UPAYA mewujudkan Visi Indonesia 2045 seperti yang dicetuskan Presiden Joko Widodo untuk menjadi negara berdaulat, maju, adil, dan makmur tentu tidak mudah. Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi adalah pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.
Laju pertumbuhan ekonomi di atas 6% harus terus diusahakan. Ketidakpastian global dan tekanan eksternal menjadikan hal itu semakin tidak mudah diraih. Investasi dapat menjadi penggerak bagi perekonomian Indonesia yang sedang tumbuh stagnan.
Namun, Indonesia harus bersaing dengan negara lain untuk mendapatkannya. Di ASEAN saat ini, Indonesia masih tertinggal. Presiden menyebutkan, dari 33 perusahaan yang keluar dari Tiongkok akibat perang dagang dengan Amerika Serikat, tidak ada satupun yang datang ke Indonesia.
Pemerintah merespons situasi ini dengan menjadikan upaya menarik investasi sebagai agenda penting awal periode kedua pemerintahan Joko Widodo. Salah satu bentuk responsibilitas pemerintah adalah dengan memberikan insentif pajak seperti tax holiday dan tax allowance.
Kebijakan Pajak
LANTAS apakah berbagai insentif itu mampu menarik dan mempertahankan investasi? Berdasarkan Global Investment Competitiveness Report 2017/2018, transparansi dan predictability lembaga publik menjadi faktor pertama yang memengaruhi iklim bisnis. Insentif investasi ada pada faktor keempat.
Dari survei itu terlihat pemerintah tidak dapat mengandalkan kebijakan pemberian insentif pajak saja untuk menarik investasi, tetapi harus ada perbaikan aspek lain. Salah satu aspek yang perlu menjadi perhatian pemerintah adalah ketidakpastian kebijakan atau regulasi.
Dari survei GIC terkait dengan alasan perusahaan menarik investasi, 32% responden berpendapat peningkatan ketidakpastian kebijakan atau regulasi menjadi alasan perusahaan menarik investasi, sementara yang berpendapat penghapusan insentif pajak sebagai alasan hanya sebanyak 5%.
Bentuk ketidakpastian kebijakan atau regulasi ini juga meliputi ketidakpastian dalam perpajakan. Membangun kepastian sistem pajak jelas dapat membantu menciptakan sistem hukum dan iklim investasi yang kondusif untuk menarik investasi.
Berdasarkan Tax Morale: What Drives People and Business to Pay Tax (OECD, 2019), ketidakpastian pajak dapat memengaruhi keputusan bisnis pada negara berkembang. Dampaknya bisa pengeluaran biaya tambahan, perubahan struktur bisnis, dan pengurangan atau perubahan tempat investasi.
Ketidakpastian pajak itu dapat berasal dari berbagai hal, seperti administrasi perpajakan, perpajakan internasional, penyelesaian sengketa pajak, dan desain kebijakan. Setiap wilayah memiliki perbedaan sumber ketidakpastian utama yang berpengaruh pada investasi di negara mereka.
Di Asia, menurut Business Survey on Taxation (OECD, 2019), tiga sumber ketidakpastian utama yang memengaruhi investasi adalah inkonsistensi perlakuan oleh otoritas pajak, birokrasi kepatuhan yang rumit, dan inkonsistensi otoritas pajak dalam interpretasi standar pajak internasional.
Kepastian Pajak
SAAT ini pemerintah berbenah memperbaiki regulasi perpajakan agar mampu memberikan penerimaan yang optimal dan mendorong investasi. Berbagai alternatif kebijakan juga sedang dipertimbangkan untuk menghadapi era ekonomi digital yang begitu masif.
Tantangan yang dihadapi saat ini tidak hanya bagaimana cara mengamankan basis pajak, tetapi juga tetap menjaga iklim investasi yang kondusif. Dalam meningkatkan kepastian pajak untuk menciptakan iklim investasi, ada beberapa kebijakan yang dapat diambil oleh pemerintah.
Pertama, mengutamakan unified approach dalam perpajakan digital economy. Masalah pemajakan ekonomi digital ini merupakan masalah global dan perlu solusi komprehensif. Saat ini OECD tengah menyusun konsensus global digital economy framework yang diharapkan selesai pada 2020.
Pendekatan unilateral yang dilakukan Inggris dan Perancis tidak akan efektif menyelesaikan masalah ini. Kebijakan yang sejalan dengan unified approach diharapkan tidak hanya menyelesaikan persoalan pemajakan ekonomi digital, tetapi juga memberikan kepastian dan menjaga iklim investasi.
Kedua, mengurangi intensitas perubahan kebijakan. Regulasi yang sering berubah akan menimbulkan ketidakpastian serta kekhawatiran. Setiap perubahan memerlukan adaptasi kembali, hal ini terkadang tidak mudah dilakukan dan dapat memengaruhi keputusan bisnis wajib pajak.
Pada era disrupsi saat ini, kegiatan bisnis begitu cepat berubah sehingga menimbulkan kesenjangan kebijakan (policy gap). Peraturan perpajakan saat ini sering sukar menangkap perkembangan bisnis terutama bisnis digital.
Pemerintah perlu merumuskan kebijakan perpajakan yang adaptif dan responsif dengan orientasi jangka panjang. Dengan kebijakan seperti itu, pemerintah dapat mengurangi frekuensi perubahan kebijakan pada masa mendatang, sehingga menciptakan kepastian bagi pelaku usaha.
Ketiga, memberikan kemudahan bagi investor dalam mendapatkan insentif pajak. Pemberian insentif pajak harus beriringan dengan kemudahan mendapatkannya. Kemudahan ini dapat mencakup aspek kesederhanaan administrasi serta persyaratan dan kecepatan proses pemberian fasilitas.
Syarat memperoleh insentif pajak saat ini masih terlalu berat bagi pelaku usaha, sehingga masih ada keraguan memanfaatkannya. Untuk itu, persyaratan memperoleh insentif harus memperhatikan sisi kemampuan pelaku usaha dalam memenuhi persyaratan tersebut.
Saat ini pemerintah menyusun RUU Omnibus Law Perpajakan. Momentum ini harus dimanfaatkan untuk merumuskan kebijakan yang tepat, membenahi sistem perpajakan, dan mengurangi ketidakpastian. Sebab, terciptanya kepastian pajak dapat menjadi senjata ampuh dalam menjaring investasi.
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.