PELUANG pemerintah dalam menggali penerimaan pajak dari wajib pajak badan masih sangat besar. Berdasarkan sensus ekonomi yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik pada 2016, terdapat 26,71 juta badan usaha atau perusahaan yang ada di Indonesia. Dari jumlah tersebut, ada 26,26 juta usaha menengah kecil atau sebesar 98,33% dan 0,45 juta usaha menengah besar atau 1,67%.
Jika dibandingkan dengan sensus ekonomi 2006, maka jumlah usaha di Indonesia berkembang sebesar 17,51%. Hal tersebut mengindikasikan pertumbuhan penerimaan pajak dari wajib pajak badan juga ikut meningkat seiring dengan pertumbuhan jumlah badan usaha di Indonesia.
Sayangnya, pada 2016 realisasi penerimaan pajak baru mencapai 81,60% dari target yang telah ditetapkan yaitu sebesar Rp1.355 triliun. Direktorat Jenderal pajak menilai gagalnya pencapaian target pajak selama ini sa;ah satunya diakibatkan oleh banyaknya perusahaan yang tidak membayar pajak. Tahun 2016 disebutkan bahwa sekitar 2.000 perusahaan tidak membayar pajak.
Permasalahan tersebut tentunya harus segera diselesaikan untuk mengoptimalkan penerimaan pajak, baik dari usaha besar maupun sektor usaha mikro, kecil, menengah (UMKM). Untuk memaksimalkan penerimaan pajak dari sektor usaha besar, pemerintah perlu mempertimbangkan aspek ketaatan pajak bisa menjadi indikator kenaikan nilai perusahaan di masyarakat.
Dengan begitu, pembayaran pajak mempunyai dampak yang baik bagi kinerja keuangan perusahaan. Opini ketaatan pajak ini dapat disyaratkan pada perusahaan yang go public atau yang terdaftar di bursa efek Indonesia. Saat ini terdapat sekitar 555 perusahaan yang terdaftar di bursa efek.
Syarat untuk masuk (listing) di bursa efek selama ini hanya memuat unsur laporan keuangan yang telah diaudit dan opini wajar tanpa pengecualian untuk mengakomodir kepentingan investor. Untuk membuat pajak mempunyai bargaining position maka perlu untuk mengeluarkan tidak hanya opini audit tapi juga opini ketaatan pajak.
Opini ketaatan pajak untuk sebuah perusahaan yang go public akan menjadi penilaian masyarakat atau investor yang akan membeli saham di bursa efek. Opini ketaatan pajak akan memberi pertimbangan mengenai sehat tidaknya sebuah perusahaan.
Citra perusahaan yang taat pajak tentunya akan lebih baik di mata masyarakat sehingga akan meningkatkan nilai perusahaan di masyarakat yang berujung pada perbaikan nilai saham perusahaan tersebut. Dengan cara ini diharapkan bahwa membayar pajak tidak lagi dipandang sekedar kewajiban namun dijadikan kebutuhan bagi perusahaan.
Berbeda halnya dengan sektor usaha besar yang sudah mapan dari segi pelaporan keuangan, UMKM baru beberapa tahun terakhir melakukan pembenahan. Pembenahan pelaporan keuangan UMKM didukung dengan penyusunan standar akuntansi keuangan entitas mikro, kecil, dan menengah (SAK EMKM) yang akan berlaku efektif pada januari 2018.
Laporan keuangan UMKM dianggap perlu untuk dibuatkan standar salah satunya untuk kepentingan perpajakan. Seperti diketahui bahwa pembuatan laporan keuangan sebuah entitas bertujuan untuk mengakomodir kepentingan pihak-pihak yang berkepentingan.
Dalam hal ini pemerintah mempunyai kepentingan perpajakan sehingga perlu untuk membenahi pembuatan laporan keuangan UMKM. Sebelumnya standar laporan keuangan yang berlaku dianggap terlalu kompleks dan tidak sesuai dengan kebutuhan pelaku usaha untuk sektor UMKM, sehingga dibuat SAK EMKM yang lebih sederhana.
Pembayaran pajak UMKM telah diatur dalam Peraturan Pemerintan Nomor 46 tahun 2013 yaitu sebesar 1% dari omzet usaha. Dari 26,26 juta unit UMKM yang ada, hingga saat ini baru 600 ribu yang terdaftar sebagai wajib pajak. Penerimaan pajak dari sektor UMKM pun terbilang rendah.
Sebelumnya, pada periode 2013 hingga 2014 jumlah penerimaan pajak dari UMKM sebesar Rp2 triliun dari potensi penerimaan sebesar Rp30 triliun. Untuk menggenjot kepatuhanya, Ditjen Pajak juga telah mendorong sektor UMKM untuk ikut serta pada program pengampunan pajak (tax amnesty) dalam berbagai sosialisasi. Namun itu saja tidak cukup.
Dalam hal ini, ada cara lain untuk menggenjot kepatuhan wajib pajak UMKM. Selama ini, formulasi pembayaran pajak UMKM yang ditetapkan yaitu sebesar 1% dari total omzet sebenarnya kurang tepat. Formulasi tersebut diterapkan dengan alasan agar pelaku usaha tidak perlu repot untuk menghitung laba melalui pembukuan keuangan.
Meskipun tarif pajak UMKM diwacanakan akan turun menjadi 0,25%, tetap saja tidak relevan dalam pemungutan pajak. Pajak yang dipungut harus berdasarkan seberapa besar laba bersih yang diterima pelaku usaha. Jika menggunakan patokan omzet bisa saja pelaku usaha akan rugi karena jumlah biaya yang dikeluarkan belum dihitung. Hal tersebut bisa memicu keengganan pelaku usaha untuk membayar pajak.
Yang perlu dilakukan oleh Ditjen Pajak yaitu berkoordinasi dengan pihak terkait dan turut menggalakkan penerapan SAK EMKM untuk mendorong agar pelaku UMKM membuat laporan keuangan sehingga bisa dilakukan perhitungan pajak terhadap laba bersih unit usaha.
Penerapan SAK EMKM oleh pelaku usaha tidak hanya akan menguntungkan pemerintah dalam hal perpajakan namun juga menguntungkan pelaku usaha itu sendiri agar bisa mengetahui kinerja keuangan dan melakukan manajemen keuangan lebih baik pada unit usahanya.*
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.