KONSENSUS PAJAK GLOBAL

Nasib Kelanjutan Kesepakatan Pajak Global, Begini Kata Kemenkeu

Dian Kurniati | Senin, 04 Juli 2022 | 15:30 WIB
Nasib Kelanjutan Kesepakatan Pajak Global, Begini Kata Kemenkeu

Gedung BKF.

JAKARTA, DDTCNews - Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu mengungkapkan pembahasan solusi 2 pilar untuk mengatasi tantangan perpajakan internasional masih terus berjalan.

Kepala BKF Febrio Kacaribu mengatakan Presidensi G-20 Indonesia berkomitmen untuk melanjutkan pembahasan mengenai konsensus pajak global, dari yang telah dicapai pada Presidensi Italia. Dia berharap kesepakatan pajak global itu dapat segera rampung sehingga bisa diterapkan secara efektif.

"Di Presidensi Indonesia, kita lanjutkan. Tinggal nanti apakah implementasinya tahun ini atau tahun depan, itu yang memang masih sedang dibicarakan," katanya, dikutip pada Senin (4/7/2022).

Baca Juga:
Meninjau Aspek Keadilan dari Konsensus Pajak Minimum Global

Febrio mengatakan pembahasan mengenai kesepakatan perpajakan global di Presidensi Italia 2021 telah memberikan hasil yang positif. Saat itu, para pemimpin negara G-20 sepakat untuk mengimplementasikan kesepakatan pajak global mulai 2023.

Beranjak ke Presidensi Indonesia 2022, negara anggota G-20 akan membahas kelanjutan kesepakatan internasional mengenai perpajakan yang mencakup 2 pilar. Proposal Pilar 1: Unified Approach telah diusulkan sebagai solusi yang menjamin hak pemajakan dan basis pajak yang lebih adil dalam konteks ekonomi digital karena tidak lagi berbasis kehadiran fisik.

Pilar 1 mengatur perusahaan multinasional dengan peredaran bruto dan keuntungan tertentu. Dalam hal ini, pilar tersebut akan dapat dikenakan pada sektor digital yang selama ini menjadi isu antara negara G-20 dan seluruh dunia.

Baca Juga:
Penerapan Pilar 1 Amount A Butuh Aturan yang Berkepastian Hukum Tinggi

Kemudian, Pilar 2: Global anti-Base Erosion Rules (GloBE), diyakini dapat mengurangi kompetisi pajak serta melindungi basis pajak yang dilakukan melalui penetapan tarif pajak minimum secara global. Pilar tersebut akan menjadi solusi pemajakan pada perusahaan-perusahaan yang bergerak antarnegara sehingga memungkinkan terjadinya upaya menghindari pajak.

Tarif pajak minimum akan dikenakan pada perusahaan multinasional yang memiliki peredaran bruto tahunan EUR750 juta atau lebih. Dengan pajak minimum, persaingan tarif yang tidak sehat di antara negara-negara yang selama ini terjadi bisa dihentikan.

Febrio berharap pembahasan mengenai kesepakatan perpajakan global dapat terus berlanjut meski dalam situasi ekonomi dan geopolitik yang tidak menentu. Pada saat ini, tensi geopolitik masih panas karena Amerika Serikat masih menjatuhkan sanksi tambahan kepada Rusia akibat invasi yang dilakukan negara tersebut ke Ukraina.

Baca Juga:
Menginterpretasikan Laba Usaha dalam P3B (Tax Treaty), Baca Buku Ini

"[Soal AS yang sempat mengancam tidak akan hadir pada KTT G-20 jika ada Rusia] nggak ada hubungannya [dengan pembahasan konsensus pajak]," ujarnya.

Implementasi konsensus perpajakan global tersebut dinilai akan memberikan dampak positif bagi Indonesia. Pada pekan lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut kesepakatan perpajakan internasional akan mempersempit ruang wajib pajak melakukan upaya penghindaran pajak, terutama setelah periode program pengungkapan sukarela (PPS).

Meski demikian, OECD baru-baru ini juga menyatakan tengah merancang proposal mengenai penundaan implementasi konsensus pajak, khususnya Pilar 1, lantaran negara-negara anggota Inclusive Framework harus menyepakati multilateral convention (MLC) untuk mengimplementasikan Pilar 2. (sap)


Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Rabu, 16 Oktober 2024 | 13:20 WIB BUKU PAJAK

Meninjau Aspek Keadilan dari Konsensus Pajak Minimum Global

Rabu, 09 Oktober 2024 | 16:17 WIB KONSENSUS PAJAK GLOBAL

Penerapan Pilar 1 Amount A Butuh Aturan yang Berkepastian Hukum Tinggi

Rabu, 09 Oktober 2024 | 13:45 WIB LITERATUR PAJAK

Menginterpretasikan Laba Usaha dalam P3B (Tax Treaty), Baca Buku Ini

Selasa, 08 Oktober 2024 | 17:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Masa Berlaku Tax Holiday PMK 130/2020 Diperpanjang hingga Akhir 2025

BERITA PILIHAN
Selasa, 22 Oktober 2024 | 21:45 WIB LEMBAGA LEGISLATIF

Sah! Misbakhun Terpilih Jadi Ketua Komisi XI DPR 2024-2029

Selasa, 22 Oktober 2024 | 21:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

PPN Mestinya Naik Tahun Depan, Gerindra akan Bahas Bareng Kemenkeu

Selasa, 22 Oktober 2024 | 17:30 WIB KPP PRATAMA JAMBI TELANAIPURA

WP Gagal Daftar LPSE karena KSWP Tidak Valid, Gara-Gara Tak Lapor SPT

Selasa, 22 Oktober 2024 | 17:06 WIB LEMBAGA LEGISLATIF

DPR Tetapkan Daftar Mitra Kerja untuk Komisi XII dan Komisi XIII

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:41 WIB IHPS I/2024

BPK Selamatkan Keuangan Negara Rp13,66 Triliun pada Semester I/2024

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:30 WIB KANWIL DJP JAWA TIMUR II

Pakai Faktur Pajak Fiktif, Dirut Perusahaan Akhirnya Ditahan Kejari

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:00 WIB TIPS PAJAK DAERAH

Cara Daftarkan Objek Pajak Alat Berat di DKI Jakarta secara Online

Selasa, 22 Oktober 2024 | 15:30 WIB AUSTRALIA

Bikin Orang Enggan Beli Rumah, Australia Bakal Hapus BPHTB

Selasa, 22 Oktober 2024 | 14:00 WIB KP2KP SIDRAP

Ubah Kata Sandi Akun Coretax, Fiskus: Tak Perlu Cantumkan EFIN