BERKEMBANGNYA infrastruktur telekomunikasi dan besarnya jumlah pengguna internet telah mendorong pesatnya transaksi online. Transaksi tersebut tidak terkecuali dalam sektor keuangan. Hal ini terlihat dari perkembangan peer to peer (P2P) lending sebagai salah satu platform dalam financial technology (fintech).
P2P lending memberi layanan jasa keuangan untuk mempertemukan pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman. Perkembangan ini terutama disebabkan oleh masih terbatasnya akses dan rendahnya inklusi keuangan di Indonesia. Masih banyaknya masyarakat yang belum bankable serta adanya kemudahan dan kecepatan transaksi, membuat P2P lending makin populer di Indonesia.
Berdasarkan data yang dirilis Otoritas Jasa Keuangan (OJK), nilai penyaluran kredit P2P lending sampai dengan Mei 2019 mencapai Rp41 triliun. Angka tersebut meningkat sebesar 566% dari tahun sebelumnya. Adapun jumlah platfrom yang terdaftar sebanyak 88 platform dengan total nilai outstanding pinjaman senilai Rp8,3 triliun dan total aset Rp1,91 triliun.
Angka-angka tersebut diproyeksikan akan terus bertambah seiring dengan peningkatan kebutuhan pendanaan masyarakat. Penetrasi industri P2P lending yang masif – dengan segala manfaat dan kemudahan yang ditawarkan – menghasilkan nilai transaksi keuangan yang sangat signifikan. Demikian halnya dengan potensi pajak yang muncul dari transaksi industri ini.
Atas transaksi yang terjadi di industri fintech P2P lending, hanya ada satu jenis pajak yang mungkin timbul, yaitu pajak penghasilan (PPh) dari penghasilan bunga yang diterima oleh pemberi pinjaman. Atas penyerahan jasa keuangan yang diberikan melalui industri ini tidak dikenakan pajak pertambahan nilai (PPN) sebagaimana yang terdapat pada Pasal 4a ayat (3) huruf d Undang-Undang PPN.
Karena belum ada regulasi pemajakan khusus, secara umum pajak yang berlaku atas industri fintech P2P lending sama dengan pajak untuk industri non-fintech. Dengan demikian, berlaku ketentuan yang sama dalam undang-undang terkait perpajakan. Ditjen Pajak (DJP) menilai ketentuan umum perpajakan yang ada masih relevan dengan industri fintech seperti P2P lending.
Untuk menciptakan ekosistem yang kondusif di dalam industri keuangan digital serta melindungi pihak-pihak yang bertransaksi, OJK telah membuat aturan main bagi para pelaku industri fintech, yaitu Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 77/POJK.01/2016.
Pada Pasal 6 disebutkan batas maksimum total pemberian pinjaman dana pada industri P2P lending adalah senilai Rp2 miliar. Apabila penghasilan berupa bunga pinjaman pada industri P2P lending ini diperhitungkan dalam aspek perpajakan, tentu potensi penerimaan pajak penghasilan yang masuk ke kas negara akan sangat besar nilainya.
Potensi PPh dari industri ini dapat dilihat dari penghasilan bunga yang diperoleh oleh kreditur yang ditambahkan dengan peredaran bruto wajib pajak. Bagi wajib pajak yang memiliki peredaran bruto kurang dari Rp4,8 miliar dalam setahun maka pajak yang dikenakan menggunakan tarif PPh final sebagaimana diatur dalam PP No. 23/2018, yaitu sebesar 0,5%. Sementara, wajib pajak dengan peredaran bruto dalam satu tahun lebih dari Rp4,8 miliar rupiah maka menggunakan tarff PPh sesuai dengan Pasal 17 Undang-Undang PPh.
Terdapat sejumlah cara yang dapat ditempuh DJP dalam menggali pajak atas transaksi dari industri fintech P2P lending. Pertama, otoritas perlu mewajibkan setiap platform P2P lending, baik dari sisi debitur maupun kreditur, untuk memberikan data NPWP sebagai syarat bertransaksi. Pemerintah juga perlu mewajibkan platform P2P lending untuk memberikan informasi penghasilan bunga.
Dengan demikian, data tersebut akan mempermudah DJP dalam menggali potensi pajak industri ini. Namun, masih ada tantangan berupa platform P2P lending ilegal yang belum terdaftar di OJK. Selain rentan terhadap sengketa akibat asimetri informasi, platform ilegal ini membuat DJP sulit memperoleh data NPWP dan penghasilan bunga yang diperoleh.
Kedua, pemerintah perlu membuat aturan turunan yang mengatur secara spesifik pemajakan atas industri fintech P2P lending. Meskipun aturan yang digunakan industri ini sama dengan industri konvensional, pemerintah masih perlu membuat aturan turunan mengingat industri digital ini mempunyai karakter dan ekosistem yang berbeda dengan industri konvensional.
Salah satu contohnya, dalam penentuan pihak yang berwenang memungut pajak. Dalam ketentuan yang ada, pembayaran bunga oleh debitur yang berbentuk badan wajib memotong PPh Pasal 23. Namun, yang menjadi masalah adalah masih banyak debitur yang belum mengerti tata cara pelaporan sehingga potensi pajak menjadi hilang. Apabila skema pemungutan diubah menjadi wajib pungut (wapu) oleh platform, DJP akan terbantu dalam menggali potensi pajak industri ini.
Kemudian, melalui aturan turunan tersebut pemerintah harus mengatur secara rinci pihak-pihak yang menjadi subjek pajak, objek pajak, dan pemungut pajak. Tidak ketinggalan pula aturan mengenai tarif pajak yang proporsional dan rincian mengenai mekanisme pemajakan yang dikeluhkan oleh pelaku industri fintech P2P lending.
Ketiga, meningkatkan kerja sama dengan stakeholder dan instansi pemerintah lainnya. Maraknya keberadaan platform ilegal serta sulitnya memperoleh data transaksi dan melacak keberadaan pelaku P2P lending menjadi tantangan tersendiri bagi DJP.
Oleh karena itu, otoritas dapat bekerjasama dengan OJK. Kerja sama tersebut terutama dalam pemanfaatan data yang berkaitan dengan kewajiban perpajakan pelaku industri ini. Integrasi data antara OJK dan DJP akan semakin mempermudah DJP dalam meningkatkan penerimaan negara dari industri ini.
Keempat, memberikan sosialisasi dan edukasi aspek perpajakan bagi pelaku industri fintech P2P lending. Dalam hal ini, DJP dapat bekerja sama dengan Asosiasi Fintech Pendanaan Indonesia (AFPI) selaku asosiasi pengawas P2P lending untuk mengimbau masyarakat untuk menggunakan platform P2P lending yang sudah terdaftar di OJK. Otoritas juga bisa menjelaskan mekanisme pemajakan dan pentingnya pajak bagi perekonomian bangsa.
Harus diakui masih banyak tantangan yang dihadapi pemerintah untuk menggali potensi pajak pada industri P2P lending. Namun, dengan menerapkan strategi-strategi tersebut diharapkan pemerintah dapat menjaga momentum penerimaan pajak di tengah berkembangnya industri keuangan digital saat ini. Dengan demikian, target penerimaan pajak diharapkan dapat terealisasi untuk mewujudkan kemandirian APBN.
*Esai ini merupakan salah satu dari 12 esai terpilih yang lolos seleksi awal DDTCNews Tax Competition 2019 bertajuk ‘Tax Challenges in the Digital Era: It's Time for Youth to Speak Up!’.
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.