejabat/pegawai terkait untuk…melakukan pengembangan atas kelemahan aplikasi e-PAD dalam mendukung pengelolaan pajak daerah," bunyi IHPS I/2023, dikutip pada Rabu (6/12/2023).
BPK menyatakan isu yang memengaruhi kewajaran penyajian Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) 2022 antara lain penyajian piutang pajak daerah dan piutang retribusi daerah tidak didukung dengan bukti dan catatan akuntansi yang memadai.
Pada permasalahan kelemahan SPI atas LKPD 2022, BPK mencontohkan pencatatan piutang pajak hotel dan restoran yang tidak didukung dengan surat tagihan pajak daerah (STPD) atau dokumen lain yang dapat dipersamakan. Permasalahan ini terjadi pada Pemkab Lebong.
Di Kabupaten Sampang, sistem informasi akuntansi dan pelaporan tidak memadai karena aplikasi e-PAD belum mendukung proses pendataan, pendaftaran, dan pelaporan wajib pajak (WP).
Hal itu antara lain tercermin dari belum diakomodasinya penolakan penerbitan nomor pokok wajib pajak daerah (NPWPD) atas identitas wajib pajak yang sama, dan tidak didukung dengan fitur kewajiban WP untuk menginput dan mengunggah laporan omzet/pendapatan usaha yang akan dijadikan dasar penerbitan surat pemberitahuan pajak daerah (SPTPD).
Atas permasalahan tersebut, BPK merekomendasikan pemrosesan penerbitan surat ketetapan pajak daerah kurang bayar (SKPDKB) atas kekurangan penerimaan pajak dan melakukan pemeriksaan atas data wajib pajak yang belum terdaftar.
Di sisi lain, pada Pemprov DKI Jakarta, terdapat pelaksanaan kebijakan yang tidak tepat sehingga mengakibatkan hilangnya potensi penerimaan. Penyebabnya antara lain hasil perekaman transaksi usaha pada aplikasi SI MOST yang menunjukkan adanya potensi kekurangan penerimaan pajak, serta belum dimanfaatkan dalam pengawasan pajak daerah.
Selain itu, pembebasan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) diberikan tanpa memperhatikan tunggakan pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan (PBB-P2) dan implementasi e-BPHTB belum dapat menjamin penerimaan BPHTB secara tepat waktu. (rig)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.