Fanni Fauziah
, mahasiswi PKN-STANASAS equality atau keadilan adalah salah satu asas pemungutan pajak yang dikemukakan oleh Adam Smith dalam Wealth of Nations. Asas ini harus dipertimbangkan dalam setiap perumusan kebijakan perpajakan. Asas keadilan juga terkandung dalam sila ke-5 Pancasila.
Tentunya tidak ada alasan lain untuk tidak menjunjung tinggi asas keadilan ini agar diskriminasi dalam pemungutan pajak tidak lagi terjadi. Begitulah yang seharusnya dilakukan pada kebijakan terkait dengan Compliance Risk Management (CRM).
CRM merupakan alat bantu pengambilan keputusan yang dibuat Ditjen Pajak untuk memudahkan Account Representative (AR) dalam melakukan penggalian potensi dan kepatuhan wajib pajak. Outcome yang diharapkan dengan CRM ini adalah tercapainya target penerimaan pajak yang optimal.
Tata cara penerapan CRM sendiri diatur dalam SE Dirjen Pajak Nomor SE-24/PJ/2019. Poin penting surat edaran ini adalah CRM membedakan wajib pajak berdasarkan tingkat risiko kepatuhan melalui peta kepatuhan wajib pajak.
Tujuan umum dari implementasi CRM adalah membantu Ditjen Pajak dalam menangani wajib pajak dengan lebih adil dan transparan. Selain itu, CRM diharapkan dapat menciptakan manajemen sumber daya yang lebih efektif dan efisien.
Namun pada kenyataannya, poin yang terpenuhi hanyalah penggalian potensi pajak yang memihak kepada yang ‘lebih berpotensi’ agar tercapai hasil yang efektif dan efisien. Pola gali potensi seperti ini sama sekali tidak mencerminkan prinsip keadilan sesuai yang tertuang dalam SE-24/PJ/2019.
Padahal, aspek keadilan merupakan aspek yang krusial dan selalu melekat dengan tax compliance. Menurut Jackson and Milliron (1986), keadilan atau fairness merupakan salah satu variabel kunci yang memengaruhi kepatuhan pajak.
Ketika aspek keadilan benar-benar diterapkan dalam pelaksanaan kebijakan perpajakan, wajib pajak akan memperoleh perlakuan yang sama pula pada saat penggalian potensi sehingga akan berdampak pada peningkatan kepatuhan pajak.
Sebagian besar penggalian potensi wajib pajak yang dilakukan Ditjen Pajak di lapangan hanya berfokus pada tercapainya target penerimaan. Dengan alat bantu CRM, sebagian besar AR fokus untuk menyusun daftar prioritas wajib pajak dalam proses penggalian potensi dan kepatuhan pajak.
Penyusunan daftar prioritas wajib pajak dilakukan guna meningkatkan efektivitas dalam pemenuhan target penerimaan pajak. Pada akhirnya, wajib pajak yang berada pada prioritas paling bawah dalam proses penggalian potensi dan kepatuhan pajak seakan ‘diabaikan’.
Poin inilah yang menjadi bukti bahwa asas keadilan dalam pemungutan pajak tidak benar-benar terlaksana dengan optimal pada kebijakan tersebut. Memang, tidak dapat dimungkiri bahwa setiap AR memegang kendali dan tanggung jawab ratusan hingga ribuan wajib pajak.
Artificial Intelligence
KETIDAKADILAN pada sistem gali potensi ini hendaknya segera diatasi dengan memunculkan sebuah solusi dalam proses pemungutan pajak. Solusi tersebut adalah dengan mengoptimalkan salah satu direktorat yang ada di bawah Ditjen Pajak, yaitu Direktorat Teknologi Informasi dan Komunikasi.
Direktorat ini dapat menggandeng Direktorat Potensi dan Kepatuhan Pajak untuk merumuskan program Artificial Intelligence (AI). Program ini dirancang dalam rangka otomasi sistem penggalian potensi pajak sehingga dapat mengurangi beban kerja AR dalam menggali potensi pajak.
Konsep utama pembuatan AI itu sendiri adalah melakukan pengategorian wajib pajak, terutama wajib pajak yang berada pada prioritas menengah ke bawah, dalam hal ini wajib pajak yang telah memiliki kepatuhan pajak yang tinggi, seperti wajib pajak lembaga pendidikan dan lembaga sosial.
Jadi, AI ini dirancang untuk melakukan penggalian potensi pajak secara otomatis untuk wajib pajak dengan kasus sederhana. Sementara wajib pajak dengan kasus yang kompleks, telah dimasukkan ke daftar wajib pajak prioritas oleh AR dan harus dilakukan penggalian potensi pajak secara manual.
Dengan otomasi itu, dua tujuan umum SE-24/PJ/2019 dapat terwujud dengan optimal. Pembuatan daftar prioritas wajib pajak oleh AR demi mengejar target penerimaan dapat optimal, sementara wajib pajak pada prioritas menengah ke bawah dapat dilakukan penggalian potensi dengan AI.
Dengan demikian, asas keadilan, efektivitas dan efisiensi pemungutan pajak dapat terwujud bersamaan. Terobosan otomasi penggalian potensi ini diharapkan bisa mengeliminasi diskriminasi dalam pemungutan pajak. Hal ini secara tidak langsung akan mendorong kepatuhan pajak masyarakat.
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.