Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Dalam menghadapi persaingan bisnis yang makin ketat, perusahaan multinasional cenderung mengambil langkah strategis dengan mengembangkan produk-produknya melalui aktivitas penelitian dan pengembangan (research and development/R&D).
Tak hanya itu, perusahaan multinasional juga berusaha melakukan penghematan biaya guna mencapai laba usaha grup yang optimal secara agregat. Beberapa langkah yang diambil ialah dengan efisiensi proses bisnis, antisipasi dan diversifikasi risiko, hingga sentralisasi pengelolaan jasa.
Tak bisa dimungkiri, kegiatan R&D dan pengelolaan jasa membutuhkan biaya. Dalam pembiayaannya ini, setiap entitas dalam grup usaha umumnya mengadakan kesepakatan bersama atau biasa dikenal dengan istilah cost contribution arrangement (CCA) atau cost sharing arrangement (CSA).
Konsep CCA pertama kali muncul pada 1966 dalam proposal ketentuan transfer pricing atas CSA di Amerika Serikat (AS). Sejak itu, konsep CCA/CSA telah mengalami perkembangan yang signifikan dan menjadi ketentuan yang kompleks.
Pada 1979, Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) memperkenalkan ketentuan mengenai CCA dalam laporannya. Sejumlah negara, termasuk Jerman, Belanda, Australia, Jepang, Tiongkok, dan Denmark, pun mengadopsi ketentuan serupa.
Lantas, bagaimana hubungan antara CCA dengan isu transfer pricing?
Dalam konteks transfer pricing, CCA mendapatkan perhatian khusus dari otoritas pajak di berbagai negara. Sebab, CCA sering kali digunakan oleh perusahaan multinasional sebagai strategi dalam menghindari pengenaan pajak.
Ada dua tahapan dalam suatu strategi perencanaan pajak perusahaan yang mengindikasikan CCA digunakan sebagai alat penghindaran pajak.
Pertama, pada tahap pengembangan. Pada tahap ini, perusahaan multinasional menggunakan CCA untuk membiayai aktivitas seperti mengembangkan aset tak berwujud, memperoleh aset berwujud, serta memperoleh penyediaan jasa.
Tujuan utamanya ialah menghemat beban pajak secara agregat. Namun, pembiayaan untuk aktivitas tersebut tidak selaras dengan manfaat yang diperoleh perusahaan karena manfaatnya belum tentu bisa dibuktikan secara substansi ekonomi.
Kedua, pada tahap pemanfaatan hasil CCA. Sebagai contoh, aset tak berwujud—sebagai produk atau output yang dihasilkan dari CCA—dapat dipindahkan status kepemilikannya ke yurisdiksi dengan tarif pajak yang lebih rendah.
Dengan skema pengalihan kepemilikan tersebut, perusahaan dapat menghindari skema pembayaran royalti atas lisensi aset tak berwujud. Dengan demikian, CCA harus ditinjau dari dua titik waktu, yaitu pada saat proses pengembangan dan saat berakhirnya skema tersebut.
Selain itu, perlu juga untuk memperhatikan keselarasan antara kontribusi yang dilakukan pada saat proses pengembangan dan imbal hasil yang diperoleh saat berakhirnya CCA.
Singkatnya, isu transfer pricing pada skema CCA berfokus pada hubungan komersial atau finansial antarpartisipan dan kontribusi yang diberikan oleh para partisipan. Hal tersebut yang pada gilirannya menciptakan peluang untuk mencapai manfaat yang diharapkan dari adanya skema CCA.
Untuk informasi lebih lanjut mengenai hubungan antara CCA dan isu transfer pricing, buku Transfer Pricing: Ide, Strategi, dan Panduan Praktis dalam Perspektif Pajak Internasional (Edisi Kedua: Volume II) dapat menjadi panduan yang berguna.
Buku ini secara spesifik membahas:
Jika Anda tertarik untuk mendapatkan buku ini, silakan kunjungi https://store.perpajakan.ddtc.co.id/.
Pada 11-13 November 2023, Anda dapat membeli buku ini dan Perpajakan DDTC Premium 1 bulan seharga Rp450 ribu (harga normal Rp1 juta). Gunakan kode CINTALITERASI pada halaman pembayaran. (rig)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.