WEBINAR FEB UM

Mengapa Natura Perlu Jadi Objek Pajak? Begini Penjelasan Gamblangnya

Muhamad Wildan | Kamis, 09 Juni 2022 | 11:30 WIB
Mengapa Natura Perlu Jadi Objek Pajak? Begini Penjelasan Gamblangnya

Partner of DDTC Fiscal Research and Advisory B. Bawono Kristiaji dengan paparannya dalam webinar yang digelar FEB UM. (tangkapan layar)

MALANG, DDTCNews - UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) memperkenalkan fringe benefit tax dalam sistem perpajakan Indonesia dengan menetapkan natura dan kenikmatan sebagai objek pajak.

Melalui penetapan natura sebagai objek pajak, pemerintah mengharapkan terciptanya persamaan perlakuan antara penghasilan dalam bentuk uang dan penghasilan dalam bentuk fasilitas yang diterima oleh karyawan dari perusahaan.

"Tidak fair kalau yang satu dapat penghasilan berbentuk gaji, yang satunya semuanya fasilitas ditanggung, itu akan tidak fair kalau perlakuannya berbeda. Jadi menjamin keadilan dan mencegah tax planning," ujar Partner of DDTC Fiscal Research and Advisory B. Bawono Kristiaji dalam webinar yang digelar oleh Departemen Akuntansi FEB Universitas Negeri Malang, Kamis (9/6/2022).

Baca Juga:
Kenaikan Tarif PPN Perlu Diikuti dengan Transparansi Belanja

Selama ini, imbuh Bawono, pengecualian pajak natura dan kenikmatan biasanya dinikmati oleh karyawan-karyawan pada level manajerial ke atas. Dengan penetapan natura sebagai objek pajak, diharapkan tercipta sistem pengenaan pajak yang lebih adil.

Merujuk pada Pasal 4 ayat (3) huruf d UU PPh s.t.d.t.d UU HPP, natura dalam bentuk makanan dan minuman bagi pegawai, natura di daerah tertentu, natura yang harus disediakan untuk melaksanakan pekerjaan, natura yang bersumber dari APBN/APBD, serta natura dengan jenis dan batasan tertentu tetap dikecualikan dari objek pajak.

Meski sudah terdapat ketentuan mengenai natura yang ditetapkan sebagai objek dan bukan objek pajak, Bawono menekankan bahwa ketentuan natura pada UU HPP masih perlu diperinci dalam ketentuan teknisnya.

Baca Juga:
Soal Kenaikan PPN Jadi 12%, UMKM Tagih Pemerintah Beri Alasan Kuat

Misalnya, bila perusahaan memberikan fasilitas rumah kepada karyawan yang ditugaskan di daerah terpencil. Perlu ada aturan teknis yang menegaskan beragam fasilitas yang melekat pada rumah tersebut juga dikecualikan dari objek pajak atau tidak.

"Oke rumahnya dikecualikan, tapi di situ ada AC dan kulkas serta fasilitas penunjang yang membuat nyaman untuk tinggal di sana apakah juga dikenakan? Ini masih belum clear," ujar Bawono dalam webinar bertajuk Implementasi dan Optimalisasi Kebijakan Perpajakan bagi Wajib Pajak Terdampak Covid-19.

Selanjutnya, valuasi dari fasilitas yang diberikan kepada karyawan dan menjadi objek pajak juga masih belum diatur. Misalkan, bila mobil yang didapatkan karyawan merupakan objek pajak, apakah valuasi dari fasilitas tersebut ditentukan berdasarkan nilai aset atau nilai sewa dari mobil tersebut?

Baca Juga:
Resmi! Beli Rumah, PPN-nya Masih Ditanggung Pemerintah 100 Persen

"Idenya menurut saya baik, tapi detailnya ini yang kita menunggu tentunya. Mudah-mudahan nanti clear mengenai objek dan nonobjek, threshold, dan valuasinya," ujar Bawono.

Pencegahan Penghindaran Pajak
Selain merevisi perlakuan pajak atas natura, upaya menciptakan sistem pajak yang lebih adil juga tercermin pada revisi atas Pasal 18 UU PPh melalui UU HPP.

Pada awalnya, pemerintah mengusulkan penerapan general anti avoidance rule (GAAR) dan alternative minimum tax (AMT) guna menekan praktik penghindaran pajak.

Baca Juga:
DJP Terbitkan Nota Dinas Soal Perlakuan PPh Atas Natura, Ada Hal Baru?

Melalui GAAR, otoritas pajak dapat mencegah praktik penghindaran pajak dengan cara mengoreksi transaksi-transaksi yang tak memiliki substansi ekonomi.

Pemerintah juga mengusulkan AMT yang memungkinkan otoritas pajak mengenakan pajak minimum atas perusahaan yang mengalami kerugian fiskal dan terindikasi melakukan penghindaran pajak.

Kedua usulan pemerintah dalam rancangan undang-undang (RUU) tersebut justru tidak tercantum dalam UU HPP.

Baca Juga:
Ada Nota Dinas Soal Natura, DJP Sebut Hanya Memuat Penegasan

Meski demikian, saat ini Indonesia akhirnya memiliki opsi untuk menggunakan rasio interest expense to EBITDA untuk membatasi biaya bunga utang yang dapat dijadikan sebagai pengurang pajak.

Sebelum UU HPP, Indonesia hanya mengenal debt to equity ratio (DER) sebesar 4 banding 1 sebagai instrumen untuk membatasi biaya bunga yang dapat menjadi pengurang penghasilan dalam penghitungan pajak terutang.

"Di dalam narasi Pasal 18 ayat (1) ada opsi agar tidak dikunci melalui DER saja, tapi juga interest expense terhadap EBITDA. Bisa jadi pendekatannya berubah ke income statement," ujar Bawono.

Baca Juga:
Mengulik Metode Penyusutan dalam Akuntansi dan Perpajakan

Penggunaan interest expense to EBITDA guna membatasi biaya bunga lebih sesuai dengan rekomendasi penetapan earning stripping rule yang diusung oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).

Meski demikian, Bawono menerangkan pembatasan biaya bunga yang berbasis EBITDA pada earning stripping rule bersifat prosiklikal dan tidak sesuai dengan kondisi perekonomian yang sedang mengalami penurunan. Ketika suatu perusahaan sedang mengalami penurunan atau merugi, maka bunga yang dapat dibiayakan untuk kepentingan perpajakan juga akan menurun. (sap)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Selasa, 22 Oktober 2024 | 13:30 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kenaikan Tarif PPN Perlu Diikuti dengan Transparansi Belanja

Senin, 07 Oktober 2024 | 16:45 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Soal Kenaikan PPN Jadi 12%, UMKM Tagih Pemerintah Beri Alasan Kuat

Sabtu, 21 September 2024 | 08:30 WIB BERITA PAJAK SEPEKAN

Resmi! Beli Rumah, PPN-nya Masih Ditanggung Pemerintah 100 Persen

Kamis, 19 September 2024 | 08:30 WIB BERITA PAJAK HARI INI

DJP Terbitkan Nota Dinas Soal Perlakuan PPh Atas Natura, Ada Hal Baru?

BERITA PILIHAN
Selasa, 22 Oktober 2024 | 21:45 WIB LEMBAGA LEGISLATIF

Sah! Misbakhun Terpilih Jadi Ketua Komisi XI DPR 2024-2029

Selasa, 22 Oktober 2024 | 21:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

PPN Mestinya Naik Tahun Depan, Gerindra akan Bahas Bareng Kemenkeu

Selasa, 22 Oktober 2024 | 17:30 WIB KPP PRATAMA JAMBI TELANAIPURA

WP Gagal Daftar LPSE karena KSWP Tidak Valid, Gara-Gara Tak Lapor SPT

Selasa, 22 Oktober 2024 | 17:06 WIB LEMBAGA LEGISLATIF

DPR Tetapkan Daftar Mitra Kerja untuk Komisi XII dan Komisi XIII

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:41 WIB IHPS I/2024

BPK Selamatkan Keuangan Negara Rp13,66 Triliun pada Semester I/2024

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:30 WIB KANWIL DJP JAWA TIMUR II

Pakai Faktur Pajak Fiktif, Dirut Perusahaan Akhirnya Ditahan Kejari

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:00 WIB TIPS PAJAK DAERAH

Cara Daftarkan Objek Pajak Alat Berat di DKI Jakarta secara Online

Selasa, 22 Oktober 2024 | 15:30 WIB AUSTRALIA

Bikin Orang Enggan Beli Rumah, Australia Bakal Hapus BPHTB

Selasa, 22 Oktober 2024 | 14:00 WIB KP2KP SIDRAP

Ubah Kata Sandi Akun Coretax, Fiskus: Tak Perlu Cantumkan EFIN