Ketua Umum Perkumpulan Tax Center dan Akademisi Pajak Seluruh Indonesia (PERTAPSI) sekaligus Founder DDTC Darussalam (kanan) bersama Annisa Larasati dalam Podcast Cermati Episode 13 bertajuk Meningkatkan Literasi Reformasi yang disiarkan langsung oleh Ditjen Pajak (DJP) melalui Youtube, Selasa (30/5/2023).
JAKARTA, DDTCNews - Reformasi pajak harus dilakukan untuk mengoptimalkan penggalian potensi pajak. Terlebih, tax ratio Indonesia yang tercatat sekitar 10,4% masih tergolong rendah, bahkan di Kawasan Asia Tenggara.
Ketua Umum Perkumpulan Tax Center dan Akademisi Pajak Seluruh Indonesia (PERTAPSI) sekaligus Founder DDTC Darussalam mengatakan berdasarkan pada hasil kajian Asian Development Bank (ADB), masih ada potensi pajak yang belum tergali.
“Tentunya kita harus melakukan reformasi, baik dari administrasi maupun dari kebijakannya,” ujar Darussalam dalam Podcast Cermati Episode 13 bertajuk Meningkatkan Literasi Reformasi yang disiarkan langsung oleh Ditjen Pajak (DJP) melalui Youtube, Selasa (30/5/2023).
Peningkatan tax ratio menjadi aspek penting dalam pembangunan Indonesia. Terlebih, International Monetary Fund (IMF) menyatakan tax ratio ideal suatu negara untuk melakukan pembangunan berkelanjutan minimal sebesar 15%.
Dalam kesempatan itu, Darussalam bercerita mengenai reformasi pajak, baik saat pandemi Covid-19 maupun setelahnya. Pada masa pandemi, reformasi berorientasi pada peran pajak untuk membuat ekonomi bertahan, bahkan tetap bisa tumbuh. Dalam konteks ini, berbagai insentif diberikan.
Pascapandemi, orientasi reformasi pajak kembali diarahkan untuk penerimaan pajak. Apalagi, pajak mengambil porsi paling besar dalam struktur penerimaan negara. Situasi inilah yang juga dialami Indonesia.
“Kalau bicara tujuan reformasi pajak Indonesia, mau enggak mau kita bicara bagaimana tax ratio kita yang pada 2022 kemarin hanya 10,4%. Ini persoalan besar kita makanya reformasi pajak bagi Indonesia itu bagaimana tax ratio kita bisa setahap demi setahap naik,” kata Darussalam.
Berdasarkan pada pengamatan Darussalam, pemerintah sejatinya sudah berupaya untuk bisa menggali potensi pajak lebih optimal. Namun, persoalannya tidak mudah. Dia memberi contoh mengenai rendahnya kontribusi pajak dari sektor-sektor penopang produk domestik bruto (PDB).
Misalnya, sektor pertanian berkontribusi besar terhadap PDB. Namun, sumbangsihnya terhadap penerimaan pajak cukup kecil. Dalam konteks ini, ada policy gap karena negara berupaya memberikan keberpihakan terhadap masyarakat dan usaha kecil yang mendominasi sektor tersebut.
Kendati demikian, Darussalam mengapresiasi upaya pemerintah mengundang stakeholder terkait dalam penyusunan Undang-Undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Salah satu contohnya saat penyusunan perlakuan PPN atas barang-barang kebutuhan pokok.
Reformasi pajak, sambungnya, seharusnya juga tidak bisa dilepaskan dari international best practice. Dalam konteks ini, Indonesia juga perlu ‘mengintip’ reformasi yang dijalankan negara-negara lain, termasuk negara tetangga.
Sebagai informasi, Podcast Cermati kali ini dipandu oleh Annisa Larasati. Simak selengkapnya di sini. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.